TintaSiyasi.id -- Menanggapi dugaan lolosnya sertifikasi halal Kemenag RI beberapa produk haram seperi merek tuyul, tuak, wine, dan lain-lain, Pengamat Politik Dr. Riyan, M.Ag., mengatakan pemerintah harus bertanggung jawab karena ini di dalam penjaminan produk halal.
"Saya kira di situ pemerintah harus bertanggung jawab karena ini di dalam penjaminan produk halal ini," ungkapnya dalam Gempar! Ada Tuyul, Tuak, Beer dan Rhum Lolos Sertifikasi Halal Kemenag? Di kanal YouTube Khilafah News, Rabu (2/10/2024).
Ia menjelaskan, sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, negara bertanggung jawab atas produk halal. Kalau dilihat, sebenarnya mayoritas (penduduk) Muslim dan juga kemudian berbagai produk-produk itu kadang-kadang tidak ada kepastian tentang jaminan (halal). Memang ini adalah tanggung jawab negara, dalam konteks melakukan jaminan tersebut agar masyarakat (konsumen) itu tenang, baik makanan minuman. Produk-produk kemudian yang terkait dengan kosmetik dan sesuatu yang terkait dengan yang semacam itu.
Lebih lanjut, dia menegaskan sertifikasi halal tidak boleh dikapitalisasi, harus mempermudah prosesnya. Tidak boleh dikapitalisasi artinya jangan sampai produsen itu misalnya melihat 'wah ini mahal, rumit, sehingga akhirnya dia bersembunyi-sembunyi dan kemudian menempuh cara-cara yang tidak benar (self declare). Sehingga dari sini seharusnya memang pemerintah harus berusaha untuk kemudian mempermudah kepastian (sertifikasi halal) itu dengan prosedur yang sesuai dengan apa yang kemudian menjadi ketentuan.
"Artinya tidak boleh kemudian ada misalnya ada self declare tadi itu tetapi tidak ada uji terkait dengan tadi produk itu sendiri begitu ya," terangnya.
Jaminan Halal dalam Sistem Islam
Ia menjelaskan, munculnya sertifikasi halal dalam masyarakat karena banyak keraguan terhadap produk-produk yang beredar di tengah-tengah masyarakat saat ini. Sedangkan dalam Islam harus memahami bahwa produk-produk yang haram itu jumlahnya lebih sedikit. Karena lebih sedikit maka seharusnya yang diberikan sertifikasi adalah produk haram.
"Kemudian dibalik itu logikanya adalah jaminan bahwa produk-produk yang halal tanpa harus diberikan sertifikasi halal itu adalah halal, sementara produk-produk yang ada di publik ya yang kemudian itu dipastikan sesuatu yang haram itu yang justru harus kemudian dilabeli, karena jumlah ya sekali lagi yang haram itu sebenarnya ya itu itu lebih sedikit daripada kemudian yang halal," ungkapnya.
Produk yang halal seharusnya dijamin kehalalannya. "Harus kemudian dipastikan oleh pemerintah begitu logika berpikir, sehingga pemerintah itu memastikan bahwa kalau tanpa status halal pasti halal, sementara yang haram itu diberikan label haram, karena yang haram itu jumlahnya lebih sedikit, kalau dilihat dari jenis-jenis yang kemudian digunakan dalam konteks produk maupun juga kemudian dalam konteks istilahnya produksi," urainya.
"Sebenarnya pemerintah nanti akan tidak kesulitan, karena jumlahnya itu kan tiap hari produk makanan, minuman, kosmetik dan macam-macam yang lain itu kan terus bertambah, nah ini yang seharusnya kemudian membuat logika berpikir ini agar kemudian nanti sertifikasi yang ada itu sertifikasi haram, karena yang haram kan yang tidak boleh dikonsumsi dalam konteks ini oleh Muslim, sementara yang tidak ada sertifikasinya itu sudah pastikan halal karena melalui berbagai proses penjaminan yang memang sudah kemudian di dilakukan," pungkasnya. [] Alfia Purwanti