TintaSiyasi.id -- Analis Senior Pusat Kanian dan Analisis Data Fajar Kurniawan mengatakan sangat ironis, ketika dunia lagi mengejar energi beraih dengan kampanye menggunakan mobil listrik, tetapi nikelnya didapatlan dengan cara yang tidak ramah lingkungan.
"Tentu ini ironis, dunia lagi ngejar energi bersih dengan pakai mobil listrik, tetapi nikelnya didapatkan dengan cara-cara yang tidak ramah sosial dan ramah lingkungan. Mereka bilang transisi energi tetapi yang terjadi adalah transisi ketidakadilan," ungkapnya di akun TikTok fajar.pkad, Senin (13/10/2025).
Ia mengungkapkan, dana pensiun pemerintah Norwegia global salah satu sovereign wealth fund atau dana kekayaan negara terbesar di dunia resmi mencabut investasinya dari perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Halmahera Timur. Karena ternyata ada resiko serius kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat adat O'Hongana Manyawa atau suku Togutil atau Suku Tobelo dalam Halmahera.
"Bayangin negara seperti Norwegia aja sudah angkat tangan dan bilang nikel ini kotor. Kenapa Norwegia bisa sampai cabut investasinya? Karena fakta dilapangan bikin nangis. Konsesi tambang nikel di sana luas banget, 45.065 hektar dan sekitar 31.000 hektar adalah ekosistem hutan yang terancam eksistensinya. Belum lagi ancaman terhadap suku O'Hongana Manyawa yang terisolasi di sana, risiko displacement habitat mereka karena adanya aktivitas tambang," ungkapnya.
Ia menegaskan, Norwegia menarik investasinya adalah tamparan keras buat masyarakat Indonesia. Itu adalah sinyal bahwa dunia sudah melihat dan menghentikan perusakan lingkungan dan hutan serta peminggiran masyarakat Halmahera demi nikel. Momentum ini harus ditangkap bukan malah diabaikan.
Fajar memberikan alternatif solusi teknis strategis yang harus masyarakat dorong kepada pemerintah agar memiliki tambang nikel yang bersih.
Pertama, melakukan moratorium tambang di hutan dan evaluasi total dengan menghentikan segera persetujuan penggunaan kawasan hutan terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis seperti Ake Kobe. Pemerintah wajib meninjau ulang semua izinkan tambang di sana.
Kedua, mengakui dan melindungi masyarakat adat. Negara harus mempercepat pengakuan hukum atas tanah adat dan menerapkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan atas dasar keputusan bebas didahulukan dan diinformasikan secara ketat.
Sehingga, sebelum izin tambang diberikan tanpa FPIC yang transparan dan akuntabel, proyek wajib dibatalkan dan harus diingat nikel di Halmahera adalah milik semua rakyat Indonesia, harus diekstraksi dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, jadi idealnya negaralah yang melakukan pengelolaan nikel tersebut.
"Momentum ini adalah kesempatan emas untuk kita menantang danantara, bisakah mengambil kendali pengelolaan tambang nikel di Halmahera agar menjadi tambang nikel yang ramah sosial dan lingkungan," pungkasnya.[] Alfia Purwanti