TintaSiyasi.id -- Dilarang di masa Megawati, dibuka lagi di era Jokowi. Itulah ekspor pasir laut. Kurang dari dua bulan sebelum mengakhiri jabatan, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial yang cenderung merugikan rakyat. Yaitu terkait izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kebijakan tersebut bertolak belakang dengan kebijakan Pemerintahan Presiden Megawati yang melarang ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut (ugm.ac.id, 19/9/2024).
Meski demikian, Jokowi berdalih yang diekspor bukanlah pasir laut melainkan hasil sedimen laut, yang bentuknya sama berupa campuran tanah dan air. Menurut Ahli Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) Institut Pertanian Bogor (IPB) Tri Prartono, sedimen adalah semua materi yang diendapkan di dasar laut. Endapan itu bisa berupa lumpur, pasir, dan batu. Tri menegaskan, tidak ada pengusaha yang mau mengekspor lumpur hasil sedimen laut dari Indonesia. Ia menyebut, pengusaha pasti mencari pasir laut, bukan sedimen laut (kompas.com, 22/9/2024).
Sementara Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Parid Ridwanuddin menilai, sikap Jokowi saat menyebutkan pasir laut yang diekspor adalah hasil sedimentasi, nampak tidak percaya diri. Pun terlihat tidak memahami maksud dari ekspor pasir laut adalah hasil sedimentasi (tempo.co, 22/9/2024).
Bila presiden saja tidak mampu memahami hal mendasar tentang perbedaan antara ekspor pasir laut dan hasil sedimentasi, mengapa kebijakan tentang izin ekspor pasir laut bisa dikeluarkan? Wajar bila kebijakan kontroversial ini menuai kritik dari berbagai pihak. Dari organisasi peduli lingkungan seperti WALHI dan Greenpeace, pengamat energi dan ekonomi, ahli oseanografi, anggota komisi di DPD RI, hingga Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Ekspor Pasir Laut: Gelar Karpet Merah untuk Korporasi
Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan dalam artikel ilmiah “Upaya Penanganan Pasir Laut dari Sisi Kebijakan” dalam Jurnal Teknologi Lingkungan terbitan BPPT pada 2004, penambangan pasir laut di Indonesia dilakukan sejak 1970-an sampai tahun 2000-an. Hasil tambang pasir itu untuk diekspor ke Singapura.
Setelah merdeka dari Inggris (1965), Singapura—yang didominasi rawa dan hutan bakau—mereklamasi besar-besaran wilayah pantai timurnya. Proyek ini rampung dalam 30 tahun, dan hingga 2002, reklamasi telah menambah luas negara itu sebesar 100 km persegi atau bertambah sekitar 26%. Ini membuat Singapura dapat membangun infrastruktur vital seperti Bandara Changi, Pulau Jurong, dan Pelabuhan Tuas yang menyokong deru mesin ekonomi.
Di sisi lain, Indonesia yang mendatangkan pasir laut untuk reklamasi Singapura justru ketiban ampas. Pemerintah Indonesia mengakui, ekspor pasir laut mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, ekosistem, dan habitat organisme laut. Maka pada Februari 2002, terbit Surat Keputusan Bersama Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Empat bulan kemudian, Presiden Megawati menerbitkan Keppres 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Keppres dan menyebut perdagangan pasir laut “telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut, keterpurukan nelayan dan pembudidaya ikan, serta jatuhnya harga pasir laut." Keppres itu mengamanatkan pasir laut menjadi komoditi yang diawasi tata niaganya bahkan dilarang diekspor. Pada 25 Februari 2003, Menperindag Rini Soemarno mengeluarkan SK Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang penghentian ekspor pasir laut dari seluruh wilayah Indonesia.
Namun setelah 20 tahun, mengapa keran ekspor pasir laut dibuka kembali oleh Jokowi? Terbitnya PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut membuat masyarakat kaget. Terlebih, dengung penyusunan PP ini tak pernah terdengar meski di tingkat parlemen. Slamet, politisi PKS di Komisi IV DPR mempertanyakan sejauh mana pelaksanaan uji publik karena banyak penolakan dari akademisi, aktivis, dan NGO.
Mengatur pemanfaatan pasir laut agar tak merusak lingkungan. Itulah tujuan diterbitkannya PP 26/2023. Namun, tujuan “melindungi lingkungan” tersebut rupanya tak dipercaya banyak kalangan karena pengalaman di masa lalu menunjukkan ekspor pasir laut lebih banyak membawa mudarat ketimbang maslahat.
Greenpeace Indonesia menuding pembukaan keran ekspor pasir laut di sebagai upaya greenwashing—argumen yang seolah-olah berbasis lingkungan namun dengan niat sebaliknya. Dr. Suhana, Dosen Ekonomi Kelautan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta sekaligus Wakil Sekretaris Pandu Laut Nusantara, komunitas yang bergerak di bidang konservasi ekosistem laut, juga sependapat bahwa PP 26/2023 sekadar akal bulus. Menurutnya, Kebijakan ini justru bertentangan dengan maksud itu. Karena akan menghilangkan budi daya laut dan berlawanan dengan parameter indeks kesehatan laut.
Bila penambangan pasir laut yang nyata-nyata merusak lingkungan tapi kembali dilakukan, tentu menyisakan pertanyaan mengapa pemerintah berbuat nekat? Sumber-sumber kumparan menyebut, PP 26/2023 bakal menguntungkan sekaligus memprioritaskan empat pengusaha kakap—TW, HD, SG, RG. Mereka disebut mengincar cuan dari ekspor pasir laut ke Singapura yang kini dihargai hingga SGD 21 per meter kubik.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menilai, PP 26/2023 berpotensi mengakomodir kepentingan pengusaha besar di luar pemilik Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan gubernur dan Menteri ESDM.
Data yang dihimpun kumparan dari laman Minerba One Map Indonesia Kementerian ESDM menunjukkan, sedikitnya ada 138 perusahaan dan perorangan yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), dan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) pasir laut di Indonesia. Total luasan izin itu sebesar 119.298 hektare. Sebanyak 100 di antaranya adalah izin yang diberikan di Kepulauan Riau.y
Kini, dengan terbitnya PP 26/2023, perusahaan yang sudah memiliki izin penambangan pasir laut mesti mengurus izin lagi ke KKP. Menurut KKP, hal itu untuk menertibkan penerbitan izin pemanfaatan pasir laut agar tidak ugal-ugalan.
Bila benar dugaan di balik alasan pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut ke Singapura adalah demi memberi karpet merah pada korporasi, tentu ini sebuah ironi. Untuk apa kebijakan dibuat bila justru menguntungkan negara lain dan para taipan tapi merugikan rakyat (negara) sendiri? Sungguh sulit dicerna oleh akal sehat.
Dampak Ekspor Pasir ke Singapura terhadap Kedaulatan Negara
Dosen Sumber Daya Kelautan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta sekaligus Wakil Sekretaris Pandu Laut Nusantara—komunitas yang bergerak di bidang konservasi ekosistem laut, Dr. Suhana menyebut PP 26/2023 bertentangan dengan parameter kesehatan laut.
Ia mengungkapkan, ada 10 indikator yang dapat menentukan indeks kesehatan laut, yakni: 1) Laut sebagai sumber pangan; 2) Laut sebagai wahana bekerja bagi nelayan; 3) Laut sebagai sumber alam; 4) Laut sebagai penyimpan karbon; 5) Laut sebagai pelindung pesisir; 6) Laut sebagai sumber mata pencarian; 7) Laut sebagai tempat wisata dan rekreasi; 8) Laut sebagai lokasi perlindungan spesies; 9) Laut sebagai perairan yang bersih; 10) Laut sebagai sumber keanekaragaman hayati.
Sepuluh indikator tersebut tidak akan terpenuhi oleh laut yang pasirnya dikeruk.
Lebih lanjut, dampak ekspor pasir ke Singapura terhadap kedaulatan negara yaitu;
Pertama, potensi kerusakan ekosistem laut. Penambangan pasir laut memiliki dampak negatif yang merugikan ekosistem laut dalam jangka waktu panjang yaitu; air laut menjadi keruh dan biota yang hidup di dasar laut tidak bisa berenang cepat, seperti kerang, siput, udang, dan kepiting yang berpotensi terisap ketika pengelolaan sedimentasi laut dilakukan.
Kedua, karena beban krisis iklim, banyak nelayan harus beralih profesi. Ekspor pasir laut tentu memperburuk situasi ini. Banyak nelayan dan perempuan di pulau-pulau kecil di Indonesia akan menghadapi masalah sosial seperti yang dialami warga Pulau Kodingareng atau Rupat.
Ketiga, mengurangi hasil tangkapan nelayan. Kerusakan lingkungan akan berdampak pada mata pencaharian nelayan dan masyarakat pesisir. Nelayan menjadi pihak yang paling terdampak karena ekosistem laut yang rusak.
Keempat, mengancam batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. ZEE adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai, di mana negara mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, atau melakukan penanaman kabel dan pipa.
Reklamasi yang dilakukan Singapura dengan memanfaatkan pasir laut dari Indonesia dapat memengaruhi perbatasan laut Indonesia. Walhi mencatat, sekitar 20 pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan Kepulauan lainnya sudah tenggelam. Selain itu, 115 pulau kecil terancam tenggelam di wilayah perairan dalam Indonesia. Sebagaimana Pulau Nipah yang mulai tenggelam padahal ia merupakan batas wilayah Indonesia dengan Singapura. Sementara potensi tenggelamnya pulau-pulau terluar atau terdepan yang merupakan pulau perbatasan sebanyak 83 pulau.
Kelima, daratan Indonesia semakin mengecil, sementara negara lain yang mendapatkan pasir laut itu makin luas daratannya. Kalau pemerintah mengekspor pasir laut artinya dia menjual kedaulatan Indonesia kepada negara lain dan ini berbahaya.
Demikian dampak buruk penambangan (ekspor) pasir laut. Tak hanya soal kerusakan lingkungan. Tak kalah urgennya, kedaulatan negara dipertaruhkan. Apakah yang begini pemerintah akan terus melanjutkan?
Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Sustainable Tanpa Ekspor Pasir
Dampak negatif dari penambangan (ekspor) pasir laut jelas bertentangan dengan konsep blue economy (pembangunan ekonomi berkelanjutan di sektor kelautan) yang dicanangkan pemerintah RI pada 202. Ini paradoks. Di satu sisi pemerintah mewacanakan blue economy, tapi di sisi lain membuat kebijakan yang mengancurkannya.
Padahal salah satu pilar utama yang dicanangkan Presiden Jokowi untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia ialah “Berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.” Maka PP 26/2023 sangat kontradiktif dengan visi maritim pemerintah Indonesia.
Dengan demikian, dibutuhkan strategi pengelolaan wilayah pesisir yang sustainable tanpa ekspor pasir antara lain;
Pertama, pengelolaan terpadu. Pengelolaan sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir dilakukan secara terpadu dengan penilaian menyeluruh, perencanaan, dan pemanfaatan yang terarah.
Kedua, sinergi antarstakeholder. Sinergi antarstakeholder perlu dilakukan untuk menghindari tumpang tindih kebijakan pengelolaan wilayah pesisir.
Ketiga, pengelolaan berbasis masyarakat. Masyarakat lokal perlu terlibat secara aktif dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya. Pemerintah membuka ruang aspirasi dari masyarakat. Karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi masyarakat perlu didengar dan program kegiatan betul-betul menyentuh masyarakat.
Keempat, penempatan kepentingan ekonomi secara proporsional. Kepentingan ekonomi harus ditempatkan secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Kelima, perencanaan zonasi. Perencanaan zonasi wilayah pesisir dapat membantu pemerintah untuk menentukan zona-zona yang ada di pesisir.
Keenam, rehabilitasi mangrove. Rehabilitasi mangrove dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan di daerah pesisir.
Demikianlah beberapa strategi pengelolaan wilayah pesisir yang sustainable tanpa ekspor pasir. Pengelolaan wilayah pesisir yang baik dan terpadu sangat penting karena wilayah pesisir memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mampukah dalam sistem politik demokrasi sekuler mewujudkan misi mulia ini?
Pustaka
Kemelut Ekspor Pasir Laut (1), kumparan.com, 5 Juni 2023
·
Ekspor Pasir Laut, Bukti Inkonsistensi Visi Maritim RI (2), 5 Juni 2023
Oleh: Pierre Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)