Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI: Krisis Regenerasi Petani Bukan Sekadar Soal Minat Gen Z, Melainkan Masalah Struktural

Senin, 03 November 2025 | 14:53 WIB Last Updated 2025-11-03T12:23:12Z

TintaSiyasi.id -- Menurut Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) bahwa krisis regenerasi petani di Indonesia bukan sekadar soal minat Gen Z, melainkan masalah struktural.

 

“Krisis regenerasi petani di Indonesia bukan sekadar soal minat Gen Z, melainkan masalah struktural, yakni terlalu banyak tenaga kerja di hulu, terlalu sedikit di hilir,” tulis kepada TintaSiyasi.ID dalam Intellectual Opinion No. 023, Kamis (23/10/2025).

 

Pernyataan Menko Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar yang menyoroti sedikitnya generasi muda yang berminat jadi petani menegaskan persoalan struktural dalam sektor pertanian di Indonesia.

 

“Fenomena ini bukan sekadar isu preferensi karier anak muda, tetapi cermin dari krisis mendalam, yaitu rendahnya kesejahteraan petani, rapuhnya regenerasi, dan tidak meratanya nilai tambah sepanjang rantai agribisnis,” sebut HILMI mengutip pernyataan Menko Muhaimin.

 

“Jika tidak diatasi, Indonesia menghadapi ancaman serius: kemandekan produksi pangan, peningkatan ketergantungan impor, serta melemahnya daya saing pertanian nasional,” lanjut HILMI.

 

Kondisi Eksisting: Surplus Tenaga Kerja, Produktivitas Rendah

 

Menurut HILMI, Indonesia saat ini mengalami over-employment atau “disguised unemployment” di sektor pertanian.

 

HILMI mengulas, karena terlalu banyak orang bekerja di sawah dan kebun, namun  produktivitas tidak signifikan. “Hal ini menyebabkan pendapatan petani rendah, citra profesi melemah, dan generasi muda memilih profesi lain, terutama ASN atau sektor jasa,” tambah HILMI.

 

“Data resmi menunjukkan pada Agustus 2024 terdapat 37,81 juta orang bekerja di sektor pertanian sempit (tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan). Angka ini setara dengan 26,15 persen dari total angkatan kerja Indonesia. Padahal luas lahan pertanian ±30 juta hektar (sawah dan nonsawah). Jadi, terdapat rata-rata 1,26 orang per hektar,” tulis HILMI dalam pernyataannya.

 

Namun, jika dibandingkan dengan negara lain, rasio ini terlalu padat. “Amerika Serikat misalnya, hanya memiliki 0,005 petani per hektar karena mekanisasi penuh,” sebut HILMI mencontohkan.

 

Lanjut dicontohkan HILMI, sementara negara Jepang tercatat sebanyak 0,3 petani per hektar, sedangkan Vietnam 1,36 per hektar. “Artinya kondisi Indonesia mirip Vietnam, padat karya tetapi produktivitas rendah,” ungkap HILMI.

 

HILMI menjelaskan, untuk kebutuhan Ideal  ±30 juta hektar lahan, jika dihitung berdasarkan skenario mekanisasi, maka ada tiga poin yang penting untuk dipahami.

 

Pertama, secara tradisional dibutuhkan ±30 juta petani; kedua, semimekanisasi cukup ±10–15 juta petani (1 orang mengelola 2–3 hektar); ketiga mekanisasi penuh dan smart farming cukup 1 juta petani yang profesional (1 orang mengelola 20–50 hektar),” terang HILMI lagi.

 

Artinya, HILMI menganalisis, dengan topografi Indonesia yang beragam, realistisnya dalam 20 tahun ke depan Indonesia akan tetap memerlukan 15–20 juta petani aktif, sementara sisanya (±15–20 juta orang) dapat dialihkan ke sektor pascapanen dan agribisnis.

 

Solusi: Transformasi ke Pertanian Sekunder dan Tersier

 

Persoalan kelebihan tenaga kerja, kata HILMI, hanya bisa diatasi dengan transformasi struktural dari dominasi sektor primer ke sektor sekunder dan tersier, dengan beberapa cara berikut,

 

“Modernisasi pertanian primer, konsolidasi lahan melalui koperasi/BUMDes, mekanisasi bertahap: traktor, harvester, drone. Smart farming (IoT, sensor, dan prediksi AI),” beber HILMI.

 

Setelah itu dengan penguatan pascapanen yang merupakan sektor sekunder yang bisa dilakukan dengan tehnik pengeringan, penggilingan, dan cold storage untuk mengurangi losses. “Industri pengolahan: tepung, minyak, pakan ternak, jus buah, snack, herbal ekstrak. Termasuk langkah packaging dan branding agar produk pertanian bernilai tambah di pasar domestik atau ekspor,” urai HILMI.

 

“Langkah selanjutnya adalah ekspansi ke sektor tersier (agrobisnis dan layanan), yang meliputi logistik pangan modern (gudang, transportasi dingin, e-commerce), agrowisata dan edukasi pertanian, R&D agritech (benih unggul, pupuk hayati, precision farming)," ulas HILMI.


“Transformasi ini akan mengubah wajah desa: dari komunitas penghasil komoditas mentah menjadi simpul agribisnis modern yang mengolah, mengemas, memasarkan, dan bahkan mengekspor produk,” tandasnya.

 

Oleh karena itu, HILMI menegaskan agar petani tidak lagi boleh dipandang sebagai “profesi kelas bawah”, tetapi sebagai pilar peradaban pangan.

 

Dengan kebijakan tepat, mekanisasi progresif, hilirisasi, dan model bisnis syariat, Indonesia dapat melahirkan generasi baru petani profesional sekaligus wirausahawan agribisnis. “Dari sinilah masa depan kedaulatan pangan dan kejayaan ekonomi umat akan ditentukan,” pungkasnya.[] M. Siregar



Opini

×
Berita Terbaru Update