“Krisis regenerasi petani di Indonesia bukan sekadar
soal minat Gen Z, melainkan masalah struktural, yakni terlalu banyak tenaga
kerja di hulu, terlalu sedikit di hilir,” tulis kepada TintaSiyasi.ID dalam
Intellectual Opinion No. 023, Kamis (23/10/2025).
Pernyataan Menko Pemberdayaan Masyarakat Abdul
Muhaimin Iskandar yang menyoroti sedikitnya generasi muda yang berminat jadi
petani menegaskan persoalan struktural dalam sektor pertanian di Indonesia.
“Fenomena ini bukan sekadar isu preferensi karier anak
muda, tetapi cermin dari krisis mendalam, yaitu rendahnya kesejahteraan petani,
rapuhnya regenerasi, dan tidak meratanya nilai tambah sepanjang rantai
agribisnis,” sebut HILMI mengutip pernyataan Menko Muhaimin.
“Jika tidak diatasi, Indonesia menghadapi ancaman
serius: kemandekan produksi pangan, peningkatan ketergantungan impor, serta
melemahnya daya saing pertanian nasional,” lanjut HILMI.
Kondisi Eksisting: Surplus Tenaga
Kerja, Produktivitas Rendah
Menurut HILMI, Indonesia saat ini mengalami over-employment
atau “disguised unemployment” di sektor pertanian.
HILMI mengulas, karena terlalu banyak orang bekerja di
sawah dan kebun, namun produktivitas
tidak signifikan. “Hal ini menyebabkan pendapatan petani rendah, citra profesi
melemah, dan generasi muda memilih profesi lain, terutama ASN atau sektor jasa,”
tambah HILMI.
“Data resmi menunjukkan pada Agustus 2024 terdapat
37,81 juta orang bekerja di sektor pertanian sempit (tanaman pangan, holtikultura,
perkebunan, peternakan). Angka ini setara dengan 26,15 persen dari total
angkatan kerja Indonesia. Padahal luas lahan pertanian ±30 juta hektar (sawah
dan nonsawah). Jadi, terdapat rata-rata 1,26 orang per hektar,” tulis HILMI
dalam pernyataannya.
Namun, jika dibandingkan dengan negara lain, rasio ini
terlalu padat. “Amerika Serikat misalnya, hanya memiliki 0,005 petani per
hektar karena mekanisasi penuh,” sebut HILMI mencontohkan.
Lanjut dicontohkan HILMI, sementara negara Jepang
tercatat sebanyak 0,3 petani per hektar, sedangkan Vietnam 1,36 per hektar. “Artinya
kondisi Indonesia mirip Vietnam, padat karya tetapi produktivitas rendah,”
ungkap HILMI.
HILMI menjelaskan, untuk kebutuhan Ideal ±30 juta hektar lahan, jika dihitung
berdasarkan skenario mekanisasi, maka ada tiga poin yang penting untuk
dipahami.
“Pertama, secara tradisional dibutuhkan ±30 juta petani; kedua,
semimekanisasi cukup ±10–15 juta petani (1 orang mengelola 2–3 hektar); ketiga
mekanisasi penuh dan smart farming cukup 1 juta petani yang profesional
(1 orang mengelola 20–50 hektar),” terang HILMI lagi.
Artinya, HILMI menganalisis, dengan topografi
Indonesia yang beragam, realistisnya dalam 20 tahun ke depan Indonesia akan
tetap memerlukan 15–20 juta petani aktif, sementara sisanya (±15–20 juta orang)
dapat dialihkan ke sektor pascapanen dan agribisnis.
Solusi: Transformasi ke Pertanian
Sekunder dan Tersier
Persoalan kelebihan tenaga kerja, kata HILMI, hanya
bisa diatasi dengan transformasi struktural dari dominasi sektor primer ke
sektor sekunder dan tersier, dengan beberapa cara berikut,
“Modernisasi pertanian primer, konsolidasi lahan
melalui koperasi/BUMDes, mekanisasi bertahap: traktor, harvester, drone.
Smart farming (IoT, sensor, dan prediksi AI),” beber HILMI.
Setelah itu dengan penguatan pascapanen yang merupakan
sektor sekunder yang bisa dilakukan dengan tehnik pengeringan, penggilingan, dan
cold storage untuk mengurangi losses. “Industri pengolahan:
tepung, minyak, pakan ternak, jus buah, snack, herbal ekstrak. Termasuk
langkah packaging dan branding agar produk pertanian bernilai
tambah di pasar domestik atau ekspor,” urai HILMI.
“Langkah selanjutnya adalah ekspansi ke sektor
tersier (agrobisnis dan layanan), yang meliputi logistik pangan modern (gudang,
transportasi dingin, e-commerce), agrowisata dan edukasi pertanian, R&D
agritech (benih unggul, pupuk hayati, precision farming)," ulas HILMI.
“Transformasi ini akan mengubah wajah desa: dari
komunitas penghasil komoditas mentah menjadi simpul agribisnis modern yang
mengolah, mengemas, memasarkan, dan bahkan mengekspor produk,” tandasnya.
Oleh karena itu, HILMI menegaskan agar petani tidak
lagi boleh dipandang sebagai “profesi kelas bawah”, tetapi sebagai pilar
peradaban pangan.
Dengan kebijakan tepat, mekanisasi progresif,
hilirisasi, dan model bisnis syariat, Indonesia dapat melahirkan generasi baru
petani profesional sekaligus wirausahawan agribisnis. “Dari sinilah masa depan
kedaulatan pangan dan kejayaan ekonomi umat akan ditentukan,” pungkasnya.[] M.
Siregar
