TintaSiyasi.id -- Tinggal hitungan hari, kita akan tiba di penghujung tahun 2024. Di mana penghujung tahun kerap kali identik dengan perayaan Natal dan Tahun Baru. Namun, kedua perayaan ini jelas bukan perayaan Islam, maka tidak sepantasnya umat Islam ikut serta dalam perayaan tersebut. Sebab, perayaan Natal dan Tahun Baru ini lahir dari Barat sehingga bertentangan dengan Islam.
Sayangnya, lagi-lagi kini muncul seruan akan toleransi yang melebihi batas, sehingga toleransi tersebut bertentangan dengan makna toleransi dalam Islam. Seruan ini ditujukan kepada seluruh masyarakat, terlebih umat Islam. Karena melalui seruan ini, mereka bisa mengukur sejauh mana umat Islam dalam bertoleransi serta mengetahui mana umat Islam yang toleran dan mana yang intoleran berdasarkan parameter toleransi mereka.
Ironisnya, yang menyuarakan hal tersebut adalah para aparat negara, salah satunya Menteri Agama. Dilansir dari Jakarta, radarsampit.jawapos.co – Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antarumat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025. Ia juga menekankan pentingnya saling mendukung dan menghormati dalam merayakan hari besar keagamaan masing-masing.
Kondisi ini menunjukkan bahwa para penguasa dan pejabat negara saat ini tidak memahami dengan benar hakikat tugas mereka sebagai pemimpin negara. Tugas mereka seharusnya adalah menjaga semua urusan umat, salah satunya menjaga akidah umat. Namun, kenyataannya, mereka malah menjadikan HAM sebagai landasan dan terus-menerus menggaungkan moderasi beragama, sehingga membuat umat semakin jauh dari pemahaman akan makna toleransi yang sesungguhnya.
Seperti inilah yang diinginkan para sekuleris di luar sana, di mana mereka akan terus berusaha agar umat Islam tidak kenal dan merasa jauh dari agamanya sendiri. Oleh karena itu, di akhir tahun ini umat Islam harus waspada dan menjaga diri supaya tetap dalam ketaatan kepada Allah SWT. Namun, sayangnya, dalam sistem saat ini umat kesulitan menjaga akidah mereka sendiri sehingga umat membutuhkan peran negara sebagai pengingat dan penjaga.
Masalah ini tentu tidak lepas dari sistem kufur sekuler kapitalis yang diterapkan hari ini, di mana dalam sistem ini negara tidak menjalankan tugasnya sebagai pelindung akidah umat. Dengan begitu, akidah umat akan mudah rusak karena masuknya ide Barat, dan umat dengan mudah mengikuti ide-ide tersebut. Termasuk dalam perkara toleransi ini, umat akan memahami makna toleransi dengan pemahaman yang salah.
Berbeda dengan sistem Islam, yang memiliki konsep toleransi tersendiri dan jelas dalam berinteraksi dengan agama lain, yakni cukup dengan membiarkan agama lain untuk merayakan hari besar mereka tanpa mengganggu, tanpa perlu ikut mengucapkan atau memperingati. Sebab, itu sama saja dengan ikut merayakan hari besar mereka.
Konsep toleransi ini akan menjaga keharmonisan hidup dalam masyarakat, selagi Islam diterapkan secara kaffah tanpa terkecuali. Sebagaimana yang terjadi pada Rasulullah SAW dahulu, ketika diminta oleh kafir Quraisy untuk menyembah Tuhan mereka dan mereka akan menyembah Allah. Permintaan ini langsung ditolak secara tegas oleh Allah dan Rasulullah SAW melalui turunnya QS. Al-Kafirun: 1–6.
Tak hanya itu, Islam pun mengharuskan para pemimpin dan pejabat negara menjalankan tugasnya, yakni sebagai pengingat umat dengan memberikan nasihat supaya selalu bertakwa, sehingga umat akan tetap terikat dengan aturan Allah SWT. Terlebih dalam momen krusial yang berpotensi membahayakan akidah umat, seperti menjelang momen Nataru ini. Selain itu, negara pun akan menggerakkan qadhi hisbah yang memberikan penjelasan kepada umat tentang bagaimana cara Islam dalam menyikapi hari besar agama lain.
Dengan begitu, hanya dalam negara Islam (Khilafah) lah akidah umat akan selalu terjaga dan tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat dengan diterapkannya Islam dalam semua aspek kehidupan. Maka dari itu, umat harus sadar betapa pentingnya mewujudkan Khilafah, sehingga dengan sendirinya umat akan berjuang bersama untuk menegakkan Khilafah. Wallahu a'lam bish-shawab.
Oleh: Zidna Ilma
Aktivis Muslimah