Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Takut kepada Allah

Selasa, 11 Juni 2024 | 20:35 WIB Last Updated 2024-06-11T13:38:25Z

TintaSiyasi.id -- Sobat, barangsiapa  yang merasakan nikmatnya dekat dengan Allah, maka dia akan takut  jauh dari-Nya.

رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةًۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ 
 
(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)". (QS. Ali Imran (3) : 8).

Sobat, sikap orang yang ilmu pengetahuannya telah mendalam, mereka selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah SWT, bila mereka tidak sanggup lagi memikirkan ayat-ayat Allah. Mereka berdoa kepada Allah agar selalu dipelihara, dipimpin, diberi petunjuk, dan jangan sampai mereka tergelincir ke jalan yang sesat setelah mereka mendapat petunjuk. Dari doa mereka, dipahami bahwa yang mereka mohonkan itu bukanlah semata-mata keselamatan dan kebahagiaan duniawi, tetapi juga mereka memohon kebahagiaan dan keselamatan di akhirat.

Sobat, manusia sungguh tercela yang membalas segala kebaikan Allah dengan pengingkaran, keraguan, dan buruk sangka.

Ungkapan tersebut menggambarkan ketidakseimbangan antara kebaikan yang diberikan oleh Allah dan respons manusia terhadap kebaikan tersebut. Manusia sering kali merespons kebaikan Allah dengan pengingkaran, keraguan, dan buruk sangka, yang merupakan tindakan tercela. Pengingkaran mengacu pada ketidakmampuan manusia untuk mengakui nikmat yang telah diberikan oleh Allah, sementara keraguan mencerminkan kurangnya iman atau kepercayaan terhadap kebesaran dan kebaikan Allah. Buruk sangka, di sisi lain menunjukkan sikap negatif dan curiga terhadap maksud dan tujuan Allah, meskipun segala sesuatu yang terjadi selalu memiliki hikmah dan tujuan yang baik.

Sikap-sikap ini sungguh tidak adil, mengingat betapa banyak nikmat dan kebaikan yang telah diberikan Allah kepada manusia, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Respons yang lebih baik terhadap kebaikan Allah adalah dengan bersyukur, beriman, dan berbaik sangka, sebagai wujud pengakuan dan penghargaan atas segala karunia yang diberikan.

Sungguh Allah itu sebaik-baik pemberi nikmat dan penolong.
Ungkapan ini menegaskan kebesaran dan kemuliaan Allah sebagai pemberi nikmat dan penolong terbaik bagi manusia. Allah senantiasa memberikan berbagai karunia dan pertolongan kepada hamba-hamba-Nya, bahkan tanpa diminta. Nikmat yang diberikan Allah meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari nikmat kesehatan, rezeki, keamanan, hingga nikmat iman dan hidayah. Semua ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.

Selain itu, Allah juga dikenal sebagai penolong terbaik, terutama dalam situasi-situasi sulit. Ketika manusia berada dalam kesulitan dan mengharapkan pertolongan, Allah selalu siap memberikan bantuan dengan cara yang paling bijaksana dan tepat. Pertolongan Allah sering kali datang dalam bentuk yang tidak terduga dan pada waktu yang paling tepat, menunjukkan bahwa Allah mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya.

Mengenali dan menghayati bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi nikmat dan penolong seharusnya mendorong kita untuk selalu bersyukur, beriman, dan berusaha lebih keras dalam menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, kita menunjukkan penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus atas segala nikmat dan pertolongan yang telah Allah berikan.

Amalan-amalan utama apa saja yang membuat kita layak ditolong oleh Allah SWT menurut Ibnu Athaillah.

Sobat, Ibnu Athaillah, seorang sufi terkenal dalam tradisi Islam, memberikan banyak nasihat dan panduan spiritual yang mendalam dalam karyanya, seperti "Al-Hikam" (Kebijaksanaan). Beberapa amalan utama yang menurut Ibnu Athaillah bisa membuat kita layak ditolong oleh Allah SWT meliputi:

1. Tawakkal (Berserah Diri kepada Allah)
Tawakkal adalah meletakkan kepercayaan sepenuhnya kepada Allah dalam segala hal, setelah melakukan usaha yang maksimal. Ini berarti mengakui bahwa segala hasil dan keputusan adalah milik Allah, dan kita menerima apapun yang terjadi dengan hati yang lapang.

2. Ikhlas (Niat yang Murni)
Amalan yang dilakukan dengan ikhlas, hanya karena Allah, tanpa mengharapkan pujian atau balasan dari manusia, adalah amalan yang sangat dihargai oleh Allah. Ikhlas adalah dasar dari segala ibadah dan kebaikan.

3. Taubat (Bertaubat dan Memohon Ampun)
Mengakui dosa-dosa dan kesalahan kita, serta memohon ampun kepada Allah dengan taubat yang sungguh-sungguh, adalah cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Allah sangat mencintai hamba-Nya yang bertaubat.

4. Syukur (Bersyukur kepada Allah)
Menyukuri segala nikmat yang Allah berikan, baik besar maupun kecil, menunjukkan pengakuan kita atas kebesaran dan kemurahan Allah. Bersyukur dapat dilakukan dengan lisan, hati, dan perbuatan.

5. Sabar (Kesabaran)
Sabar dalam menghadapi cobaan, kesulitan, dan ujian hidup adalah tanda keimanan yang kuat. Allah menyukai hamba yang sabar dan menjanjikan pertolongan bagi mereka yang sabar.

6. Dzikir (Mengingat Allah)
Senantiasa mengingat Allah dalam segala situasi, melalui dzikir dan doa, memperkuat hubungan kita dengan-Nya dan mengundang rahmat serta pertolongan Allah.

7. Rida (Menerima Ketentuan Allah)
Rida terhadap segala ketetapan Allah, baik yang menyenangkan maupun yang tidak, menunjukkan kepasrahan dan kepatuhan kepada kehendak Allah. Rida menghilangkan rasa kecewa dan memberontak dalam hati.

8. Menghindari Dosa dan Maksiat
Menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat serta menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah adalah cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan meraih pertolongan-Nya.

9. Berbuat Baik kepada Sesama
Membantu orang lain, berbuat baik, dan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia juga merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Kebaikan kepada makhluk Allah adalah jalan untuk meraih rahmat dan pertolongan-Nya.

Mengamalkan nasihat-nasihat dari Ibnu Athaillah ini dapat membuat kita lebih dekat kepada Allah dan layak mendapatkan pertolongan-Nya dalam segala aspek kehidupan.

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُم بِٱلۡغَيۡبِ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَأَجۡرٞ كَبِيرٞ 
 
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Mulk (67) : 12).

Sobat, ayat ini menerangkan tanda-tanda orang bertakwa yang tunduk dan patuh kepada Allah, dan yakin bahwa Allah mengetahui segala yang mereka lakukan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Tanda-tanda itu ialah:

1. Senantiasa takut kepada azab Allah walaupun azab itu merupakan suatu yang gaib, tidak tampak dan belum tentu kapan datangnya.

2. Merasa takut akan kedatangan hari Kiamat, karena mengingat malapetaka yang akan terjadi pada diri mereka seandainya mengingkari Allah, seperti peristiwa yang akan terjadi pada hari perhitungan, hari pembalasan, dan azab neraka yang tiada terkirakan.

3. Yakin dan percaya bahwa Allah selalu mengawasi, memperhatikan, dan mengetahui di mana dan dalam keadaan bagaimana mereka setiap saat.

Dalam hadis Nabi Muhammad disebutkan:
Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah. (Riwayat at-Tirmidhi, an-Nasa'i, Ahmad, al-hakim, dan lainnya).

Orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh, tidak ada kekhawatiran terhadap diri mereka dan mereka tidak bersedih hati terhadap segala sesuatu yang luput dari mereka, sebagaimana firman Allah:

"Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (al-Baqarah/2: 277).

Orang-orang yang beriman dan taat kepada Allah selalu merasa mendapat pengawasan dari-Nya. Mereka yakin bahwa Dia melihat dan memperhatikan mereka, sebagaimana yang diucapkan Nabi Muhammad dalam konteks ihsan:

"Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu,". (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Abu Hurairah).

Allah menjanjikan bahwa orang-orang mukmin yang bersifat demikian akan diampuni dosa-dosanya dan akan diberi pahala yang besar di akhirat kelak.

Ibnu Athaillah menasihatkan kepada kita, "Sungguh mengherankan orang yang lari dari Dzat yang dia tidak bisa terlepas dari-Nya lalu mencari sesuatu yang tidak akan abadi bersamanya. Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada,".

Sobat, Ibnu Athaillah dalam nasihatnya ini memberikan peringatan yang mendalam tentang kecenderungan manusia untuk lari dari Allah dan mencari kesenangan duniawi yang bersifat sementara. 

Berikut adalah pemahaman yang lebih mendalam mengenai nasihat ini:

1. Mengherankan Orang yang Lari dari Allah:
Ibnu Athaillah mengungkapkan keheranannya terhadap manusia yang mencoba menjauh dari Allah, padahal tidak ada tempat untuk lari dari-Nya. Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Menguasai segala sesuatu. Setiap upaya untuk menjauh dari Allah adalah sia-sia, karena kita tidak bisa terlepas dari kehendak dan pengawasan-Nya.

2. Mencari Sesuatu yang Tidak Akan Abadi:
Banyak manusia yang menghabiskan hidupnya untuk mencari kesenangan duniawi, harta, kekuasaan, dan hal-hal materi lainnya. Namun, semua itu bersifat sementara dan tidak akan abadi bersama kita. Ibnu Athaillah mengingatkan bahwa mengejar hal-hal duniawi dengan mengabaikan hubungan dengan Allah adalah tindakan yang tidak bijaksana.

3. Bukan Mata yang Buta, Tetapi Hati yang Buta:
Ayat ini menekankan pentingnya penglihatan hati (mata hati). Mata fisik mungkin bisa melihat, tetapi jika hati tidak mampu melihat kebenaran dan mengenali kebesaran Allah, maka sebenarnya hati itulah yang buta. Kebutaan hati menghalangi seseorang untuk memahami hakikat kehidupan dan tujuan penciptaan.

Refleksi dan Amalan

1. Kesadaran akan Kehadiran Allah:
Penting untuk selalu menyadari bahwa Allah senantiasa hadir dalam setiap aspek kehidupan kita. Menjaga hubungan yang kuat dengan Allah melalui ibadah, dzikir, dan taqwa dapat membantu kita merasa selalu dekat dengan-Nya.
2. Prioritaskan Akhirat:
Mengutamakan kehidupan akhirat di atas kepentingan duniawi. Memahami bahwa dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara dan yang abadi adalah kehidupan setelah mati. Amalan-amalan yang kita lakukan di dunia akan menentukan nasib kita di akhirat.
3. Penerapan Kecerdasan Hati:
Mencoba untuk selalu membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, sombong dan lainnya. Hati yang bersih akan lebih mudah menerima kebenaran dan cahaya iman.
4. Muhasabah dan Taubat:
Selalu melakukan introspeksi diri (muhasabah) dan bertaubat atas segala dosa dan kesalahan. Mengakui kelemahan dan keterbatasan kita di hadapan Allah dan berusaha memperbaiki diri.

Nasihat Ibnu Athaillah ini mengajak kita untuk selalu introspeksi dan memperkuat hubungan dengan Allah, serta mengingatkan kita tentang fana-nya kehidupan dunia dan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan yang abadi di akhirat.

Dr. Nasrul Syarif M.Si.  
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Filsafat Ilmu Pascasarjana UIT  Lirboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update