TintaSiyasi.id -- Menyorot viralnya peringatan darurat garuda biru dan gerakan lapisan masyarakat, baik guru besar, akademisi, aktivis, dan mahasiswa yang turun ke jalan demi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menolak upaya DPR RI membegal UU Pilkada, Direktur Mutiara Umat Institute Ika Mawarningtyas menyampaikan, justru politik dinasti lahir atas restu demokrasi.
"Publik harus menyadari, lahirnya politik dinasti adalah karena restu demokrasi," tuturnya dalam Live Kritik ke-30 bertajuk Peringatan Darurat: Dinasti, Oligarki, atau Demokrasi? di YouTube TintaSiyasi Channel, Jumat (25/8/2024).
Menurutnya, spirit aksi peringatan darurat garuda biru adalah spirit menjaga keadilan dalam berdemokrasi. Padahal, demokrasi adalah perangkat yang menciptakan kezaliman itu sendiri.
"Cengkeraman oligarki lahir karena demokrasi, penguasa yang dimodali kapitalis atau korporasi untuk maju dalam Pemilu atau Pilkada akan meminta imbalan ketika mereka telah terpilih. Bahkan, penguasa yang dilahirkan demokrasi bukan lagi penguasa pilihan rakyat, tetapi penguasa yang dikehendaki oligarki," urainya.
Peringatan darurat garuda biru muncul, ungkapnya, karena menolak dinasti. Ia menjelaskan, ada dugaan anak kedua Presiden Joko Widodo Kaesang Pangarep akan maju di Pilkada 2024. Padahal, umurnya belum mencukupi dan dia belum pernah menjabat menjadi gubernur ataupun bupati. "Publik harus sadar, Gibran Rakabuming Raka bisa lolos maju menjadi calon Wakil Presiden bersama Prabowo Subianto dan akhirnya terpilih, itu juga karena demokrasi," ulasnya.
Ia memaparkan, kongkalikong penguasa dengan para kapitalis terjadi karena demokrasi, lahirnya segelintir orang (oligarki) mengendalikan negara adalah karena kuasa demokrasi. "Fokus umat harus lebih kritis lagi, ketidakadilan dan kesengsaraan yang tampak hari ini karena sistem lemah buatan manusia yang bernama demokrasi. Demokrasi menjadi kendaraan untuk memenuhi syahwat politik siapa pun yang memiliki uang, mereka yang beruang merekalah yang berkuasa. Inilah kenyataan praktik demokrasi kapitalisme hari ini," bebernya.
Menurutnya, keadilan tidak mungkin tegak dalam sistem demokrasi kapitalisme. Ia menambahkan, apabila ingin menegakkan keadilan di bawah payung demokrasi, maka hal itu adalah utopis. "Tidak mungkin demokrasi mengakomodasi keadilan, karena demokrasi hanya mampu mengakomodasi suara terbanyak, tidak peduli suara itu zalim atau adil, benar atau salah, dosa atau berpahala. Demokrasi tidak peduli itu semua. Yang diakomodasi adalah suara terbanyak sekalipun itu adalah sebuah kezaliman dan kesengsaraan untuk rakyat," lugasnya.
Ia berujar, wajar banyak sekali undang-undang yang dilahirkan demokrasi justru mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan kapitalis dan memperbudak sumber daya manusia dalam memuluskan kepentingan kapitalis. Ia mengambil contoh sebagai berikut, UU Migas, Minerba, Omnibus Law, Cipta Kerja, UU Ketenagakerjaan dan sebagainya.
"Demokrasi telah mengizinkan sumber daya alam yang seharusnya dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, menjadi dimiliki individu atau kapitalis maupun korporasi asing. Padahal, rakyatnya banyak yang miskin. Belum lagi, bagaimana demokrasi membuka kran tenaga kerja asing, di kala rakyatnya banyak yang terkena badai PHK," jelasnya.
Ia membeberkan, lagi-lagi, semua karena regulasi yang dilahirkan demokrasi, yakni eksploitasi brutal terhadap kekayaan alam dan hukum tidak berdaya menghukum para korporasi yang telah merusak alam. "Inilah yang harus dipahami umat hari ini. Keadilan dan kesejahteraan dalam sistem demokrasi hanyalah omong kosong," pungkasnya.[] Titin Hanggasari