Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

BPIP dalam Sorotan: Sejarah, Fungsi dan Propaganda

Kamis, 31 Oktober 2024 | 18:36 WIB Last Updated 2024-10-31T11:36:57Z

Tintasiyasi.id.com -- Dalam beberapa bulan terakhir umat Islam di Indonesia digemparkan oleh kebijakan politik yang dikeluarkan oleh lembaga penafsir tunggal Pancasila yaitu BPIP, kontroversi ini terjadi ketika para pemudi paskibraka yang dipaksa mengeluarkan kerudung/khimar mereka dalam proses pengukuhan dengan alasan untuk keragaman oleh Kepala BPIP.

Asal-usul terbentuknya BPIP
Dengan disahkannya Perpres No.7 Tahun 2018 menjadi dasar hukum yang kuat untuk memenuhi dan mencapai tujuan yang diamanatkan dalam Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016 bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia harus diketahui asal usulnya oleh bangsa Indonesia.

Dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.  

Aspek strategis BPIP dalam rangka mendukung cita-cita nawacita dari pemerintah adalah melalui program teknis pembinaan ideologi pancasila bagi masyarakat, penyelenggara negara, dan aparat penegak hukum, serta berbagai pihak untuk taat dan patuh dengan berlandaskan dan berdasarkan nilai-nilai pancasila.

Sejatinya nilai-nilai pancasila merupakan jati diri bangsa yang terbukti sangat ampuh menjaga Negara Indonesia. Ketika negara Kesatuan dihadapkan Republik pada tantangan ideologi, pengalaman traumatis instrumental pancasila di masa lalu membuat kepercayaan penyelenggara dan warga negara terhadap pancasila merosot.

Selama beberapa tahun kebelakang, pancasila tidak lagi menjadi pelajaran wajib di sekolah, bahkan ada kegamangan di kalangan penyelenggara negara untuk mengartikulasikan pancasila di ruang publik. Situasi demikian membuat pasokan moral bagi peserta didik hanya diisi oleh moral ekstrim keagamaan yang cenderung diisi oleh kelompok-kelompok militan, yang membuat peserta didik kurang terpapar dan terbudayakan dalam moral publik. 

Kalaupun ada program bina ideologi dan mental yang dilaksanakan oleh kementerian/Lembaga (K/L), selama ini pada umumnya bersifat superfisial/permukaan, dan kompartementalis, tanpa adanya kejelasan arah, sistematika, struktur dan koordinasi. 

Fungsi dan Tugas Pokok BPIP

Dalam menjalankan kewenangannya, Badan Pembinaan Ideologi pancasila (BPIP) sebagai garda terdepan dalam upaya pembinaan ideologi pancasila tersusun dan terorganisir serta ditempati oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi, pengaruh besar atau kemampuan yang dapat diandalkan.

Dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018, dipaparkan tentang keorganisasian Badan Pembinaan Ideologi (BPIP) pada pasal 5 bahwa susunan organisasi BPIP terdiri atas:

a. Dewan Pengarah, yang terdiri atas: 1. Ketua; dan 2. Anggota. b. pelaksana, yang terdiri atas: 1. Kepala; 2. Wakil Kepala; 3. Sekretariat Utama; 4. Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan; 5. Deputi Bidang Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi; 6. Deputi Bidang Pengkajian dan Materi; 7. Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan; dan 8. Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi22.

Struktur organisasi Peraturan berdasarkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 1 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, terdiri dari Dewan Pengarah mempunyai tugas memberikan arahan kepada pelaksana terkait arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. 

Arahan sebagaimana dimaksud merupakan hasil pembahasan dalam rapat Dewan Pengarah yang ditetapkan oleh Ketua Dewan Pengarah. Dewan Pengarah berjumlah paling banyak sebelas (11) orang, yang terdiri atas unsur: 

a. tokoh kenegaraan; b. tokoh agama dan masyarakat; dan c. tokoh purnawirawan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pensiunan Pegawai Negeri Sipil dan akademisi.

Propaganda dan Penafsir Tunggal Pancasila oleh BPIP

Untuk mewujudkan hal itu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berusaha menyusun "Buku Utama Bahan Ajar Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) bagi Aparatur Negara". Materi ajar ini tentu saja bukan sekedar dipahami, tapi juga harus menjadi acuan bagi ASN dalam mengaktualisasikan prinsip-prinsip pancasila. 

Kementerian dan lembaga yang dilibatkan, antara lain: Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama mendukung komitmen ini. 

BPIP berpandangan bahwa elemen membangkitkan bangsa seluruh wajib kesadaran masyarakat akan pentingnya ideologi berbangsa dan bernegara demi menegakkan cita-cita kemerdekaan.

Apalagi saat ini,  penanaman nilai pancasila mengalami tantangan serius, antara lain oleh distraksi perkembangan informasi teknologi dan digital. Pengaktualisasian nilai-nilai Pancasila sekarang terganggu oleh berita palsu, penolakan agama, penolakan ideologi, dan guncangan perubahan yang begitu besar di dunia digital dan informasi.

Karena itu penting bagi seluruh elemen masyarakat bergandengan tangan untuk bersama menjaga dan mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Penanaman nilai-nilai pancasila bagi pelajar Indonesia Nilai-nilai Pancasila kerap dikeluhkan kurang membumi di kalangan milenial.Dalam upaya menyasar generasi muda adalah dengan kegiatan di luar ruangan, bukan di dalam kelas yang kadang menjemukan.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila penanaman nilai-nilai menginisiasi Pancasila melalui Kemah Pancasila Pelajar Indonesia. Kemah diikuti oleh pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dari 30 kota se- Indonesia, seperti: Lampung, Gorontalo, Jakarta, Banten, Bekasi, Cirebon, Tegal, Brebes, dan Pekalongan.

Terdapat pula pelajar asal Kendal, Batang, Banyumas, Tasikmalaya, Cilacap, Purbalingga, Blora, Temanggung, Purworejo, Magelang, Klaten, Sragen, serta Boyolali. Selain itu terdapat pula pelajar dari Jawa Timur seperti Ngawi, Wonogiri, Jember, Surabaya, Situbondo, Malang, Lumajang dan Pasuruan.

Menurut Cornelis Lay, ada dua faktor kemungkinan lahirnya komisi komisi negara dalam skala yang massif; 

Pertama, merupakan mekanisme penyesuaian diri atau adaptasi dalam tradisi Huntington, yang dilakukan negara dalam kerangka pengaturan trias politika.

Kedua, merupakan bentuk kekalahan dari gagasan trias politika dalam perkembangan pergeseran dan menghadapi terjadinya paradigma dari pemerintah (Lihat: Cornelis Lay, State Auxiliary Agencies, hlm 5-9)

Menurut Jimly Assidiqie, ketidakjelasan lembaga-lembaga negara di Indonesia karena ketiadaan konsep ketatanegaraan yang komprehensif tentang apa dan bagaimana sebaiknya lembaga negara. Akhirnya, lembaga negara hanya lahir sebagai kebijakan yang reaktif responsif, tetapi justru tidak preventif solutif terhadap masalah kebangsaan.

Hal ini disebabkan karena dalam proses pembentukannya didesain secara tidak sistematis, komprehensif. Selain itu, tugas dan fungsinya sangat berpotensi menimbulkan tumpang tindih. Hal ini juga terjadi pada BPIP. Sebab, dalam mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara tidak hanya BPIP, tetapi ada juga lembaga lain seperti halnya MPR RI.

Dengan 4 pilar kebangsaan yang menjadi jargon MPR RI dimana didalamnya terdapat Pancasila, mengesankan bahwa belum adanya sinkronisasi diantara kedua lembaga Negara tersebut ( Lihat: Jimly Assidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm 20-21)

Terlepas dari berbagai kisruh dan polemik serta propaganda yang dihembuskan oleh BPIP yang akan kami kritisi adalah kebijakan terbaru soal pelarangan memakai kerudung yang dianggap kepala BPIP tidak mencermikan keragaman dan jati diri bangsa indonesia. Ada dua kesalahan besar Kepala BPIP dalam kasus ini: 

Pertama, menempatkan busana Muslimah bukan sebagai bagian dari keragaman umat beragama yang patut dihargai dan diberi ruang yang luas. Akibatnya, busana Muslimah bisa dilarang dengan aturan negara. Bukan tidak mungkin nanti larangan ini juga berlaku untuk para Muslimah yang bekerja di instansi-instansi Pemerintah dengan dalih ketunggalan dalam keseragaman.

Kedua, aturan pencopotan kerudung bagi para siswi anggota Paskibraka ini jelas melanggar hak warga negara untuk menjalankan aturan agama yang mereka yakini. Sebabnya, berkerudung dan berjilbab adalah bagian dari perintah agama Islam yang hukumnya wajib bagi setiap Muslimah.

Bukan seperti topi atau sandal yang bisa dibuka copot kapan saja. Dalam UUD 1945 dalam Pasal 29 ayat 2 pun disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agama. Negara juga menjamin kemerdekaan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu. Ibadah dalam ajaran Islam bukan hanya shalat, shaum, atau berhaji. 

Menjalankan semua perintah Allah SWT, seperti menutup aurat, juga adalah ibadah. Dengan membaca kronologi kejadian ini, jelas ada unsur kesengajaan menghalang-halangi para siswi Muslimah untuk menjalankan perintah agama dalam menutup aurat. Ada upaya mendesakralisasi simbol-simbol agama dan ketaatan pada ajaran Islam.

Jilbab dan kerudung bagi kaum Muslimah jelas bukan sekadar busana, tetapi juga simbol ketaatan dan kecintaan pada agama mereka. Karena itu pelarangan ini bukan sekadar persoalan teknis pakaian. Ada upaya yang lebih serius lagi, yakni menggiring kaum Muslim di Indonesia menuju kehidupan sekuler; menjauhkan umat dari ajaran agama dalam kehidupan alias menanamkan paham sekularisme.

Para pejabat dan politisi di Indonesia tidak pernah mau mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang menganut paham sekularisme. Padahal pada faktanya, berbagai aturan dan standar moral yang dibuat jauh dari nilai agama. Keluarnya PP No. 28/2024 tentang layanan kesehatan reproduksi bagi remaja, misalnya, adalah contoh regulasi yang tidak berdasarkan pada agama, tetapi semata urusan kesehatan reproduksi. Aturan ini tidak mengacuhkan keharaman zina maupun aborsi.

Dalam pandangan Islam Jilbab dan Khimar adalah sebuah perintah dari Allah SWT khusus kepada kaum perempuan:

"Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (TQS. Al-Ahzab [33]: 59).

"Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, para perempuan (sesama muslim), hamba sahaya yang mereka miliki, para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Hendaklah pula mereka tidak mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung." (TQS. An-Nur [24]: 31).

Menurut Imam Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan perkataan Aisyah radhiallahu’anha ini
Perkataan beliau [ber-khimar dengannya], maksudnya adalah mereka menutup wajah-wajah mereka. Caranya yaitu dengan meletakkan khimar tersebut di atas kepala mereka lalu menjulurkan kainnya dari sisi kanan ke pundah yang kiri (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, hlm 8).

Menurut Imam Abdurahman bin Nashir As-Sa’di setelah memerintahkan kaum Mukminin untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka, Allah pun memerintahkan pada para wanita Mukminah dengannya. Allah berfirman,;

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dari melihat aurat-aurat dan lelaki dengan penuh syahwat dan pandangan lain yang terlarang. "Dan menjaga kemaluannya, dari (kesempatan) untuk dapat menyetubuhinya, menyentuh dan melihat yang diharamkan kepadanya."Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya  seperti pakaian yang indah, perhiasan-perhiasan dan seluruh tubuhnya termasuk dalam pengertian perhiasan (zinah).

Manakala baju luar harus mereka kenakan, maka Allah berfirman;

"Kecuali yang biasa (Nampak) darinya,” baju luar yang biasa dipakai, selama tidak memicu munculnya fitnah. “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” demikian ini agar lebih sempurna dalam menutupi.

Dapat dipetik dari ayat ini, dan ayat lain yang serupa, kaidah sad al-wasa’il (keharusan menutup akses kepada kejelekan). Sesungguhnya sebuah perkara yang mubah, akan tetapi dapat menghantarkan kepada perbuatan haram atau ditakutkan akan terjadi perbuatan yang dilarang, maka perkara tersebut terlarang. Menghentakkan kaki ketanah, pada asalnya boleh, namun lantaran ia menjadi jalan tersibaknya perhiasan, maka ia dilarang.

Usai memerintahkan sekumpulan perintah yang baik dan mewasiatkan wasiat-wasiat yang indah, sudah tentu akan terjadi kelalian dalam pelaksanaannya dari seorang Mukmin dalam masalah itu, maka Allah memerintahkan mereka untuk bertaubat. Allah berfirman;

"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang beriman,” [karena seorang mukmin, keimanannya mengajak kepada taubat]. Kemudian Allah mengaitkan kebahagiaan dengannya. Allah berfirman, “supaya kamu beruntung,” sehingga tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan bertaaubat, yaitu kembali dari hal-hal yang dibenci oleh Allah, baik lahir atau yang batin menuju perkara-perkara yang Dia cintai, baik secara lahir maupun batin.

Keterangan ini menandakan bahwa setiap Mukmin membutuhkan taubat, lantaran Allah telah mengarahkan pembicaraan pada seluruh kaum Mukiminin. Dalam ayat ini (juga) termuat anjuran untuk berbuat ikhlas dalam bertaubat pada FirmanNya, “maka bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,” maksudnya bukan untuk tujuan selian wajah-Nya, berupa keselamatan dari gangguan-gangguan keduniaan, riya, sum’ah, atau orientasi-orientasi rusak lain (Lihat : Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, Tafsir as-Sa'di hlm. 212-214).

Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa semua bentuk pelanggaran terhadap syariat tidak boleh dilakukan apalagi, mengkampayekan untuk mereduksi hal yang mendasar dalam Islam seperti aturan berjilbab dan mengggunakan khimar yang menjadi perintah Allah SWT.

Dengan demikian, yang semestinya dilakukan oleh Negara membiarkan dan memfasilitasi bukan malah menuduh ajaran Islam  sebagai penghalang apalagi dianggap ajaran tersebut tidak lagi sesuai oleh zaman. Wallaahu'alam bishshawwab.[]

Oleh: Ramadhan Maulana
(Direktur Eksekutif PELITA)


Referensi
Lay, Cornelis. 2006. State Auxiliary Agencies. Jakarta. Jurnal Jentera, 5-9
Asshiddiqie Jimly, Asshiddiqie Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta. Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, Tafsir Al-Qur'an, Jakarta: Darul Haq, 2016


Opini

×
Berita Terbaru Update