TintaSiyasi.id -- Kontroversial. Draf Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran yang tengah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR menuai kritik dari berbagai pihak. Dari akademisi hingga praktisi penyiaran dan pers. Dewan Pers menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan mengekang kemerdekaan pers dan melahirkan produk jurnalistik yang buruk.
Salah satu poin yang mereka tolak adalah adanya larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Menurut Dewan Pers, aturan itu bertentangan dengan UU Pers Nomor 40/1999. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi juga mempertanyakan larangan penayangan tersebut.
Larangan itu tertuang dalam Pasal 50B Ayat (2) huruf c. Disebutkan selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai... (c) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi (cnnindonesia.com, 16/5/2024).
Apakah pemerintah merasa khawatir (takut) sehingga melarang penayangan jurnalisme investigasi? Padahal pelarangan ini dapat merenggut hak konstitusional publik untuk mengakses informasi. Khususnya terkait masalah (kasus) yang tengah jadi perbincangan publik sebagai bahan pembelajaran bersama.
Tugas Utama Jurnalis
Jurnalis adalah individu yang bertanggung jawab dalam mengumpulkan, menyelidiki, dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Mereka bekerja di berbagai platform media serta memberikan laporan yang faktual dan berimbang kepada pembaca atau penonton.
Jurnalis adalah istilah yang lebih umum dibanding wartawan atau reporter. Pun mencakup semua individu yang bekerja dalam industri media untuk mengumpulkan, menyelidiki, dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Jurnalis dapat bekerja di sejumlah platform media, seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, dan media digital.
Seorang jurnalis memiliki berbagai tugas yang harus dilakukan dalam menjalankan profesi mereka. Berikut beberapa tugas utama jurnalis:
Pertama, mengumpulkan informasi. Tugas utama jurnalis adalah mengumpulkan informasi yang akurat dan relevan. Mereka melakukan riset, wawancara, observasi, dan pencarian data untuk mendapatkan fakta-fakta yang diperlukan dalam melaporkan suatu berita.
Kedua, menulis dan mengedit berita. Setelah mengumpulkan informasi, jurnalis menulis berita dengan menggunakan gaya penulisan sesuai standar jurnalisme. Mereka mengedit dan menyusun informasi dengan jelas, padat, dan mudah dipahami oleh khalayak.
Ketiga, melakukan wawancara. Jurnalis seringkali melakukan wawancara dengan narasumber untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan sudut pandang yang berbeda. Mereka bertanggung jawab untuk menyiapkan pertanyaan yang relevan, mendengarkan dengan seksama, dan mencatat atau merekam wawancara tersebut.
Keempat, meliput peristiwa. Seorang jurnalis juga harus meliput peristiwa langsung di lapangan, seperti konferensi pers, demonstrasi, acara olahraga, atau kejadian penting lainnya. Mereka bertugas untuk mengumpulkan informasi secara real-time, mengamati dan mencatat apa yang terjadi, serta melaporkannya kepada masyarakat.
Demikian tugas utama seorang jurnalis. Semestinya penunaian tugas dalam memberikan informasi yang benar pada publik difasilitasi oleh pihak berkuasa. Tidak justru terhalang oleh produk konstitusi yang memungkinkan memberangus tugas-tugasnya. Sebagaimana kritik terhadap RUU Penyiaran saat ini.
Larangan Jurnalisme Investigasi: Hipokrisi Demokrasi
Dalam wikipedia.org, jurnalisme investigasi adalah kegiatan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita yang bersifat investigatif, atau sebuah penelusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan atau bersifat rahasia. Jurnalisme investigasi menghasilkan sebuah karya jurnalistik yaitu laporan investigasi. Laporan ini tidak ditentukan oleh besarnya kasus yang dibongkar, melainkan manfaat atau dampak yang timbul setelah kasus terbongkar.
Ide untuk melarang jurnalisme investigasi muncul dalam Pasal 50B ayat 2 huruf c draf revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertanggal 27 Maret 2024. Draf RUU Penyiaran dibuat dan diusulkan oleh Komisi Penyiaran DPR pada Oktober 2023.
Dalam catatan rapat pembahasan revisi UU Penyiaran tersebut termuat alasan DPR melarang media melakukan investigasi, yakni menghindari monopoli wartawan dari kelompok media tertentu membongkar sebuah penyelewengan. Alasan lain, jurnalisme investigasi bisa mempengaruhi opini publik atas penyidikan sebuah perkara oleh aparat hukum.
Meski demikian, larangan penayangan jurnalisme investigasi ini telah menuai kritik karena dinilai bakal mengancam kebebasan pers dalam bersuara. Berikut potensi ancamannya;
Pertama, pers mengemban fungsi kontrol sosial dan memenuhi hak publik atas informasi berdasarkan kebenaran dan keadilan faktual. Fungsi ini bisa dijalankan dengan praktik jurnalisme investigasi. Pola dan cara insan pers menggali informasi secara investigatif lalu menyiarkan hasil investigasi jurnalisme-nya adalah hakikat kebebasan pers.
Maka upaya pelarangan kepada hakikat itu, sejatinya adalah ancaman pada kebebasan pers karena fungsi dan kerja pers memang harus memenuhi prinsip liputan dua sisi, cek dan ricek dengan menggali baik realitas psikologis (berupa opini) maupun realitas sosiologis (kebenaran faktual).
Kedua, sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalisme investigasi adalah alat media massa untuk menjalankan peran penjaga dan pengawas tiga pilar lainnya, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tanpa investigasi, pers hanya akan menjadi corong ketiganya. Akibatnya, hak publik mendapat informasi akan tertutup. Wajar bila banyak pihak menilai gagasan DPR melarang jurnalisme investigasi sebagai ahistoris dan menunjukkan pengetahuan yang dangkal.
Ketiga, salah satu kerja media ialah membantu aparat penegak hukum (APH) berfungsi dengan benar. Di banyak negara maju, jurnalis dan APH saling dukung mencegah penyelewengan dan pelanggaran hukum. Bila jurnalisme investigasi dilarang, maka media tidak bisa membantu APH mengungkap suatu kasus.
Dengan demikian, jelas bahwa pelarangan jurnalisme investigasi akan memberangus kebebasan pers. Sehingga upaya berkedok konstitusional menyelundupkan pasal yang melarang penayangan hasil jurnalisme investigasi sangat tidak masuk akal.
Anomali kebijakan ini justru membuka ruang dugaan, ada simpul kekuasaan politik ekonomi yang sangat terusik dengan tajam serta kritisnya produk jurnalisme investigasi ketika berhasil mengungkap suatu kebijakan atau persekongkolan jahat yang merugikan kepentingan publik. Oleh karena itu, pasal pelarangan ini selayaknya ditolak karena berpotensi mengerdilkan bahkan memberangus kebebasan serta independensi pers di ranah penyiaran. Selanjutnya menghalangi publik memperoleh informasi secara benar dan adil.
Inilah bukti hipokritnya demokrasi. Diagung-agungkan sebagai sistem pemberi kebebasan, nyatanya justru memberangus kebebasan berpendapat bagi entitas yang dianggap berseberangan dengan kehendak penguasa. Benarkah ini pertanda kian dekatnya ajal demokrasi?
Strategi Penjaminan Tanpa Menghilangkan Jurnalisme Investigasi
Sekretaris Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Provinsi Bali, Ambros Boni Berani menyebut, ketiadaan jurnalisme investigasi akan berakibat rontoknya mahkota jurnalis, melanggar hak publik untuk mengakses informasi khususnya dalam kasus-kasus besar di masyarakat, serta pers seolah menjadi corong pemerintah (penguasa).
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ketua MKMK yang juga Dosen Fakultas Hukum Unud I Dewa Gede Palguna menambahkann pelarangan penayangan jurnalisme investigasi dapat merenggut hak konstitusional publik untuk mengakses informasi. Karena jurnalisme investigasi itu mengungkap, mendidik masyarakat perihal yang sebetulnya terjadi dan tidak terkatakan lewat saluran-saluran formal, kemudian menyampaikan kepada publik apa yang menjadi haknya (tempo.co, 28/5/2024).
Karena begitu pentingnya peran jurnalisme investigasi bagi publik, maka dibutuhkan strategi untuk menjamin kebebasan pers yang berintegritas tanpa menghilangkan aktivitas investigasi ini. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan.
Pertama, pemerintah menjamin (memfasilitasi) pers menjalankan perannya yaitu; memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terkait kepentingan umum dan perjuangan keadilan kebenaran.
Kedua, daripada menyoalkan esensi jurnalisme dan pengaturan-pengaturan yang bertentangan dengan induk regulasi pers, DPR (pemerintah) sebaiknya mengarahkan pembahasan UU Penyiaran untuk mendorong media kian independen. Caranya adalah mencegah monopoli kepemilikan media untuk menghindarkan konglomerasi yang bisa menghambat kerja jurnalistik sebagai penyebar informasi yang valid.
Bila jurnalisme investigasi adalah esensi sebuah media, independensi adalah rohnya. Tanpa independensi, penguasa bisa leluasa mengekang media melalui pemilik saham. Akibatnya, hilangnya hak masyarakat memperoleh informasi yang kredibel.
Ketiga, DPR (pemerintah) memahami fungsi pers sebagai kontrol sosial dan menyuarakan kepentingan publik berbasis kebenaran dan keadilan. Sehingga "tidak mudah baper" bila ada media menayangkan kritikan tajam terhadap keduanya. Pun tidak menekan atau memaksa media menyiarkan sesuai kehendak mereka karena media (pers) bukan corong eksekutif dan legislatif.
Demikian beberapa strategi menjamin kebebasan pers yang berintegritas tanpa menghilangkan hak jurnalisme investigasi. Di sisi lain, dengan kebebasan yang dimiliki, hendaknya pers tetap berpegang prinsip agama serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam pemberitaan. []
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati
Pustaka
Memahami Tugas dan Tanggung Jawab Jurnalis dalam Dunia Jurnalistik, lspr.ac.id, 6 Juni 2023
Jurnalisme Investigasi, wikipedia.org