Tintasiyasi.id.com -- Kasus penculikan anak kembali terjadi dan memunculkan kegelisahan di tengah masyarakat. Hampir setiap tahun, berita semacam ini muncul lagi—seakan tidak pernah benar-benar hilang. Yang terbaru terjadi di Makassar, ketika seorang wanita berinisial SY menculik balita bernama Bilqis. Yang membuat publik semakin terkejut, pelaku mengaku pernah menjual tiga anak kandungnya sendiri hanya dengan harga Rp300 ribu (News.detik.com, 20 November 2024).
Kejadian ini bukan sekadar kasus kriminal biasa. Investigasi menunjukkan adanya dugaan jaringan yang lebih besar. Balita lain yang diculik di Makassar sempat dibawa hingga ke Jambi dan diduga diserahkan kepada kelompok Suku Anak Dalam dengan pola transaksi yang terstruktur (tempo.co, 21 November 2024).
Pemerintah melalui KemenPPPA pun mengakui bahwa perlindungan anak di Indonesia masih jauh dari optimal. Sistem pengawasan berlapis yang seharusnya melibatkan keluarga, masyarakat, dan negara belum berjalan sebagaimana mestinya (kemenpppa.go.id, 22 November 2024).
Namun pertanyaan mendasarnya tetap sama: mengapa penculikan anak terus berulang? Mengapa ruang publik kita begitu mudah ditembus oleh pelaku kejahatan? Ketika anak-anak bisa diambil begitu saja, dibawa jauh, bahkan diperjualbelikan, itu menunjukkan adanya masalah serius dalam keamanan, pengawasan, dan sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka.
Fakta bahwa seorang ibu mampu menjual anak kandungnya sendiri menunjukkan bagaimana tekanan hidup, kerentanan sosial, dan rapuhnya nilai-nilai kemanusiaan bisa mendorong seseorang pada tindakan yang sangat keji.
Lebih jauh, ini adalah cermin lemahnya penegakan hukum, sehingga sindikat perdagangan anak merasa leluasa bergerak tanpa hambatan berarti.
Padahal dalam Islam, anak adalah amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah amanah.” (QS. Al-Anfal: 27)
Amanah ini tidak boleh diperdagangkan, disia-siakan, apalagi dibiarkan menjadi korban kebiadaban.
Rasulullah SAW juga menegaskan,
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Maknanya jelas: keluarga wajib menjaga anak-anak mereka, dan negara wajib memastikan setiap anak aman, terlindungi, dan terjaga kehidupannya. Ketika penculikan anak terus berulang, berarti ada kegagalan yang tidak bisa lagi ditutup-tutupi.
Perlindungan anak tidak cukup dengan imbauan, seminar, atau kampanye moral. Dibutuhkan sistem—sistem yang kuat, tegas, dan berpihak pada penjagaan jiwa. Islam memiliki kerangka itu. Penjagaan jiwa (hifzun nafs) dan keturunan (hifzun nasl) merupakan bagian dari maqasid syariah.
Negara dalam pandangan Islam bukan sekadar regulator, tetapi pelindung nyata bagi rakyatnya. Ancaman terhadap anak dipandang sebagai ancaman terhadap keberlangsungan umat.
Dalam sistem Islam, keluarga diperkuat dengan pendidikan akidah, masyarakat dibangun di atas solidaritas (takaful ijtima’i), dan negara menerapkan sanksi tegas yang membuat pelaku kejahatan jera. Tidak ada ruang bagi jaringan perdagangan manusia untuk berkembang.
Seluruh sistem ini bukan sekadar konsep ideal; ia pernah nyata berjalan dalam sejarah panjang peradaban Islam. Keamanan bukan hasil slogan, tetapi buah dari penerapan syariah secara menyeluruh.
Ketika kasus penculikan terus berulang, kita perlu bertanya dengan jujur: sistem seperti apa yang sedang kita jalani? Mengapa kejahatan yang sama terus terulang tanpa solusi tuntas? Dan sampai kapan kita menyerahkan masa depan generasi kepada ketidakpastian?
Anak adalah amanah. Mereka adalah masa depan. Jika negara gagal melindungi mereka, maka kegagalan itu bukan hanya teknis—melainkan kegagalan penjagaan umat.
Sudah saatnya kita menuntut hadirnya sistem yang benar-benar menjaga jiwa, kehormatan, dan masa depan generasi, sebagaimana diajarkan oleh Islam.[]
Oleh: Sera Alfi Hayunda
(Aktivis Muslimah)