Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Toxic Judol Merasuki Anak: Bagaimana Nasib Generasi?

Senin, 08 Juli 2024 | 21:16 WIB Last Updated 2024-07-08T14:22:39Z
TintaSiyasi.id -- Judi online (judol) menyasar semua kalangan. Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judol mencatat, judol tak hanya dilakukan orang dewasa tapi juga anak-anak. Data Satgas ini per Juni 2024 menunjukkan, jumlah anak (usia <10 tahun)  pelaku judol sebanyak 80.000. Jumlah ini setara 2% dari total 2,37 juta pelaku judol di Indonesia (antaranews.com, 2/7/2024). 

Anak rentan terpapar judol karena dapat mengakses internet. Terlebih tampilan judol dalam kemasan game yang bervariatif akan menarik minat mereka. Salah satu ciri game judol adalah minta top up. Begitulah, menang bikin ketagihan, kalah bikin penasaran. 

Bila anak telah kecanduan toxic judol, bagaimana nasib generasi. Tak lagi memakan korban satu atau dua anak. Ini adalah kejahatan sistematik. Tak hanya keluarga, pernah semua eleman masyarakat terutama negara dibutuhkan demi menyelamatkan generasi dari toxic judol yang kian menggila. 

Judol: Kejahatan Sistematik

Pergerakan judol kian masif dan sistematik. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Maria Apituley menyesalkan adanya 80.000 anak di Indonesia  terlibat judol. Ia menyebut, judol merupakan kejahatan sistematik karena begitu masif muncul di media sosial (kompas.com, 3/6/2024). Adapun Komisioner KPAI, Kawiyan, menyatakan fenomena judol yang merembet ke anak-anak di bawah umur sudah berada di fase mengkhawatirkan (tempo.co, 22/6/2024).

Berikut beberapa penyebab anak-anak terjerembab dalam candu judol. Pertama, mudahnya aksesibilitas dan keterpaparan anak dalam mengakses gadget (ponsel). Saat ini nyaris tak ada anak yang tidak memegang gadget. Sangat mudah bagi mereka untuk mengakses konten-konten di dalamnya termasuk aneka game berbau judol. 

Kedua, tingginya tingkat ketersambungan wilayah dengan jaringan internet tidak dibarengi pengawasan untuk pengguna anak-anak. Padahal semestinya internet dimanfaatkan anak-anak sebagai media pendukung kegiatan belajar.

Realitasnya, anak yang beraktivitas di ranah daring tidak semua mendapatkan pengawasan dan pendampingan dari orang tua. Padahal konten-konten di media sosial tidak sepenuhnya tersensor sehingga dapat dikonsumsi anak di bawah umur.

Ketiga, banyak orang tua yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang dunia digital. Sehingga  tidak khawatir anaknya kecanduan judol. Sementara konten permainan judol banyak yang dirancang untuk menarik minat anak dengan tema dan grafis yang menarik.

Keempat, minimnya regulasi yang mampu melindungi anak dari bahaya judol. Pun tak ada sanksi tegas bagi pelaku judol hingga berefek jera. Bisa dikatakan, anak-anak pelaku judol sesungguhnya merupakan korban dari sistem masyarakat yang belum secara utuh memberikan perlindungan. 

Apalagi hingga hari ini masyarakat masih tinggal dalam penerapan sistem hidup ala sekularisme. Berkonsep hidup terpisah dari ajaran agama (Islam) membuat manusia cenderung bebas berperilaku sesuai kehendak. Pun tujuan hidup sekadar mengejar kesenangan dunia atau kebahagiaan materiil. 

Maka meski judol berdampak buruk pada generasi, akankah para bandar judi peduli? Sementara yang mereka cari hanyalah cuan yang tinggi. Demikian pula peran negara dalam melindungi anak-anak dari judol. Meski berbagai program telah dijalankan demi memberantas judol, namun realitasnya kejahatan ini tetap merajalela. Sehingga masyarakat masih menanti aksi negara yang lebih jitu dan mengakar sebagai bukti keseriusan menyelamatkan generasi dari toxic judol.

Dampak terhadap Masa Depan Generasi

Psikolog Klinis Personal Growth, Shierlen Octavia menyampaikan, remaja (anak) merupakan kelompok usia yang rentan mengalami kecanduan judol. Karena bagian otak untuk berpikir panjang dan kritis belum benar-benar matang. Maka mereka lebih impulsif dalam mengikuti kehendak tanpa pertimbangan, salah satunya dalam praktik judol.

Berikut dampak buruk judol bagi tumbuh kembang anak. Pertama, aspek kesehatan fisik. Ketika anak kecanduan judol, aktivitas fisik anak cenderung menurun. Misalnya dalam berolahraga. Hal ini lantaran waktu mereka habis untuk bermain judol. Mereka juga akan menerapkan pola hidup yang tidak sehat seperti tidak makan teratur dan tidur cukup, yang berisiko timbulnya penyakit lainnya di masa depan.

Kedua, aspek sosial. Anak menjadi antisosial serta cenderung menghindari bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, kecanduan judol juga membuat anak berhenti mengerjakan tugas penting seperti tugas sekolah atau rumah. Hal ini berdampak lebih jauh terhadap performa akademik dan kepercayaan diri. Dalam jangka panjang, kecanduan judol juga membuat anak terlibat dalam perilaku menyimpang seperti melakukan kenakalan remaja atau mengonsumsi zat terlarang.

Ketiga, aspek psikologis.  Anak menjadi lebih rentan depresi dan kecemasan. Mengapa? Kecanduan judol dapat berdampak terhadap kemampuan remaja untuk bisa fokus, mengontrol diri, dan mengambil keputusan.  Ada beberapa tanda yang bisa dikenali ketika anak sudah mulai hilang kendali akibat judol yaitu; merasakan kesulitan di sekolah atau di rumah, menarik diri,  mendadak kekurangan uang dalam jumlah yang tidak sedikit, perubahan pola hidup, serta tidak bisa lepas dari ponselnya. 

Demikian dampak buruk toxic judol bagi anak. Bila aspek fisik, sosial, dan psikologis anak terganggu, jelas akan berpengaruh pada optimalisasi tumbuh kembang anak. Selanjutnya berdampak buruk bagi masa depan generasi. Candu judol akan menyulitkan terwujudnya generasi masa depan bangsa ini.

Melindungi Generasi dari Toxic Judol

Melihat dampak buruk judol bagi generasi hari ini dan di masa depan, diperlukan strategi melindungi generasi dari toxic kejahatan ini. Strategi membutuhkan peran sinergis beberapa pihak. 

Pertama, keluarga (orang tua). 

a. Menanamkan iman dan takwa pada diri anak. Inilah pengendali sejati agar terhindar dari perbuatan buruk/maksiat termasuk judol.
b. Mengarahkan dan mengawasi anak menggunakan gadget. 
c. Mengedukasi anak tentang dampak negatif judol yaitu kecanduan dan kerugian finansial. 
d. Orang tua sebagai teladan dalam menghindari judol dan aneka kemaksiatan lainnya. 
e. Konsultasi ke psikolog bila anak kecanduan judol. 

Kedua, masyarakat. 
Lembaga atau institusi di masyarakat punya komitmen bersama untuk memberantas judol. Misalnya media, sekolah, organisasi keagamaan, memberikan  edukasi di lingkungannya tentang keharaman judol, dampak buruknya, dan solusi menghindarinya. 

Ketiga, negara.
a. Membina iman dan takwa masyarakat sebagai benteng agar tidak mudah terpengaruh tren judol dan kemaksiatan lainnya. 
b. Melakukan sosialisasi guna membangun kesadaran masyarakat terutama orang tua, agar melindungi anak dari judol.
c. Patroli siber dan memblokir akun/konten judol.
d. Menangkap, memproses hukum, dan memberikan sanksi tegas bagi pelaku dan bandar judol. 
e. Membuka kanal aduan untuk pelaporan konten terkait judol.

Demikian strategi melindungi generasi dari toxic judol. Namun dalam penerapan sistem kapitalisme sekularistik seperti saat ini, akankah keidealan ini terjadi? []

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Opini

×
Berita Terbaru Update