Tintasiyasi.ID -- Direktur Pusat Pendidikan Hadis Ajengan Yuana Ryan Tresna menegaskan bahwa dialog antaragama adalah konsep yang utopis bisa diwujudkan. “Dialog antaragama adalah konsep yang utopis bisa diwujudkan. Hal itu dilihat dari dua sisi,” rilisnya di akun Telegram Yuana Ryan Tresna Official: Afkar_Bahaya Dialog Antaragama, Selasa (17/07/2024).
Pertama, tidak ada titik temu antara hak dan batil, kecuali pasti sebuah
kebatilan. "Dialog antaragama yang sebenarnya bermaksud untuk menciptakan
“agama baru” bagi kaum Muslim yang didasarkan pada akidah pemisahan agama dari
kehidupan (sekularisme). Padahal, akidah ini menetapkan bahwa membuat hukum
adalah hak manusia, bukan hak Allah Swt. yang telah menciptakan manusia.
“ Allah Swt. jauh-jauh hari telah memberikan peringatan
kepada kaum Muslim dalam firman-Nya yang artinya, ‘Mereka tidak
henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari
agama kalian (kepada kekafiran) seandainya mereka mampu.’,” sitatnya surah
Al-Baqarah ayat 217.
"Juga dalam firman-Nya yang lain, artinya, ‘Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka.’,” nukilnya surah Al-Baqarah ayat 120.
Ia menuturkan, karena peradaban Islam berasaskan akidah
Islam, sementara peradaban kapitalisme berasaskan akidah sekularisme (pemisahan
agama dari kehidupan), maka titik temu di antara keduanya hakikatnya tak
mungkin ada, kecuali kekalahan salah satunya.
"Jadi, maksud dialog antaragama yang dipimpin oleh Barat
adalah agar kaum Muslim melepaskan persepsi-persepsi Islam untuk kemudian
digantikan dengan persepsi-persepsi kapitalisme, sebab Barat telah mengerti
bahwa mengompromikan dua ideologi yang kontradiktif adalah hal yang
mustahil," terangnya.
Ia kembali menegaskan bahwa dialog antaragama dan
antarperadaban untuk mencari titik temu di antara agama atau peradaban yang
adalah utopis. "Justru yang harus ada adalah pertarungan pemikiran (al-shira’
al-fikr) di antara berbagai agama dan peradaban, agar dapat diketahui mana
yang hak mana yang batil, mana yang mulia mana yang hina, dan mana yang baik
mana yang buruk," lanjutnya.
Kedua, kesatuan agama-agama adalah gagasan yang batil. “Semua argumentasi yang
mengarah pada kesatuan agama-agama bertujuan untuk memperkuat legitimasi dialog
antara tiga agama, dengan anggapan dasar bahwa agama samawi yang tiga itu
bersumber dari Nabi yang sama yaitu Nabi Ibrahim As. Narasi membentuk agama Ibrahimiah
adalah usulan yang semestinya tertolak secara keyakinan," sebutnya.
"Kata “aslama” dalam Al-Quran di antara makna
bahasanya adalah “inqada” (tunduk, patuh, berserah diri). Al-Quran telah
menggunakan makna bahasa ini dalam kisah para nabi dan pemberian sifat para
nabi itu sebagai orang-orang yang tunduk patuh kepada perintah Allah Swt.," paparnya.
Dengan demikian, ia katakan, jelas bahwa kata “muslimun”
yang terdapat dalam berbagai ayat tersebut maknanya adalah “munqadun”
(orang-orang yang patuh, tunduk, berserah diri). “Artinya, bukan berarti mereka
itu memeluk agama yang satu, yaitu Islam yang diturunkan kepada Muhammad saw., sebab Islam belum dikenal oleh
mereka, di samping mereka memang belum diperintahkan untuk memeluk Islam,”
tuturnya.
"Setiap kaum dari mereka mempunyai seorang rasul yang
khusus bagi mereka. Dan setiap rasul itu menyeru mereka kepada syariat (aturan)
yang khusus. Allah Swt. berfirman yang artinya, ‘Untuk tiap-tiap umat di antara
kalian, Kami berikan syariat (aturan) dan jalan yang terang.’,” kutip Ajengan Yuana
surah Al-Maidah ayat 48.
Lebih lanjut ia katakan, di antara kata-kata yang telah
dipindahkan maknanya kepada makna syar’i adalah kata “Islam”. “Makna bahasanya
adalah “inqiyad”, tetapi makna syar’i-nya adalah agama yang diturunkan
Allah kepada Rasul-Nya Muhammad saw. Makna ini misalnya terdapat dalam firman
Allah Swt. surah Al-Maidah ayat 3 yang ditujukan untuk semua manusia sampai
Hari Kiamat, ‘…dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.’,“ bebernya.
"Dengan demikian, jelaslah bahwa konsep dialog
antaragama dibangun di atas landasan yang rapuh, motif yang buruk, serta
merupakan gagasan utopis dan batil. Umat Islam tidak boleh terjebak rayuan dan
janji manisnya," tandasnya.
Tujuan yang mereka kampanyekan untuk menciptakan perdamaian
dunia, menurutnya, tidak akan terwujud jika mereka sendiri diam atas penjajahan
dan kerusakan yang diakibatkan keserakahan negara-negara kapitalis.
"Jika hendak membangun sebuah dialog dan perdebatan
antaragama yang sepadan, seharusnya dibangun di atas landasan keyakinan pada
kesempurnaan din Islam, terbuka untuk membuktikan kesalahan agama lain, tidak
tunduk pada skenario penjajahan negara Barat, dan selanjutnya baru membangun
harmoni dalam pergaulan antarumat beragama," pungkasnya.[] Lanhy Hafa