TintaSiyasi.id -- Tanya: Afwan kiyai ada seorang teman yang mengatakan kalau konsep khilafah Islam atau pemerintahan global berdasarkan syariat islam itu tidak realistis. Jangankan menyatukan negara, menyatukan sesama organisasi dan gerakan Isam saja susah apalagi menyatukan semua umat Isam.
Katanya pula, khilafah itu hanya tinggal sejarah, jadi bagian masa yang tidak usah diungkit-ungkit lagi. Seperti halnya dinosaurus yang sudah punah dan mustahil bisa bangkit dari kubur lagi. Enak diceritakan, tapi akan membuat orang ketakutan kalau dia dihidupkan lagi...
๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฏ๐ฎ๐ป
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Ketika disebut kata Khilafah mungkin yang langsung tergambarkan dipikiran banyak orang adalah ide atau gagasan ala organisasi HTI atau jangan-jangan malah IS*S ? Atau mungkin juga hal-hal “menyeramkan” lainnya yang itu dikait-kaitkan dengan sistem pemerintahan Khilafah yang wujudnya dinasti di masa lalu ?
Atau yang lebih sederhana dan umum, mengangkat konsep Khilafah berarti hendak mengganti sistem bernegara yang telah kita sepakati saat ini dengan ideologi kelompok tertentu dengan mengatasnamakan Islam ?
Kali ini, bukan waktunya kita masuk keperdebatan yang sifatnya parsial tersebut. Kita bahas itu di lain waktu. Mari kita mencoba untuk fokus menelaah bagaimana dan seperti apa sebenarnya wujud khilafah yang “asli” tanpa menyertakan tambahan atau sisipan dari pihak manapun. Baik itu yang dilakukan oleh tangan-tangan yang pro ataupun sebaliknya yang kontra dari muslimin sendiri, atau dari kaum kuffar dan munafiqin.
Secara umum tentang khilafah itu paling tidak ada dua point yang disepakati, yang pertama adalah menjadikan hukum Allah atau syariat sebagai sumber hukum tertinggi yang mengatur setiap lini kehidupan bermasyarakat. Dan yang kedua, diterapkannya sistem pemerintahan global. Yakni umat Islam disatukan oleh satu model kepemimpinan, tanpa adanya skat teritorial dan pembatasan negara-bangsa yang memisahkan mereka.
Dalam khilafah, umat Islam dipandang sebagai satu entitas global yang memiliki kesatuan politik di bawah satu kepemimpinan. Hal ini didasarkan pada prinsip persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah) yang mengedepankan kesatuan dan solidaritas di antara umat, tanpa terpengaruh oleh perbedaan ras, suku, atau wilayah geografis.
Dan dibahasan ini, saya hendak membahas satu hal saja sesuai dengan pertanyaan, yakni tentang anggapan bahwa sistem kekhalifahan itu tidaklah realistis di era modern ini. Yang mana katanya, jangan kan untuk menggabungkan negara satu dengan negara lainnya, lha wong menyatukan organisasi Islam saja susahnya bukan main. Lagi pula, hari ini umat Islam sudah cukup nyaman dengan tatanan dunia baru, hidup dengan sistem demokrasi dan punya negara sendiri-sendiri.
Dan mohon agar antum menyimak tulisan ini dengan seksama, jika ada yang layak untuk dikritisi, silahkan langsung dibantah tanpa perlu ragu sedikitpun. Karena jawaban saya ini mungkin akan sarat dengan opini pribadi meski saya mengklaimnya itu adalah ilmu dari guru-guru saya atau pemikiran yang saya yakini sebagai yang paling logis dan ilmiah.
Pendapat saya tentu saya yakini sebagai yang paling tepat dan benar, tapi tak menutup peluang bisa saja sebenarnya salah. Dan pendapat orang lain menurut saya salah atau minimal kurang tepat, tapi bisa saja itu justru yang lebih tepat bahkan yang benar dan saya keliru, itu prinsipnya...
Dan jangan terburu-buru menyimpulkan saya bicara tentang khilafah berarti saya mendukung kelompok tertentu dan berideologi tertentu. Karena bicara khilafah itu bukan berarti harus menjadi HTI, sebagaimana bicara pembaharuan Islam tidak harus orang Muhammadiyah, untuk menegakkan tauhid tidak meski orang Salafi dan yang bicara tentang toleransi dan kebangsaan tak melulu itu pasti orang NU. Bukan begitu ?
Dan kalau ada yang alergi dengan istilah khilafah di tulisan ini, langsung saja terjemahkan dibenak antum dengan translit : Khilafah = sistem pemerintahan global, atau mungkin Uni Islam, atau bahasa semisal seperti kita mengenal adanya istilah Uni Eropa, PAN Arabisme, atau PBB.
Baiklah, langsung saja kita bahas soalan “benarkah pemerintahan global hari ini tidak realistis ?” Berikut ini 8 (delapan) penjelasannya :
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐บ๐ฎ, ๐ท๐๐๐๐ฟ๐ ๐ฎ๐ฑ๐ฎ๐ป๐๐ฎ ๐ฝ๐ฒ๐บ๐ฒ๐ฟ๐ถ๐ป๐๐ฎ๐ต๐ฎ๐ป ๐ด๐น๐ผ๐ฏ๐ฎ๐น ๐ฎ๐ฑ๐ฎ๐น๐ฎ๐ต ๐ธ๐ฒ๐ฏ๐๐๐๐ต๐ฎ๐ป ๐บ๐ฎ๐๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ธ๐ฎ๐ ๐บ๐ผ๐ฑ๐ฒ๐ฟ๐ป
Ada sebagian orang yang melontarkan pernyataan bahwa gagasan khilafah atau pemerintahan global tidak lagi realistis di zaman modern ini. Padahal jika kita mau mengkaji dan merenungi lebih mendalam, justru pandangan seperti ini lah yang mengabaikan sudut pandang yang lebih realistis dan telah terpengaruh oleh pola pikir yang sempit dan skeptis.
Mari kita coba bandingkan secara objektif : mana yang lebih sulit, mendirikan pemerintahan global di era 'merpati pos' ketika komunikasi begitu lambat dan terbatas, atau di era 'email elektronik' sosmed dan wujud teknologi canggih di bidang informasi seperti saat ini, di mana satu berita dapat disebarkan dalam hitungan detik ke seluruh penjuru dunia ?
Mana yang lebih masuk akal, mewujudkan kesatuan umat tanpa batas wilayah di masa 'busur panah' dan kuda sebagai alat transportasi, atau di era 'rudal balistik' dan pesawat jet yang bisa menghubungkan benua dalam hitungan jam ?
Mana yang lebih dibutuhkan, membangun sebuah pemerintahan yang mampu mengelola jutaan manusia di zaman 'kertas dan tinta' yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyusun dokumen dan kebijakan, atau di zaman 'komputasi awan' dan teknologi digital, di mana data dan informasi bisa dikelola dan diakses secara real-time oleh jutaan orang di seluruh penjuru dunia?
Mana yang lebih realistis masyarakat dunia bisa disatukan pada zaman koin emas dan perak harus diangkut untuk perdagangan antarnegara, dengan zaman sekarang transfer dana internasional bisa terjadi dalam hitungan menit dengan sistem keuangan elektronik?
Jika di masa-masa yang jauh lebih sulit dan sering dikatakan primitif, umat Islam berhasil mempertahankan pemerintahan global selama berabad-abad, lalu bagaimana bisa di zaman serba cepat dan mudah ini, dengan dukungan teknologi yang jauh lebih maju, gagasan tentang kesatuan umat di bawah pemerintahan global dikatakan tidak masuk akal ?
Jika di masa lalu, dengan segala keterbatasan teknologi, umat Islam mampu membangun dan mempertahankan khilafah selama hampir 1000 tahun, menghadapi berbagai tantangan dan serangan dari luar, lalu mengapa di zaman modern yang serba mudah dan serba cepat ini, khilafah dianggap tidak mungkin?
Dan faktanya pula, masyarakat dunia saat ini sudah saling terhubung. Interaksi antarnegara sudah melampaui batas geografis dan politik. Dunia tak ubahnya sebuah kampung besar, di mana informasi dan ide-ide mengalir bebas melintasi perbatasan tanpa hambatan yang berarti.
Dalam konteks ini, kebutuhan akan seorang pemimpin global menjadi semakin mendesak. Tidak mungkin kita bisa mencapai stabilitas global tanpa adanya satu kepemimpinan yang bisa menyatukan peradaban, menuntun umat menuju arah yang lebih baik.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah :Pihak mana yang akan menjadi pemimpin tersebut ? Apakah kita ingin dipimpin oleh sistem barat yang didasarkan kepada nilai-nilai kapitalis, liberal dan sekuler, atau mungkin kekuatan baru neokomunisme yang juga berusaha bangkit dari kematiannya, ataukah kita lebih memilih sistem yang berlandaskan kepada syariat Islam dan prinsip syura (musyawarah)?
Jika sebagian orang—baik itu kaum munafik, zindik, kuffar atau bahkan yang mengaku muslim—lebih memilih untuk dipimpin oleh pilihan mereka, itu adalah hak yang kita hargai. Mereka bebas memilih pemimpin dan sistem yang mereka anggap cocok bagi mereka. Tapi jangan katakan bahwa pilihan kita tidak realistis….
๐๐ฒ๐ฑ๐๐ฎ, ๐บ๐ฒ๐ป๐ท๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐ถ๐ป๐ผ ๐๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ฎ๐ถ ๐ฝ๐ฒ๐ฟ๐บ๐ถ๐๐ฎ๐น๐ฎ๐ป, ๐ถ๐๐ ๐ฎ๐ป๐ฎ๐น๐ผ๐ด๐ถ ๐๐ฎ๐ป๐ด ๐ฟ๐๐๐ฎ๐ธ
Pembuatan analogi atau permisalan untuk membantu memudahkan pemahaman pada suatu objek bahasan adalah hal yang baik dan sering lazim dilakukan untuk mendekatkan pemahaman. Namun, jika analogi tersebut tidak tepat, alih-alih membantu, justru dapat menyesatkan dan membuat pemahaman menjadi jauh dari tujuan yang diinginkan.
Contohnya, membandingkan khilafah dengan Dinosaurus mungkin terkesan sebagai upaya untuk menyamakan keduanya sebagai 'produk' masa lalu. Namun, dalam konteks ini, sangat tidak tepat jika khilafah dianalogikan dengan Dinosaurus.
Ini adalah bentuk dari jenis qiyas yang dalam ilmu usul fiqih disebut dengan ma'al fariq, yaitu analogi yang rusak, karena memperbandingkan dua hal yang memiliki perbedaan mendasar. Tidak apple to apple, tapi mungkin apple to Vivo atau Oppo.
Bukankah dinosaurus sudah punah dan hanya tersisa fosil, yang tidak mungkin dihidupkan Kembali ? Sementara khilafah, meskipun berasal dari masa lalu, tetap memiliki potensi untuk ditegakkan kembali karena manusia beriman, muslim yang teguh, dan mujahid dakwah yang menjadi pondasi kebangkitan Islam masih ada dan terus berjuang hingga saat ini ?
Bukankah calon-calon pionir dan pemimpin umat yang akan menegakkan kembali panji Islam, setiap saat bisa lahir dari rahim para muslimah ? Ini membuktikan bahwa ide pemerintahan global ala Islam bukanlah sesuatu yang mati atau hilang, melainkan sesuatu yang selalu hidup dan siap diwujudkan kapan saja. Berbeda dengan si dino yang memang tak mungkin untuk hidup kembali…
Bersambung ke point 3,4 dan 5 …