Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kegagalan Sistem Demokrasi Membuat Rakyat Muak Terhadap Pemilu

Jumat, 06 Desember 2024 | 11:06 WIB Last Updated 2024-12-06T04:07:37Z
TintaSiyasi.id -- Merespons rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilihan kepala daerah, Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra, mengatakan kegagalan sistem demokrasi faktor rakyat bosan dan muak terhadap pemilu (pemilihan umum) atau pilkada (pemilihan kepala daerah). 

"Kegagalan sistem demokrasi dalam memenuhi harapan rakyat menjadi faktor dominan, sehingga rakyat bosan dan muak tiap kali datang pemilu atau pilkada," ungkapnya dalam keterangan yang diterima TintaSiyasi, Kamis (5/12)2024).

Ia menjelaskan, dalam bayangan rakyat setelah pilkada, nasib mereka tak juga berubah menjadi lebih baik. Malah sebaliknya, rakyat semakin sengsara karena kenaikan harga-harga, kenaikan pajak dan bahkan kenaikan jumlah koruptor dan maling uang rakyat. Pemilu dianggap hanya menjadikan rakyat sebagai tumbal politik penguasa dan oligarki. 

Sehingga, jadi faktor dominan rendahnya partisipasi rakyat dalam pilkada 2024 adalah karena kejenuhan, kebosanan dan rasa muak. Dalam melihat dan merasakan kontestasi politik di negeri ini yang kian carut maruk, hiruk pikuk para koruptor dan penipu rakyat, silih berganti berkuasa dan berlomba dalam memohongi rakyat, maka berhak muak kepada situasi ini. Apalagi jika situasi buruk ini semakin menjadi-jadi dari waktu ke waktu. 

"Muak politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan rasa jenuh, frustrasi, atau ketidakpuasan yang mendalam terhadap dunia politik di negeri ini," ungkapnya.

Dia mengatakan (etika pemimpin politik atau partai yang berkuasa tidak memenuhi janji-janji mereka, atau terlibat dalam skandal, korupsi, atau kebijakan yang tidak populer, banyak orang merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan, yang bisa memicu rasa muak. Rakyat berhak muak jika terus menerus ditipu oleh pemimpinnya sendiri yang telah dipilih saat pemilu.

"Ketika politik menjadi sangat terpolarisasi, dengan perdebatan yang tajam dan konflik yang intens antara kelompok-kelompok yang berbeda, hal ini dapat membuat rakyat merasa lelah dan muak dengan ketegangan yang terus-menerus. Rakyat berhak muak saat melihat elit partai bertikai hanya untuk berebut kekuasaan, tanpa pernah memikirkan nasib rakyatnya," terangnya.

Situasi politik yang tidak stabil atau penuh ketidakpastian, seperti perubahan kebijakan yang sering, pergantian pemimpin yang tidak terduga, atau krisis politik, dapat menyebabkan rasa cemas dan muak di kalangan masyarakat. "Rakyat berhak muak saat kehidupan di negeri ini semakin susah. Pemimpin malah berkhianat dan bersekutu dengan para oligarki di atas penderitaan rakyat," tegasnya.

"Rakyat berhak muak saat melihat perilaku pamer dan sombong dipertontonkan oleh para penguasa dan keluarganya. Pamer barang mewah di saat rakyat justru sedang perang melawan rasa lapar karena kemiskinan. Rakyat berhak muak saat melihat dagelan tidak bermutu yang dipertontonkan oleh pemimpin zalim," tambahnya.

Adanya, taktik manipulatif, propaganda, atau informasi yang menyesatkan dari politisi atau media dapat menyebabkan orang merasa lelah dan tidak percaya, yang kemudian berujung pada rasa muak terhadap politik secara keseluruhan. Entah mau berapa kali lagi rakyat selalu menjadi tumbal politik para pengkhianat bangsa ini.

"Ketika orang merasa bahwa suara mereka tidak didengar atau bahwa mereka tidak dapat mempengaruhi perubahan melalui proses politik, mereka mungkin merasa muak dan apatis terhadap politik. Konon katanya, rakyat berdaulat di negeri ini, namun faktanya partailah yang berdaulat, bahkan ketua partailah yang berdaulat. Sementara ketua-ketua partai berkomplot dengan para cukong, maka rakyat berhak muak dengan semua ini," ungkapnya.

"Rasa muak karena pemimpin yang zalim adalah reaksi emosional yang muncul ketika seseorang merasa lelah, frustrasi, dan tidak tahan lagi dengan kepemimpinan yang tidak adil, sewenang-wenang, atau menindas. Pemimpin zalim biasanya menggunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi, menindas rakyat, dan mengabaikan prinsip keadilan serta kesejahteraan publik," tambahnya.

Kemudian, ia menambahkan, pemimpin zalim sering kali melakukan kebijakan atau tindakan yang secara terang-terangan tidak adil, seperti diskriminasi, penindasan terhadap kelompok tertentu, atau penggunaan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan. Ketidakadilan yang terus-menerus ini dapat memicu perasaan muak yang mendalam.

Sehingga, rasa muak terhadap pemimpin yang zalim sering kali menjadi pendorong bagi gerakan perlawanan, protes, atau perubahan sosial. Rakyat yang merasa muak bisa mencari cara untuk melawan ketidakadilan, baik melalui protes damai, kampanye politik, atau bahkan revolusi dalam kasus yang ekstrem.

"Rasa muak politik sering kali diiringi oleh keengganan untuk terlibat dalam diskusi politik, mengikuti berita politik, atau bahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum atau pilkada, seperti pada tahun 2024 ini. Ini bisa menjadi tanda dari ketidakpuasan yang mendalam terhadap sistem politik yang ada, dan dalam beberapa kasus, bisa mendorong gerakan untuk perubahan atau transformasi. Jadi jika sekarang rakyat banyak yang memilih golput, mungkin mereka sudah sangat muak, muak sekali," pungkasnya. [] Alfia Purwanti

Opini

×
Berita Terbaru Update