TintaSiyasi.id -- Setiap menjelang Desember, umat Islam kembali dihadapkan pada satu isu yang terus berulang, yaitu Natal bersama. Atas nama toleransi dan kebersamaan, sebagian umat Islam diajak ikut hadir, bahkan terlibat dalam perayaan hari raya umat Kristiani.
Padahal, jika dikaji secara jernih dengan kacamata syariat Islam, Natal Bersama tidak dibenarkan dalam Islam, bukan karena Islam anti toleransi, tetapi karena Islam sangat menjaga kemurnian akidah.
Islam adalah agama yang tegas dalam urusan keyakinan, namun adil dan santun dalam urusan kemanusiaan.
Toleransi dalam Islam: Bukan Campur Akidah
Islam memiliki konsep toleransi yang sangat jelas. Toleransi dalam Islam bukan berarti menyamakan semua agama, apalagi ikut dalam ritual ibadah agama lain. Toleransi dalam Islam adalah membiarkan pemeluk agama lain menjalankan keyakinannya dengan aman dan damai, tanpa gangguan, tanpa pemaksaan, dan tanpa intimidasi bom atau yang lainnya.
Allah SWT menegaskan batas toleransi ini dalam firman-Nya:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)
Ayat ini bukan sekadar slogan pluralisme, melainkan garis batas akidah. Islam tidak memusuhi agama lain, tetapi juga tidak mencampuradukkan keyakinan. Setiap agama berdiri di atas fondasi akidah masing-masing yang tidak bisa disatukan.
Menghadiri atau ikut merayakan Natal, apalagi dengan label “Natal Bersama”, berarti mengaburkan batas tersebut. Sebab Natal bukan sekadar acara sosial, melainkan perayaan keagamaan yang berlandaskan keyakinan tentang ketuhanan Isa al-Masih, yang secara tegas ditolak dalam akidah Islam.
Pendapat Ulama: Haram Ikut Perayaan Agama Lain
Para ulama telah lama membahas persoalan ini. Imam Ibn Taimiyah rahimahullah menyatakan dalam Iqtidha’ Shirath al-Mustaqim bahwa, “Menyerupai mereka (orang kafir) dalam hari raya mereka adalah haram, karena hari raya adalah bagian paling khas dari syariat dan akidah mereka.”
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah juga menegaskan, “Memberi selamat atas syiar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram dengan kesepakatan ulama.”
Jika mengucapkan selamat saja diperselisihkan dan cenderung diharamkan oleh mayoritas ulama, maka ikut hadir dalam perayaan Natal Bersama (yang jelas-jelas merupakan simbol keagamaan) lebih layak lagi untuk ditolak. Ini bukan soal benci, melainkan soal iman.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah, menegaskan bahwa toleransi tidak boleh merusak akidah Islam. Dalam berbagai kitabnya, beliau menjelaskan bahwa Islam mengatur hubungan antarumat beragama dengan prinsip keadilan dan perlindungan, tetapi melarang tasyabbuh (menyerupai) dalam perkara akidah dan ibadah.
Menurut beliau, mencampurkan ritual atau simbol keagamaan adalah bentuk penyimpangan toleransi, karena toleransi yang benar adalah membiarkan non-Muslim beribadah sesuai agamanya, menjamin keamanan dan hak hidup mereka dan berlaku adil dalam muamalah sosial. Namun, bukan ikut merayakan atau mengakui kebenaran akidah mereka.
Syekh Taqiyuddin juga menegaskan bahwa negara Islam (khilafah) justru merupakan sistem yang paling toleran secara nyata. Dalam sejarah Islam, umat Kristiani hidup aman, gereja-gereja dilindungi, bahkan urusan ibadah mereka tidak pernah diganggu. Tetapi satu hal yang tegas, yaitu umat Islam tidak boleh ikut merayakan hari raya mereka.
Toleransi Sosial, Bukan Toleransi Akidah
Mengucapkan salam umum, bekerja bersama, bertetangga dengan baik, membantu saat bencana, menjaga kerukunan—semua itu adalah toleransi yang diajarkan Islam. Bahkan Rasulullah Saw hidup berdampingan dengan non-Muslim di Madinah dengan penuh keadilan.
Namun, toleransi bukan berarti mencairkan iman. Ketika toleransi dipaksakan hingga menyentuh wilayah ibadah dan keyakinan, maka yang terjadi bukan harmoni, tetapi pengikisan akidah secara perlahan.
Islam tidak membutuhkan pengakuan dari perayaan agama lain untuk disebut toleran. Membiarkan umat Kristiani merayakan Natal dengan damai tanpa gangguan saja sudah merupakan bentuk toleransi yang sempurna.
Jadi sob, Natal Bersama bukanlah ajaran Islam, dan tidak memiliki landasan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Menolaknya bukan berarti anti kebhinekaan, melainkan ketaatan pada batas yang Allah tetapkan. Seorang Muslim dituntut untuk tegas dalam akidah, sekaligus lembut dalam muamalah.
Toleransi sejati adalah hidup berdampingan tanpa mencampur keyakinan. Iman dijaga, kemanusiaan tetap dirawat. Karena bagi seorang Muslim, iman bukan untuk dinegosiasikan, bahkan atas nama toleransi. []
Nabila Zidane
Jurnalis