Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Malapetaka Dunia Islam Lewat Konsep Nation-State

Kamis, 29 Agustus 2024 | 03:34 WIB Last Updated 2024-08-28T20:35:14Z
TintaSiyasi.id -- Influencer Dakwah Aab Elkarimi mengatakan, malapetaka dunia Islam dalam 100 tahun terakhir lewat konsep Nation State. “Pedih rasanya jika kita mengetahui malapetaka dunia Islam dalam 100 tahun terakhir lewat konsep Nation-State. Kebersatuan kita menjadi terbatas, kekuatan kita menjadi seolah tidak boleh peduli dengan urusan sesama muslim,” ungkapnya di kanal YouTube Aab Elkarimi, Selasa (6/8/2024).

"Umat Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara, ragam aliran mazhab fiqih dan juga akidah terbagi menjadi ratusan, bahkan ribuan organisasi terbelah oleh ragam tujuan yang ingin dicapainya, tercincang oleh fanatisme," lanjutnya. 

Ia mempertanyakan, akankah dua miliar umat Islam  menjadi kekuatan atau umat Islam menelan bulat-bulat fakta pahit tanpa visi, tanpa arah, dan tanpa gerakan sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, umat Islam bagai buih di lautan, banyak tetapi tidak punya kekuatan.

“Lantas, ketika umat Islam ini makin banyak yang tertindas, menderita, makin hilang identitasnya, makin kacau cara hidupnya, akankah sikap kita dingin tidak peduli? Jika seperti itu, lalu apa artinya firman Allah SWT dan hadis Nabi SAW tentang keharusan gejolak pembelaan terhadap keberlangsungan umat ini yang tertanam akidah, bahkan dengan sengaja ditanamkan oleh Rasul SAW merupakan pesan akhir sebelum kepergiannya, beliau berkata umati…..umati," terangnya.

Kembali Aab mempertanyakan, dengan apa sebuah entitas manusia itu disatukan? Apakah hanya karena kesamaan genetik, ras, suku, dan juga tempat tinggal? Apakah disatukan oleh satu pemikiran semacam ideologi politik atau semodel sekatan garis imajiner dipatok dan dipancang lewat kawat berduri perbatasan, lalu dikokohkan dengan pekikan pernyataan merdeka dan persatuan? Lantas dengan apa sebuah entitas manusia itu disatukan? Dengan apa pula kita kaum Muslimin yang dua miliar ini disatukan?

“Pertanyaan ini cukup dalam dan mendasar, yang akan membawa pada eksistensi kita sebagai manusia tentang siapa kita di alam semesta. Saya dengan pasti meyakini bahwa saya adalah hamba Allah sejak jauh-jauh hari ditanamkan tauhid oleh ayah saya, di sebuah surau di kampung dididik untuk belajar Iqra dan terbata mengeja huruf dalam Al-Qur’an hinggalah sampai pada kalimat "Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhadu anna muhammadarrasuulullah," imbuhnya.

"Setia kita sebagai makhluk yang menyembah pada yang Satu, yang hanya takut pada yang Satu, yang hanya ingin bersatu bersama semua hamba-Nya yang menyembah Tuhan yang satu. Pertanyaannya, dengan apa sebuah entitas manusia disatukan bagi seorang Muslim?  Kepastian akan kesamaan yang menimbulkan persatuan satu-satunya itu adalah eksistensi kita sebagai hamba Allah SWT. Itulah sebutan Allah pada kita umat Islam sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyembah-Ku,” terangnya,

Aab membeberkan, ada gelombang tren besar yang hari ini berkembang soal orang-orang di seluruh belahan dunia yang hari ini mendefinisikani sebagai warga global yang kebetulan menghuni satu daerah, mereka tidak mendefinisikan diri berdasar ke-Eropaan mereka atau ke-Jermanan mereka atau ke-Swissan mereka, bahkan ke-amerikaan mereka. Mereka menyadari bahwa hakikatnya mereka manusia sama dengan lainnya.

“Manusia hari ini dengan keterbukaannya telah mendefinisikan diri sebagai warga dunia, sikapnya tidak ingin dipaksa mengikuti wakil politik dan juga institusi negara, bahkan tidak pula bangsa dan nasionalismenya. Di sinilah kita dapati fakta yang terkadang sikap asli warga negara itu tidak mewakili sikap pemerintahannya. Dan gelombang pembelaan pada Palestina salah satu potret yang terbaik. Perasaan satu sebagai sama-sama manusia adalah sikap jujur yang terlihat lewat gelombang protes pada penindasan yang dilakukan zionisme,” tegasnya

Kembali Aab menanyakan, lantas apa yang membedakan manusia di seluruh dunia dengan sikap kita sebagai seorang Muslim?

"Sebetulnya perbedaannya enggak banyak, seorang Muslim hanya melanjutkan tentang hakikat keberadaannya sebagai manusia, itu dipandangnya dalam kaca mata hamba bahwa realitas kita sebagai manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk, hamba dari Sang Khalik, yang dari sini menjadikan ikatan itu menjadi transendental mendalam, bahkan mengakar ikatan yang membangun persatuan lintas suku, ras, letak geografis, bahkan melibas hingga kotak-kotak terkecil dari primordialisme," lanjutnya.

“Ikatan akidah Islamiah sebuah ikatan yang faktanya terbentang secara historis, geografis, filosofis, politis, bahkan sudah tentu teologis. Dalam sejarah panjang umat ini bisa dikatakan bahwa kita adalah bagian kecil umatnya. Sepanjang 1400 tahun perjalanan umat ini, dalam perjalanan panjangnya itu, umat Islam hampir selalu hidup dalam sistem Islam dan ikatan akidah Islam dan kita hari ini menelan fakta pahit bahwa kita terlepas dari rangkaian panjang itu. Sebelum Daulah Utsmaniyah runtuh pada 1924 kita masih terhubung dalam sejarah panjang eksistensi kita dipimpin oleh satu pemimpin, disatukan dalam satu institusi politik,” urainya.

Lanjut Aab sampaikan, banyak catatan sejarah tentang tersebut, sebagai contoh Kesultanan Banten keempat, Sultan Abu  Mufakir menjadi sultan pertama yang resmi menyandang gelar sultan yang disahkan oleh otoritas Utsmani sebagai institusi yang mewakili dunia Islam. Kesultanan Yogyakarta yang menyandang gelar Khalifatullah di tanah Jawi, perwakilan Khalifah di tanah Jawa dan dunia Islam yang tidak bisa lepas dari kebersatuannya. 

"Bahkan pernah enggak kita bertanya tentang bendera warna negara-negara Muslim di Arab yang itu hampir sama paduan merah, hitam, hijau juga putih, bahkan sebagian dari kita susah untuk membedakannya antara Libanon, Yordania, Palestina, Mesir, Irak dan lainnya, yang ternyata keterpisahan ini baru muncul setelah Perang Dunia 1, hasil bagi-bagi kue pemenang perang antara Inggris dan juga Prancis lewat satu perjanjian yang namanya perjanjian Sykes-Picot," ujarnya.

Lebih jauh ia katakan, wilayah dunia Islam yang awalnya satu, dipecah-pecah dan dipotong-potong, dicincang menjadi bagian-bagian kecil. Pedih rasanya jika umat Islam mengetahui malapetaka dunia islam dalam 100 tahun terakhir lewat konsep Nation-State. Kebersatuan umat Islam menjadi terbatas, kekuatannya seolah menjadi tidak boleh peduli dengan urusan Malaysia yang sama-sama Muslim. Dengan alasan konsep itu (Nation-State), Malaysia bukan menjadi wilayah Islam lainnya. Jadi, bukan urusan umat Islam lainnya. Begitupun soal Uyghur, Bosnia, Kashmir, Rohingya, hingga sekarang Palestina, ikatan umat Islam yang awalnya satu, pudar menjadi abu mengecil menjadi serpihan tak berkekuatan.

"Keterpercayaan kita sebagai satu entitas melahirkan pertanyaan besar dengan apa sebuah entitas manusia itu disatukan dengan apa umat Islam disatukan? Apa hakikat keberadaan kita yang dua miliar jumlahnya, tutupnya," [] Riana

Opini

×
Berita Terbaru Update