TintaSiyasi.Id -- Baru saja hajat demokrasi pilpres (pemilihan presiden) dan pileg (pemilihan legislatif) berlalu, dengan menyisakan banyak pekerjaan rumah dan masalah. Tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan demi pemilu. Tak lama lagi hajat demokrasi di daerah yaitu Pilkada, siap digelar. Bahkan Pemkab Bandung telah memberikan dana hibah demi kesuksesan pilkada. Ironisnya penggelontoran dana justru terjadi ditengah kondisi rakyat ini hari yang memprihatinkan. Lantas apakah nasib rakyat akan berubah ditengah janji-janji manis para kandidat?
Hibah Dibalik Musibah, Nasib Rakyat Tak Berubah
Belum lama ini Bupati kabupaten Bandung DR. H Dadang Supriatna, hadir dalam acara peluncuran tahapan Pilkada Serentak Nasional, untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bandung serta Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat tahun 2024, di Jalan Al Fathu Soreang, Kabupaten Bandung, (patrolicyber.com, 31/5/2024).
Disisi lain, sungguh miris! berdasarkan data dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) jelang Pemilu 2024, PPATK menemukan sejumlah aliran dana mencurigakan yang signifikan.
PPATK mencatat ada transaksi mencurigakan senilai Rp 51,47 triliun dari 100 daftar calon tetap (DCT). Selain itu, terdapat aliran dana dari luar negeri senilai Rp 7,74 triliun yang diterima oleh 100 caleg tersebut. Aliran dana sebesar Rp 195 miliar dari luar negeri tersebut masuk ke rekening dari bendahara 21 partai politik. Terdeteksi pula adanya pembukaan Rekening Baru jelang Pemilu 2024, senilai 704 juta pada pembukaan rekening baru, yang diperkirakan berkaitan dengan kontestasi politik.
Kang DS, begitu sapaan akrab bupati kabupaten Bandung, telah menyerahkan hibah sebesar Rp 101,9 miliar untuk KPU Kabupaten Bandung, berikut penyerahan BPJS Ketenagakerjaan. Tentu dengan harapan agar pilkada lancar dan sukses. Diakui pula bahwa pekerjaan sebagai TPPS dan pantarlih tidaklah mudah. PILKADA sendiri serentak dilakukan secara nasional di 416 kabupaten dan 98 kota, total ada 514 kabupaten/kota. Maka bisa diperkirakan berapa biaya yang harus digelontorkan, tentu tidaklah sedikit! Namun sungguh ironis pada saat yang sama nasib rakyat secara nasional, khususnya di kabupaten Bandung, tengah dirundung banyak masalah dan musibah.
Kabupaten Bandung adalah lahan subur pinjol dan judol, semua ini terjadi akibat "rakyat sedang sakit" tekanan hidup, stress, akhirnya mengarahkan mereka untuk berpikir dangkal mengikuti hawa nafsu. Tak dapat dipungkiri, rakyat mengalami tekanan ekonomi yang kian berat karena harus menanggung berbagai beban kehidupan. Seperti biaya kebutuhan pokok yang terus merangkak naik. Demikian juga biaya kesehatan yang tak kenal kompromi. Selain itu tingginya biaya pendidikan yang layak berkualitas. Memang kenaikan UKT ditunda (ingat, hanya ditunda!), akibat suara di tengah masyarakat yang panas diperbincangkan. Akhirnya rakyat harus berjuang sendiri. Bahkan kenaikan pajakpun siap mengintai.
Gelombang PHK masih terjadi, pengangguran terjadi secara masif. Lapangan kerja yang layak sepadan sulit didapat. Pemerataan kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Rakyat dimana-mana "autopilot" berjuang sendiri bertahan hidup. Pemerintah sejatinya hadir sebab ia diamanahi undang-undang untuk mengurus rakyat. Faktanya pemerintah sebagai penguasa justru sedang asyik berkolaborasi dengan pengusaha. Jadilah korporatokrasi "peng peng" (penguasa pengusaha). Inilah realitas Demokrasi, dimana mekanisme kekuasaan yang sejatinya bekerja mengurus hidup rakyat kenyataannya justru menciptakan ruang terjadinya politik transaksional. Sebab Demokrasi dibangun atas sistem kapitalisme yang berorientasi pada materi, tak peduli halal haram.
Demokrasi sebagai turunan kapitalisme memiliki landasan sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Pertanyaannya sekarang, masihkah kita berharap pada Pemilu?? jelas pemilu juga pilkada, adalah jalan mulus terjadinya politik transaksional yang disertai mantra-mantra berupa janji manis di setiap kampanye. Mantra kesejahteraan selalu melekat di setiap kampanye. Walhasil pemilu juga Pilkada berlalu tapi nasib rakyat terutama rakyat kecil tak berubah malah makin didera musibah. Pemilu semakin membuat rakyat pilu. Rakyat harus cepat sadar bahwa Pemilu dalam demokrasi tak menghasilkan perubahan apa-apa, dan ia bukan jalan hakiki meraih kemenangan dan bahagia .
Pemimpin Dalam Islam Adalah Pelayan Rakyat
Haram!! Hukumnya seorang pemimpin dalam islam yang diamanahi mengurus rakyat kemudian ia membebani dan menyusahkan rakyatnya. Paradigma pemimpin/penguasa dalam islam adalah "ra'in" yaitu pengurus/pelayan umat. Sebagaimana dalam hadist, "imam (pemimpin) adalah pengurus rakyatnya, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya". (HR muslim).
Berbeda dengan paradigma kapitalisme demokrasi, dimana politik dalam demokrasi adalah cara untuk meraih kekuasaan.
Kekuasaan atau jabatan dalam teori kapitalisme adalah kursi empuk untuk mendulang untung. Minimal "balik modal" atas segala biaya yang dikeluarkan demi meraih kursi. Terjadilah Politik transaksional! ada jabatan ada harga! Fakta hari ini, orang-orang berlomba meraih jabatan kalau perlu menghalalkan segala cara. Kursi empuk kekuasaan mereka pertahankan, bahkan diperjuangkan demi menpertahankan jabatan.
Terjadilah politik dinasti, menjadikan anak, cucu, menantu, paman, kerabat dan lain-lain "wa 'ala alihi wa shohbihi" terlibat. Padahal Rasulullah saw pernah mengatakan pada Abu Dzar Al Ghifari, bahwa kekuasaan kelak di akhirat akan menjadi penyesalan.
Dalam pandangan Islam mekanisme pemilihan seorang pemimpin baik pusat maupun daerah tak harus "ribet" apalagi memakan biaya. Harus dicatat bahwa filosofi pengelolaan dana dalam islam apalagi dari APBN (uang rakyat), harus diprioritaskan bagi kemashlahatan rakyat. Kalaupun dalam islam bisa saja ada Pemilu, tapi hanya sebagai salah satu cara saja memilih pemimpin. Pemilihan bisa juga dilakukan melalui musyawarah, dimana setiap elemen masyarakat secara keseluruhan bisa menyampaikan aspirasi dan kandidat calonnya selama memenuhi syarat.
Point terpenting dalam islam, adalah adanya legitimasi dari rakyat berupa ba'iat (penyerahan mandat kekuasaan dari rakyat pada pemimpin untuk menjalankan syariat). Kedaulatan ada pada syariat Allah, siapapun pemimpinnya harus menjalankan amanah sesuai syariat Allah bukan hawa nafsu. Sehingga kesejahteraan seluruh rakyat dan rahmat bagi seluruh alam dapat diraih. Buat apa pilih yang mahal, tapi nasib rakyat tak berubah!? Lebih baik pilih yang murah, simpel tapi dijamin amanah. Kita yakin sebab jaminannya Allah swt. Pencipta manusia dan semesta yang tak pernah menyalahi janji. Semua hanya akan terwujud bila menerapkan Islam secara kaaffah (menyeluruh). Wallahu'alam bi shawab
Oleh: Rengganis Santika A, STP
Aktivis Muslimah