TintaSiyasi.id -- Penundaan kenaikan UKT sebagai respon protes mahasiswa sepertinya hanya bersifat sesaat. Tampaknya mahasiswa akan kecewa karena strategi yang ditempuh adalah kenaikan yang tidak drastis, namun bertahap sedikit demi sedikit. Indikasinya terlihat dari pengguliran kebijakan dana cita atau pinjaman bagi mahasiswa untuk bisa membayar kuliah.
Meskipun tidak sedikit yang menentang pinjaman online (pinjol) untuk dana kuliah, termasuk mahasiswa, namun pemerintah tetap menjadikan pinjol sebagai solusi pembiayaan uang kuliah. Menko PMK, Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengatakan. "Asal itu resmi dan bisa dipertanggungjawabkan, transparan dan dipastikan tidak merugikan mahasiswa, kenapa tidak?" (www.cnnindonesia, 03/07/2024).
Obyek Komersialisasi dan Kreditor
Keberadaan fasilitas pinjol akan menjustifikasi kenaikan UKT dan mahalnya biaya kuliah. Kenaikan UKT akan dilakukan tanpa segan, toh ada solusi pinjol. Biaya kuliah harus ditanggung oleh masyarakat bagaimanapun caranya membayar. Mahasiswa akan menjadi obyek komersialisasi pendidikan sekaligus umpan kreditor kapitalis. Menempuh kuliah harus bersiap dengan biaya mahal dan menjadi debitur.
Ide pinjol untuk kuliah menunjukkan rusaknya paradigma kepemimpinan. Kepemimpinan yang ada sangat minimalis, tidak berbuat banyak untuk solusi rakyat, tetapi justru mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan para kapitalis. Lebih jauh, masyarakat (mahasiswa) dijerumuskan pada utang dan riba yang akan mencekik mereka.
Komersialisasi dan utang di platform pinjol terbukti sangat berpengaruh pada mahasiswa. Konsep dana cita atau pinjol telah dipraktikkan di negara-negara seperti AS dengan nama student loan. Faktanya student loan memicu mental illness, kriminalitas bahkan bunuh diri. Tidak lunasnya pinjol juga akan mempersulit mahasiswa untuk mencari kerja. Yang pasti, pinjaman akan mengganggu fokus dan orientasi mahasiswa saat kuliah. Bisa jadi mahasiswa akan melakukan apa saja demi sesingkat mungkin menempuh kuliah, agar lulus dan memperoleh nilai. Mahasiswa akan benar-benar tersandera oleh pinjamannya.
Dalam skala negara, komersialisasi pendidikan tinggi akan mencegah generasi dari kalangan miskin untuk bisa kuliah. Mereka akan terhambat untuk merubah nasibnya melalui pendidikan. Pendidikan tinggi akan berorientasi investasi dan keuntungan. Akhirnya hanya fakultas-fakultas atau jurusan tertentu yang berprospek kerja yang akan dimasuki. Sedangkan fakultas atau jurusan tertentu akan ditinggalkan lalu dihapuskan. Akibatnya lulusan di jurusan atau fakultas tertentu menumpuk. Akibatnya persaingan mendapatkan pekerjaan juga semakin ketat. Selain itu negara akan kehilangan SDM di bidang-bidang yang tidak diminati meskipun bidang itu dibutuhkan.
Selain itu, secara umum partisipasi di perguruan tinggi akan turun. Negara akan kehilangan SDM yang secara intelektual mampu namun tersia-siakan karena komersialisasi pendidikan. SDM negara akan rendah dan tidak dapat diandalkan untuk membangun kemandirian dan kedaulatan negara. Negara akan menjadi obyek penjajahan di segala bidang.
Sistem Islam dengan penerapan seluruh hukum-hukum syariat memiliki paradigma yang khas terhadap pendidikan. Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan asasi publik yang wajib disediakan dan dijamin negara. Negara harus menyelenggarakan pendidikan. Konsekuensinya pembiayaan pendidikan harus ditanggung sepenuhnya oleh negara. Negara memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara. Dengan demikian negara akan mendapatkan SDM terbaik untuk mengisi PT dengan kekuatan intelektual bukan karena kekuatan membayar.
Terlebih pendidikan tinggi memiliki fungsi yang sangat penting. Pendidikan tinggi menjadi salah satu pihak untuk gugus tugas mengamankan kebutuhan negara seperti untuk kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan kekuatan dakwah serta kemampuan militer. Karena di perguruan tinggi, riset pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan.
Kemampuan negara menjamin akses pendidikan yang merata selaras dengan tatanan ekonomi. Sistem Islam dengan konsep 3 kepemilikan memberikan pemasukan kepada baitul mal baik dari kepemilikan negara, seperti kharaj, jizyah, dan dari kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan barang tambang mineral yang berdeposit melimpah, hutan dan sumber energi. Kepemilikan individu juga bisa menyumbang berupa waqaf dan infaq untuk pendidikan.
Karenanya pembiayaan pendidikan bukan masalah dalam sistem Islam. Sejarah peradaban Islam membuktikan kemajuan dunia pendidikan dalam Khilafah Islam.
Sungguh hanya dengan sistem Islam, generasi akan mendapatkan kemaslahatan dalam kebutuhan pendidikannya. Mereka akan menjadi generasi unggul dan mulia serta pembangun peradaban Islam yang luhur.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Harmiyani Moidady
Pemerhati Generasi