Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Negeri Fatherless, Luka Sosial dari Rahim Sekularisme

Kamis, 16 Oktober 2025 | 05:55 WIB Last Updated 2025-10-15T22:55:12Z

TintaSiyasi.id -- Di media sosial, tagar #Fatherless kini makin sering berseliweran. Cerita anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah—baik secara fisik maupun psikis—menjadi viral dan menuai ribuan simpati. Mereka berbagi luka yang sama: tumbuh dalam rumah yang lengkap secara struktur, tapi kosong secara makna. Ada ayah, tapi tak pernah hadir. Ada uang yang mengalir, tapi kehangatan ayah mengering. Fenomena ini bukan sekadar kisah keluarga, tapi cermin rusaknya tatanan sosial yang lahir dari rahim sekularisme.

Menurut laporan Kompas.id (14/10/2025), jutaan anak di Indonesia kini mengalami kondisi fatherless, yaitu ketiadaan peran ayah dalam tumbuh kembang anak. Kondisi ini bukan hanya akibat perceraian atau kematian, tetapi karena banyak ayah yang “hilang” di tengah kesibukan dunia kerja. 

Fakta serupa diungkap Kompas.id (12/10/2025), bahwa dukungan terhadap anak-anak fatherless kini mengalir deras lewat media sosial. Para ibu tunggal, konselor keluarga, hingga influencer ramai membicarakan isu ini, dengan narasi penyembuhan luka batin dan penguatan peran ibu.

Namun, di balik kampanye empati itu, seyogianya kita menelisik akar persoalan; mengapa peran ayah kian memudar? Mengapa generasi kehilangan figur qawwam—pelindung, penuntun, dan teladan yang seharusnya menjadi tiang rumah tangga?

Ayah Tersita, Anak Terluka

Fenomena fatherless lahir dari rahim peradaban kapitalistik–sekuler yang menuhankan materi dan menyingkirkan nilai ilahi. Dalam sistem ini, manusia diukur dari seberapa besar ia berkontribusi pada roda ekonomi, bukan seberapa utuh ia menjalankan fitrahnya.

Desakan ekonomi memaksa para ayah bekerja tanpa henti. Dari pagi hingga larut malam, waktu habis untuk mengejar angka di slip gaji. Rumah menjadi tempat singgah, bukan tempat mendidik. Anak-anak kehilangan figur yang seharusnya menjadi teladan iman dan tanggung jawab.

Artikel voi.id (11/10/2025) mencatat, jutaan anak Indonesia menjadi fatherless akibat tekanan ekonomi yang membuat ayah absen secara emosional dan psikis.

Sementara itu, dalam sistem sekuler yang menyingkirkan agama dari kehidupan, peran ayah direduksi menjadi sekadar “pencari uang.” Ia bukan lagi qawwam yang menuntun keluarga dengan nilai akidah, melainkan penyedia kebutuhan materi. Maka tak heran, banyak anak kehilangan arah, mencari figur di luar rumah, bahkan menggantungkan makna kasih pada layar gawai.

Sistem yang Membunuh Peran Ayah

Kapitalisme menanamkan logika bahwa keberhasilan laki-laki diukur dari karier dan penghasilan. Sementara perempuan didorong untuk “setara” di ranah publik, meski harus mengorbankan anak di rumah. Akhirnya, keluarga kehilangan keseimbangan. Fungsi pengasuhan, pendidikan, dan pembinaan spiritual diserahkan kepada sekolah, pengasuh, bahkan media sosial.

Padahal, Islam menempatkan ayah sebagai figur sentral dalam pendidikan anak. Kisah Luqman al-Hakim menjadi teladan, bagaimana seorang ayah menanamkan tauhid dan akhlak pada anaknya dengan hikmah. Ayah bukan sekadar pemberi nafkah, tapi penjaga aqidah dan pembentuk karakter.

Namun, dalam sistem sekuler, peran spiritual itu tercerabut. Negara tak menjamin kehidupan keluarga secara adil. Lapangan kerja terbatas, upah rendah, biaya hidup tinggi. Akibatnya, ayah bekerja keras bukan untuk mendidik, tapi sekadar bertahan hidup.

Tagar.co (10/10/2025) menyebut kondisi ini sebagai “alarm untuk masa depan anak Indonesia”, karena tingginya tingkat fatherless justru terjadi di negeri yang mengklaim diri patriarkis. Bahkan ketika struktur keluarga masih diakui, sistem tetap gagal menjaga fungsi keayahannya.

Islam: Menjaga Fungsi Ayah dan Menjamin Kehidupan

Dalam pandangan Islam, ayah adalah qawwam—pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab keluarga. Fungsinya bukan hanya memberi nafkah, tetapi menegakkan syariat Allah dalam rumah tangganya. Ia mendidik dengan iman, membimbing dengan kasih, dan menuntun dengan akhlak.

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (TQS An-Nisa:34) 

Ayat ini menegaskan peran laki-laki sebagai qawwam (penanggung jawab dan pelindung) keluarga. Dalam Islam, qawwamah bukan sekadar status, tapi amanah ilahiah untuk memimpin dengan syariat.

Fenomena fatherless lahir karena sistem sekuler mengebiri peran ini — menjadikan laki-laki hanya mesin ekonomi, bukan penjaga akidah dan fitrah keluarganya.

Negara dalam sistem Islam juga tidak membiarkan ayah berjuang sendirian. Ia wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat: pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dengan demikian, ayah dapat menjalankan perannya tanpa tercekik tekanan ekonomi.

Sistem Islam pun memiliki mekanisme perwalian yang memastikan setiap anak—bahkan yatim sekalipun—tetap memiliki figur pembimbing dan pelindung. Tidak ada istilah anak kehilangan sosok ayah, karena masyarakat Islam hidup dalam sistem yang berlandaskan tanggung jawab kolektif dan solidaritas keimanan.

Isu fatherless tak bisa diselesaikan hanya dengan kampanye “hadir untuk anak.” Selama sistem yang membuat ayah tersita waktu tak diubah, luka ini hanya akan berulang.

Kita harus berani menatap akar masalahnya: sekularisme telah melahirkan peradaban yang kering dari nilai ilahi, yang menjauhkan manusia dari peran fitrahnya. Selama kapitalisme menjadi panglima, ayah akan terus teralienasi, dan anak-anak akan tumbuh tanpa pelindung spiritual.

Islam akan menempatkan keluarga sebagai pusat peradaban, maka ayah akan kembali pada fitrahnya — sebagai qawwam, pelindung, dan pendidik sejati.

Karena sesungguhnya, fatherless bukan hanya kisah kehilangan ayah, tapi kisah kehilangan arah sebuah peradaban.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Tuty Prihatini, Di.Hut.
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update