“Kita coba mengisi ruang-ruang
yang kosong dalam kehidupan dengan nilai, standar, pemikiran, dan Islam. Ini
yang akan mengubah mindset, investasi besar bagi sebuah peradaban,” ujarnya dalam kanal YouTube
Institut Muslimah Negarawan dengan judul Kesehatan Mental Masyarakat
Urban Dalam Tekanan Ruang Kehidupan, Sabtu (23/11/2024).
Menanggapi teori third places
berkaitan ruang kehidupan sosialisasi, ia menjelaskan hal berkaitan ruang
privat dan ruang publik dalam tatanan sistem sekuler.
“Ruang pertama itu adalah rumah
sebagai ruang privat (hayatul khas), ruang kedua (tempat kerja dan
sekolah), ruang ketiga (kafe dan mal), serta ruang keempat (internet dan
sosmed) adalah ruang publik (hayatul aam),” ungkapnya.
Ia membeberkan, dalam ruang
pertama (rumah) banyak terjadinya masalah berkaitan peran ibu, istri atau suami.
“Sedangkan Islam begitu teliti menata sebuah keluarga,” jelasnya.
“Ketika mengelola keluarga,
banyak yang tidak mengerti bagaimana memerankan menjadi seorang ibu atau suami.
Tidak tahu bagaimana mengelola rumah. Rumah hanya sebagai bangunan fisik,”
ujarnya.
“Islam sangat detail menata
bagaimana peran lelaki, peran perempuan, bagaimana membangun keluarga termasuk
mendidik anak tanpa kemudian melupakan ruang untuk perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi,” ujarnya lagi.
Berkaitan ruang publik, ia juga
menjelaskan terjadinya berbagai permasalahan dari ruang kedua hingga ruang
keempat.
“Ruang kedua, stressor-nya
tinggi. Macet pergi kerja, bosnya toksik, pekerjaannya membosankan. Ruang
ketiga, kafe, mal, atau gym. Healing zone banyak tapi stres dan depresi,
bukan makin berkurang,” ungkapnya.
Ia pun menyatakan bahwa ruang
keempat juga punya peran yang luar biasa pada penyebaran berita-berita domestik.
"Sekarang yang viral berita
yang toksik karena kita dibuat jadi masyarakat yang lebih peduli dengan urusan
domestik, urusan ranjang rumah tangga orang. Jadi urusan publik tidak kita
pedulikan,” tuturnya.
Ia menegaskan pentingnya regulasi
dan peran Muslim dalam penyelesaian terkait persoalan-persoalan publik.
“Banyak urusan publik yakni isu
ketimpangan, lingkungan, banjir, keserakahan, kebijakan yang zalim, kalau
bicara politik ada oligarki. Justru pentingnya regulasi dan peran setiap Muslim
dalam penyelesaian berhubung persoalan persoalan publik,” tuturnya.
Ia melanjutkan dengan memberikan
contoh tata kota Islam di kota Madinah, yakni seperti tungku yang melebur (melting
pot) dengan diterapkannya akidah dan syariat Islam hingga ruang kehidupan
diisi dengan nilai-nilai Islam.
“Madinah itu sebenarnya dengan
diterapkannya akidah dan syariat Islam akan melebur, karena bicara value.
Makanya kota itu disebut melting pot, dia akan meleburkan kita ibaratnya
kita dengan siklus hidup; ruang satu, ruang dua, ruang tiga, dan ruang empat
akhirnya dengan value yang ada itu bukan ruang yang hampa. Dalam
ruang-ruang itu ada nilai, ada sukses, standar kebahagiaan yang diyakini,”
katanya.
Sebagai perbandingan, ia menyebut
hancurnya peradaban terdahulu kerana terjadinya fasad (kerusakan) dalam
ruang-ruang kehidupan.
"AlQur’an itu mengajarkan
kita dari tiga kaum, yaitu kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan kaum Firaun, ada kota dan
peradaban. Itu yang menghancurkan kota dan peradaban mereka, bukan kota atau
teknologi mereka yang canggih, tetapi adalah karena perilaku, behaviour
mereka. Ada fasad, kerusakan, kemaksiatan, kesewenangan, dan kesombongan,”
pungkasnya.[] Rahmah