TintaSiyasi.id -- “Allah telah menciptakanmu, kemudian mewafatkanmu...”
Pendahuluan: Mengingat Asal dan Tujuan Hidup
Hidup ini tidak berawal dari kebetulan, dan kematian bukanlah akhir dari segalanya. Dalam setiap hembusan napas, terdapat rahasia kekuasaan Allah yang meneguhkan hakikat kita sebagai makhluk lemah. Allah ﷻ berfirman:
اللَّهُ خَلَقَكُمْ ثُمَّ يَتَوَفَّاكُمْ ۚ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْ لَا يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun, padahal sebelumnya dia telah mengetahui. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
(QS. An-Nahl: 70)
Ayat ini memaparkan tiga fase utama kehidupan manusia — penciptaan, kematian, dan kerapuhan di usia tua — sebagai cermin kebesaran dan kebijaksanaan Allah. Ia mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar perjalanan biologis, tetapi perjalanan ruhani menuju kesadaran Ilahi.
1. Dari Ketiadaan Menuju Keberadaan
Allah membuka kehidupan manusia dari ketiadaan yang mutlak. Tidak ada manusia yang menciptakan dirinya sendiri, dan tidak seorang pun mampu menentukan kapan dan di mana ia dilahirkan.
“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?”
(QS. Al-Insan: 1)
Setiap manusia lahir dalam keadaan lemah, tidak berdaya, dan bergantung sepenuhnya pada kasih sayang orang lain. Namun dari kelemahan itu, Allah anugerahkan kekuatan, ilmu, dan kemampuan untuk berkembang. Itulah tanda rahmat dan hikmah Allah, agar manusia mengenal siapa Penciptanya dan tidak sombong dengan kekuatan yang sementara.
2. Hidup: Amanah dan Ujian
Manusia diberikan kehidupan bukan untuk bersenang-senang tanpa arah, tetapi untuk menjalankan amanah sebagai khalifah dan hamba Allah di muka bumi.
“Yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
(QS. Al-Mulk: 2)
Hidup adalah ujian untuk menampakkan kualitas amal, bukan sekadar kuantitasnya.
Di sinilah manusia diuji dengan harta, kekuasaan, ilmu, dan waktu — apakah ia gunakan untuk kebaikan atau justru menjadi sebab kelalaian.
Kita sering mengira hidup adalah kesempatan untuk menikmati dunia sebanyak-banyaknya, padahal hakikat hidup adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan menanam amal saleh. Setiap detik yang berlalu adalah bagian dari “waktu pinjaman” yang akan ditarik kembali.
3. Kematian: Gerbang Pulang ke Hadirat-Nya
Kematian bukanlah akhir, melainkan perpindahan dari satu alam ke alam berikutnya. Allah berfirman:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.”
(QS. Ali Imran: 185)
Ayat An-Nahl: 70 menyebutkan: “Kemudian Dia mewafatkan kamu.”
Kata yatawaffākum berasal dari akar kata wafaa’ yang berarti menunaikan dengan sempurna. Artinya, kematian adalah pengambilan kembali ruh secara penuh oleh Allah, Sang Pemilik kehidupan.
Mati bukan kehilangan, tetapi kembali kepada Pemilik sejati, setelah menyelesaikan tugas singkat di dunia. Karena itu, orang beriman tidak takut mati, melainkan takut tidak siap untuk mati.
Ia sadar, hidup hanyalah ladang, sedangkan kematian adalah masa panen.
4. Kelemahan: Jalan Pulang yang Sunyi
Bagian terakhir dari ayat ini menggugah kesadaran terdalam manusia:
“Dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun, padahal sebelumnya dia telah mengetahui.”
Inilah fase “arżal al-‘umur” — masa tua yang penuh kelemahan, di mana manusia kembali seperti bayi: lemah tubuhnya, rapuh ingatannya, dan bergantung pada orang lain.
Ini bukan sekadar proses biologis, tapi tanda kebesaran Allah dan pelajaran ruhani yang dalam:
Allah ingin menunjukkan bahwa ilmu, kekuatan, dan ingatan bukan milik kita, tetapi pinjaman yang bisa diambil kapan saja.
Allah ingin mengingatkan bahwa manusia, seberapa pun tinggi derajatnya, akan kembali ke fitrah kelemahan, agar ia tidak sombong di masa kuatnya.
Sebagian ulama sufi menafsirkan ayat ini secara batin: bahwa “pikun” bukan hanya hilangnya ingatan fisik, tapi juga lambang manusia yang kehilangan kesadaran akan Tuhannya — sibuk dengan dunia hingga lupa arah. Karena itu, mengingat Allah (dzikrullah) menjadi obat agar hati tidak “pikun” dari makna hidup sejati.
5. Allah Maha Mengetahui dan Maha Kuasa
Penutup ayat ini menegaskan dua sifat agung Allah:
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Maha Mengetahui (ʿAlīm): Allah tahu asal-usulmu, perjalananmu, bahkan lintasan hatimu yang tersembunyi.
Maha Kuasa (Qadīr): Dialah yang mampu menciptakan, mematikan, menghidupkan kembali, dan mengatur segalanya dengan hikmah yang sempurna.
Kesadaran akan dua sifat ini membuat seorang mukmin hidup dalam keseimbangan:
antara tawakal dan usaha, antara harapan dan rasa takut, antara syukur dan sabar.
6. Refleksi: Makna Hidup dalam Siklus Ketuhanan
Ayat ini, bila direnungkan dalam-dalam, mengajarkan siklus eksistensial manusia:
dari penciptaan, menuju kehidupan, berlanjut ke kematian, lalu kembali kepada Allah.
Setiap tahap mengandung hikmah:
Penciptaan mengajarkan syukur.
Kehidupan menuntut amal saleh.
Kematian menanamkan kesadaran fana.
Pikun menumbuhkan kerendahan hati.
Manusia sejati adalah yang sadar bahwa kehidupan dunia hanyalah perjalanan singkat menuju keabadian, dan setiap hari yang berlalu adalah langkah menuju pertemuan dengan Rabb-nya.
Penutup: Jadilah Hamba yang Ingat Asalnya
Ayat ini adalah cermin jiwa bagi setiap manusia modern yang sering lupa arah karena hiruk pikuk dunia.
Kita sibuk mengejar kesuksesan, padahal setiap detik kita semakin dekat dengan kematian. Kita bangga dengan ilmu dan teknologi, padahal di hadapan Allah, semua itu bisa hilang dalam sekejap.
Maka, renungkanlah:
Allah yang menciptakanmu, Allah pula yang akan memanggilmu pulang.
Sebelum hari itu tiba, hiasilah hidupmu dengan amal, dzikir, dan cinta kepada Allah.
Karena pada akhirnya, bukan seberapa lama kita hidup yang penting, tetapi seberapa bermakna hidup itu untuk Allah dan sesama manusia.
Renungan Penutup
“Engkau diciptakan dari ketiadaan, lalu diberi waktu untuk mengenal Tuhanmu. Maka jangan sia-siakan waktu itu, sebelum engkau dikembalikan dalam kelemahan dan akhirnya dipanggil untuk mempertanggungjawabkan segalanya. Hidupmu bukan milikmu — ia adalah titipan Allah yang harus dikembalikan dengan husnul khatimah.”
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)