“Pokok-pokok bahasan yang akan kita bahas tentang
hukum demo dalam Fikih Islam adalah pengertian demo (اَلْمُظاَهَرَاتُ), hukum
demo di kalangan ulama, dan tarjih (memilih pendapat terkuat),” tuturnya.
Pengertian Demo (اَلْمُظاَهَرَاتُ)
Demonstrasi (al-muzhâharât) adalah penyampaian
pendapat atau perasaan di hadapan publik secara berjemaah baik kepada penguasa,
partai politik, maupun kepada pihak-pihak lainnya.
(Abdurrahman Sa’ad Al-Syatsri, Al-Muzhâharât
fî Mîzân Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah, hlm. 6; Muhyiddin Al-Qarahdaghi, At-Ta`shîl
Al-Syar’i Li Al-Muzhâharât As-Silmiyyah, hlm. 3).
Hukum Demo di Kalangan Ulama
Pendapat pertama,
mengharamkan demo (اَلْمُظاَهَرَاتُ),
misalnya pendapat Syekh Nashiruddin Al-Albani, Syekh Abdurrahman bin Sa’ad
Al-Syatsri, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, Syekh Abdul Aziz bin Baz,
dan Syekh Shalih Al-Fauzan.
Alasan keharamannya antara lain:
1)
Demo dianggap
pemberontakan kepada penguasa (al-khurûj ‘ala waliy al-amr).
2)
Demo banyak
menimbulkan berbagai penyimpangan syariah, seperti ikhtilât (campur
baur pria dan wanita) dan berbagai madarat (seperti perusakan
fasilitas publik).
3)
Demo dianggap
bertentangan dengan hadis yang dipahami sebagai larangan untuk mengkritik
pemimpin secara terbuka, yaitu hadis dari Iyadh bin Ghanam ra., bahwa Nabi saw.
bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ
يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ
لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا
كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barangsiapa
hendak menasihati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia menampakkan
perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan
pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau
tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.
(H.R. Ahmad, Al-Musnad, Juz III no. 15.369).
Pendapat kedua, membolehkan
demo (اَلْمُظاَهَرَاتُ)
dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya pendapat Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh
Ziyad Ghazzal, Syekh M. Abdullah Al-Mas’ari, dan Syekh Muhyiddin Al-Qarahdaghi.
Alasan mereka membolehkan demonstrasi antara lain:
1.
Demonstrasi
dianggap sebagai salah satu cara/teknik (uslûb) dalam
melakukan amar makruf nahi mungkar atau menyampaikan nasihat kepada
penguasa.
2.
Namun
bolehnya demo disertai syarat-syaratnya, antara lain: tujuan demonstrasi harus syar’i,
tidak disertai ikhtilât, tidak boleh merusak fasilitas publik, tidak boleh
menggunakan kekerasan/senjata.
Demikianlah pemetaan berbagai mazhab (pendapat
ijtihad) para ulama seputar hukum demo (al-muzhāharāt).
Rujukan-rujukannya, silakan lihat:
1.
Abdurrahman
bin Sa’ad Al-Syatsri, Al-Muzhāharāt fî Mîzân Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah,
hlm. 14-47;
2.
Ziyad
Ghazal, Masyrû’ Qânûn Al-Ahzâb fî Ad-Dawlah Al-Islâmiyyah,
hlm.15-27;
3.
M. Abdulah
Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 39-59;
4.
Muhyiddin
Al-Qarahdaghi, At-Ta`shîl Al-Syar’î Li Al-Muzhâharât As-Silmiyyah,
hlm.5-19.
Tarjih
(Memilih Pendapat yang Paling Kuat Dalilnya)
Pendapat yang râjih (lebih kuat
dalilnya) adalah pendapat yang membolehkan demonstrasi dengan syarat-syarat
tertentu.
Hal ini dikarenakan bolehnya demonstrasi sesungguhnya
sudah tercakup dalam dalil-dalil umum yang mensyariatkan amar makruf nahi
mungkar atau dalil-dalil umum yang mensyariatkan menyampaikan nasihat
kepada penguasa. (M. Abdulah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm.
5).
Dalil-dalil umum yang mensyariatkan amar makruf nahi
mungkar tersebut, misalnya firman Allah Swt.:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ
اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ
وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Dan hendaklah
di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran: 104).
Selain itu juga terdapat dalil-dalil umum dari hadis
Nabi saw. yang mewajibkan umat Islam untuk melakukan amar makruf nahi mungkar atau muhâsabah (koreksi/kontrol)
kepada pemimpin (muhâsabah al-hukkâm), misalnya sabda Rasulullah saw.:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ
حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ
فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ
Pemimpin para
syuhada (di surga kelak) adalah Hamzah bin Abdil Muthallib, dan seorang
laki-laki yang berdiri di hadapan Imam (Khalifah) yang zalim, lalu laki-laki
itu melakukan amar makruf nahi mungkar kepada Imam itu, lalu Imam itu
membunuhnya. (H.R. Al-Hakim, Al-Mustadrak, no.
4884, hadis sahih menurut Syekh Nashiruddin Al-Albani, As-Silsilah
Ash-Shahîhah, no. 374).
Selain itu, juga terdapat dalil umum yang
mensyariatkan amar makruf nahi mungkar kepada pemimpin yang zalim,
dan bahkan perbuatan ini disebut afdholul jihâd (seutama-utama
jihad) oleh Rasulullah saw., sebagaimana dalam hadis berikut:
عَنْ أبي سعيدٍ الخدري - رضي الله عنه- عنِ
النَّبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال: أفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ
سُلْطَانٍ جَائِرٍ. رواه أبو داود، والترمذي، وقال: حديث حسنٌ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda,”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq)
di hadapan penguasa yang zalim.” (H.R. Abu Dawud, no. 4344,
Ibnu Majah, no. 4011, dan Tirmidzi, no. 2174. Imam Tirmidzi berkata, ”Ini
adalah hadis hasan”).
Dalil-dalil umum di atas merupakan dalil wajibnya
melakukan amar makruf nahi munkar atau muhâsabah (koreksi/kontrol) kepada para
pemimpin/penguasa (muhâsabah al-hukkâm), dengan berbagai macam
cara/teknik (al-uslûb) yang dibolehkan syariah, yang salah satunya
adalah dengan cara melakukan demonstrasi (al-muzhâharât).
Mengomentari dalil-dalil tersebut, Syaikh Muhammad
Abdullah Al-Mas’ari berkata bahwa nas-nas hadis tersebut bersifat mutlak,
yakni tidak membatasi cara tertentu dalam menasihati nasihat penguasa.
(Muhammad Abdullah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 60).
Namun bolehnya demonstrasi tersebut wajib dibatasi
dengan 3 (tiga) syarat agar tidak terjadi penyimpangan syariat, yaitu:
Pertama, tujuan
demonstrasi wajib sesuai dengan syariah, misal mengajak penguasa menerapkan
syariah Islam secara kâffah (menyeluruh) dalam segala aspek
kehidupan. Dalil untuk syarat ini kaidah fiqih yang berbunyi:
اَلْوَسَائِلُ تَتَّبِعُ الْمَقَاصِدَ فِيْ أَحْكَامِهَا
“Al-Wasa`il
tattabi’u al-maqashid fi ahkamiha”. (Segala
jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi
Al-Burnu, Mausû’ah Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 99).
Kedua, demonstrasi
yang dilaksanakan wajib dilaksanakan secara damai, yakni tidak boleh
menggunakan kekerasan atau senjata, misalnya membakar fasilitas publik (seperti
halte bus umum), menggunakan senjata tajam, senjata api, bahan peledak, dsb.
Dalilnya
adalah larangan Nabi SAW untuk menggunakan senjata dalam menasihati penguasa:
مَن حَمَلَ عَلَيْناَ السِّلاحَ فَلَيْسَ مِنَّا
Barangsiapa
yang menghunus senjata kepada kami maka dia bukanlah golongan kami.
(man hamala ‘alaynâ as-silâh falaysa minna). (H.R. Bukhari, no. 6480, Muslim,
no. 161).
Ketiga, demonstrasi
yang dilakukan tidak boleh disertai segala hal-hal yang telah diharamkan
syariah, misalnya merusak fasilitas publik,
melakukan ikhtilâth (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahramnya), dan melakukan tabarruj (perbuatan wanita menampakkan
perhiasan dan keindahan tubuh).
Dalil untuk syarat ketiga ini adalah dalil-dalil umum
yang telah melarang melakukan segala hal yang diharamkan syariah Islam.
Benarkah Mengkritik Pemimpin Harus Diam-Diam?
Sebagian ulama ada yang mengharamkan demonstrasi
berhujah dengan dalil yang dipahami sebagai larangan untuk mengkritik pemimpin
secara terbuka. Dalil tersebut adalah hadis dari Iyadh bin Ghanam ra., bahwa
Nabi saw. bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ
يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ
لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا
كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barangsiapa
hendak menasihati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia menampakkan
perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan
pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau
tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.
(H.R. Ahmad, Al-Musnad, Juz III no. 15.369).
Jawabannya:
Hadis tersebut tidak dapat menjadi hujah (dalil) bahwa
mengkritik pemimpin wajib secara diam-diam atau haram dilakukan secara terbuka,
berdasarkan 2 (dua) alasan sebagai berikut:
Pertama, hadis
ini merupakan hadis dhaif (lemah) sehingga tidak sah untuk dijadikan hujjah.
Kedua,
katakanlah hadis itu sahih, tetap tidak dapat menjadi dalil haramnya mengkritik
penguasa secara terbuka, karena kebolehan mengkritik penguasa secara terbuka
justru telah dicontohkan oleh para shahabat Nabi SAW yang sering mengkritik
para khalifah secara terbuka.
Pertama, hadis ini
merupakan hadis daif (lemah) sehingga tidak sah untuk dijadikan hujah,
berdasarkan dua alasan:
(1) Sanadnya
terputus (inqitha’), yaitu periwayat hadis bernama Syuraih bin Ubaid
tidak mendengar (samâ’) hadis ini secara langsung dari Iyadh bin Ghanam,
dan
(2)
ada periwayat hadis yang dinilai lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyâsy.
(M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm,
hlm. 41-43).
Kedua, katakanlah hadis
itu sahih, tetap tidak dapat menjadi dalil haramnya mengkritik penguasa secara
terbuka, karena kebolehan mengkritik penguasa secara terbuka justru telah
dicontohkan oleh para sahabat Nabi saw. yang sering mengkritik para khalifah
secara terbuka.
Mari kita perhatikan beberapa contoh shahabat Nabi saw.
yang mengkritik para khalifah secara terbuka di muka umum:
Diriwayatkan
dari Nafi’ Maula Ibnu Umar ra., ketika menaklukkan Syam, Khalifah Umar bin
Khaththab tidak membagikan tanah Syam kepada para mujahidin. Maka Bilal ra.
memprotes dengan berkata:
لَتَقْسِمَنَّهَا
أَوْ لَتَتَضَارَبَنَّ عَلَيْهَا بِالسَّيْفِ
Kamu harus
benar-benar membagi tanah itu atau kamu harus mengambil tanah itu dengan
pedang!” (H.R. Baihaqi, no 18764, hadis sahih).
Hadis ini
menunjukkan Bilal telah mengkritik Khalifah Umar bin Khaththab secara terbuka
di hadapan umum.
(Ziyad Ghazzal, Masyrû’
Qânûn Wasâ’il Al-I’lâm fi Ad-Daulah Al-Islâmiyah, hlm.24).
Diriwayatkan
dari ‘Ikrimah ra., bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib RA telah membakar kaum
zindik. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra., maka berkatalah Ibnu Abbas ra.:
لَوْ كُنْتُ
أَناَ لَمْ أُحَرِّقْهُمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ (لاَ تُعّذِّبُوْا بِعَذَابِ اللهِ) وَلَقَتَلْتُهُمْ كَماَ قاَلَ
النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فاَقْتُلُوْهُ
Kalau aku,
niscaya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi saw. telah bersabda, ”Janganlah
kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api),” dan niscaya aku akan membunuh mereka
karena sabda Nabi saw., ’Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.’
(H.R. Bukhari, no. 2854 & 6524).
Hadis ini
juga jelas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Abi
Thalib secara terbuka. (Ziyad Ghazzal, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il Al-I’lâm
fî Ad-Daulah Al-Islâmiyah, hlm.24).
Berdasarkan dalil-dalil syar’i yang diuraikan
di atas, boleh hukumnya melakukan demonstrasi untuk mengkritik pemimpin secara
terbuka di muka umum, asalkan memenuhi syarat-syaratnya yang sudah diterangkan
di atas, yaitu :
Pertama,
tujuan demonstrasi wajib sesuai dengan syariah,
Kedua,
demonstrasi tidak boleh menggunakan kekerasan atau senjata,
Ketiga,
demonstrasi tidak boleh disertai segala hal-hal yang telah diharamkan syariah.
Kesimpulannya, boleh hukumnya demo menurut syariah
untuk mengkritik penguasa secara terbuka, asalkan memenuhi syarat-syaratnya.
Boleh juga mengkritik penguasa dengan berbagai cara di
berbagai forum yang seluas-luasnya, misal di berbagai pengajian di
masjid-masjid, kajian-kajian Islam di kampus, obrolan-obrolan santai di pasar,
warung kopi.
Termasuk juga boleh mengkritik penguasa via berbagai
platform media apa pun juga yang memungkinkan, seperti video di Youtube, atau
menulis artikel di koran, majalah, buletin Jumat, dan lain-lain, khususnya
melalui media sosial (medsos), seperti WA (Whatsap), Facebook,
X (ex Twitter), TikTok, dan sebagainya. Wallāhu
a’lam.[] Rere