Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Orang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Merugikan Orang Lain

Rabu, 27 November 2024 | 08:58 WIB Last Updated 2024-11-27T01:58:47Z
TintaSiyasi.id -- Terkait makin maraknya kasus suap ataupun korupsi di negeri ini, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki menjelaskan orang yang melakukan tindak pidana korupsi berarti dia tidak jujur dan merugikan orang lain.

"Orang melakukan tindak pidana korupsi atau riswah berarti tidak jujur, merugikan orang lain, dan tidak berbuat adil," ungkapnya dalam acara Negara Darurat Risywah di kanal YouTube Dakwah Jateng, Ahad (24/11/2024).

Kemudian ia menjelaskan bahwa indeks korupsi negara Indonesia berada di level 115, berarti rendah. Semakin indeksnya tinggi misalnya Singapura itu sampai 83, yang paling tinggi justru Denmark sudah 90, itu berarti korupsinya sedikit. Tetapi semakin ke bawah seperti Indonesia di posisi 115 dari 180 berarti di situ terjadi banyak tindak pidana korupsi.

"Kalau kita lihat misalnya Denmark itu kan juga bukan negara yang agamanya Islam. Persoalannya apa? Kita yang mayoritas 87 persen jumlah penduduknya itu Muslim, kok malah index persepsi korupsi kita malah urutan 115! Kita tertinggal dengan Malaysia apalagi kalau dengan Singapura. Ini sebabnya apa? Kalau dilihat apa Denmark itu Muslim? Bukan! Kasarnya negara kafir, tetapi kok bisa?," herannya.

Kemudian ia mengatakan, bukan karena negara kafir atau Muslim tetapi misalkan persoalan kejujuran, berbuat adil diutamakan sekalipun itu negara kafir, maka bisa menduduki peringkat indeks presepsi korupsi yang tinggi.

"Mestinya dibalik. Apalagi kalau kita sebagai masyarakat yang dengan iman, bahwa yang tinggi, survei membuktikan bahwa dari 87 persen tadi itu ternyata hanya 20 persen yang shalat. Nah maka dalam ini mestinya kita introspektif juga. Mestinya justru agama kita itu sebagai landasannya. Kalau agamanya baik, tidak melakukan riswah. Baik sebagai penyuap ataupun yang disuap, idealnya begitu," ungkapnya.

Suap Adalah Korupsi

Prof Suteki, menjelaskan bahwa sebenarnya suap sama dengan tindakan korupsi. Suap sebenarnya ibarat pelicin yang nanti berakibat banyak, apakah itu perubahan skor, bisa mengubah kebijakan, bisa mengubah putusan, yang salah bisa benar, yang benar jadi salah. Kemudian ada penggelapan dalam jabatan, terus ada pemerasan, lalu ada perbuatan curang ada benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.

Ia mengutip di undang-undang tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999 junto untuk undang-undang nomor 20 tahun 2001 itu ada 30 jenis tindak pidana korupsi. Pertama, tindak pidana korupsi berupa yang menyebabkan kerugian keuangan negara dan nanti pada faktanya. Tidak semua yang dikatakan tindak di dalam korupsi itu mesti harus merugikan keuangan negara.

Kemudian, ia menjelaskan gratifikasi itu juga bisa terindikasi, menjadi dipersalahkan kalau terindikasi suap. Tetapi kalau gratifikasi biasa tidak tersangkut dengan jabatan apa-apa, misalnya seseorang datang kepada saya dan tidak ada hubungan apa-apa kok tiba-tiba 'Prof ini ada uang satu miliar bisa untuk sebagai Prof atau misalnya, itu bukan gratifikasi.

"Tetapi kalau kita berhubungan subordinasi misalnya apakah dalam pengadaan barang atau mungkin dalam hal jabatan. Anda misalnya meminta apa sesuatu pada saya supaya meluluskan supaya apa, nah itu termasuk gratifikasi. Jadi kalau kita lihat begini banyak sekali suap. Tadi hanya 12 sementara yang dimaksud dengan korupsi itu jadi 31 kurangi 12 berarti 19 lainnya itu juga termasuk tindak-pindahkan korupsi," tambahnya.

Ia mengatakan, tindakan suap menyuap atau tidak pidana lain biasanya juga dikatakan korupsi, kejahatan tersebut tidak mungkin sendirian, rata-rata korupsi dilakukan secara berjamaah, tindak pidana yang berjamaah itu korupsi nah di antara kamaah itu ada yang namanya makelar, nah makelar karena yang di makalari kasus maka disebut dengan makelar kasus. 

"Makelar sebenarnya konotasinya enggak negatif konotasinya positif Karena apa mempermudah hubungan antara pihak yang satu dengan yang lain terkait dengan adanya hubungan kepentingan tertentu," terangnya.

"Tetapi begitu sudah markus (makelar kasus), ya sudah konotasinya negative, karena apa rata-rata makelar kasus itu bisa untuk menyuap kanan kiri macam-macam supaya bisa perkaranya enggak jadi jalan, bisa dihentikan, bisa yang supaya dikurangi hukumannya, bisa dakwahnya supaya tidak ya yang ringan ya atau mungkin tuntutan hukumannya supaya ringan, nah kalau di perdata itu bebas-bebas saja mungkin dalam arti enggak terlalu risau tetapi begitu sudah menyangkut hukum pidana nah ini jadi masalah besar, karena bisa melibatkan bisa mulai dari penyelidikan dan penyidikan berarti polisi yang kedua Jaksa dan ketiga Hakim sampai pada di Lapas itu istilahnya SPP SPP itu criminal justice system atau Sistem Peradilan Pidana mulai dari polisi sampai pada lapas semua rentan dengan sabun (suap)," paparnya 

Sehingga ia mengingatkan jika tidak berhati-hati memang penegak hukum amburadulnya di situ, dimulai dari bawah dari kepolisian, namanya ada suap berarti ada penyuap kalau dalam prinsip ekonomi pasti ada supply and demand, kalau ada permintaan tapi tidak ada supply-nya ya enggak jalan, tetapi kalau supply ada demand ada ya ketemu, gaji berapapun dari polisi, jaksa sampai hakim seberapapun kalau persoalan rakus itu supplynya, sudah tarik saja ini yang berbahaya itu di sini karena bisa berakibat fatal terhadap terutama penegakan hukum sudah sistem hukumnya macam ini lalu penegak hukumnya semacam ini banyak ya lika-liku persoalan riswah ya akhirnya apa indeks penegakan hukum kita pun juga rendah 

Ia menegaskan, hukum itu ditegakkan untuk mencapai keadilan, justice. "Akhirnya dengan riswah itu ya hukum yang ada dan hanya merupakan kesepakatan manusia gitu kan kalau saya sering menyebutnya human law, soal human law hukum manusia termasuk undang-undang korupsi juga hukum manusia kesepakatannya terhadap terkait dengan pidananya prosesnya macam-macam apakah OTT atau tidak," sebutnya.

"Kemarin agak rebut ada calon pimpinan KPK yang 'saya akan hapuskan OTT' ini karena kalau kita lihat sebagai konvensi OTT betul-betul menjadi maskot untuk memberantasan tindak pidana korupsi begitu OTT disepakati dihilangkan ambyar, kalau dulu kan ada namanya jumat keramat Abraham Samad, setiap jumat selalu bisa mengumumkan siapa yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi," pungkasnya. [] Alfia Purwanti

Opini

×
Berita Terbaru Update