Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Cermin Buram Sistem Kapitalisme: Jabatan Fasilitasi Gengsi?

Senin, 13 Oktober 2025 | 23:09 WIB Last Updated 2025-10-13T16:10:02Z
 
TintaSiyasi.id -- Publik Pasaman Barat tengah diguncang isu pembelian tiga mobil dinas baru senilai Rp2 miliar untuk pimpinan DPRD (Informasinasional.com, 25/9/2025). Ironisnya, pembelian ini dilakukan di tengah kondisi ekonomi daerah yang lesu, APBD defisit, dan infrastruktur rusak. Wajar jika masyarakat, mahasiswa, dan tokoh pemuda mengecam kebijakan yang dinilai tidak peka terhadap penderitaan rakyat.

Di bawah tekanan publik, pimpinan DPRD akhirnya menyatakan siap mengembalikan mobil dinas dan menggunakan angkutan umum. Namun muncul pertanyaan, apakah sikap itu lahir dari kesadaran atau sekadar langkah politis menjaga citra?

Jabatan dalam Logika Kapitalisme

Kasus ini bukan sekadar soal etika pejabat, tapi potret logika kapitalisme dalam pemerintahan modern. Dalam paradigma kapitalis, jabatan sering dimaknai sebagai hak istimewa (privilege) dan sarana memperoleh kenyamanan pribadi. Kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai amanah, melainkan alat meningkatkan gengsi dan status sosial.

Fasilitas bagi pejabat memang penting untuk menunjang kinerja. Namun pembelian mobil mewah di tengah defisit anggaran menunjukkan salah urus prioritas. Banyak kebutuhan rakyat seperti jalan, jembatan, dan layanan publik yang lebih mendesak. Namun, sistem kapitalisme menilai kebijakan sah selama sesuai prosedur dan anggaran tersedia, meski tidak berpihak pada rakyat kecil.

Logika seperti ini membuat orientasi pejabat terpusat pada kepentingan pribadi dan kelompok. Rakyat hanya menjadi alat legitimasi politik. Akibatnya, keputusan diambil bukan demi kemaslahatan publik, melainkan demi menjaga posisi dan dukungan politik.

Ketika Pencitraan Menggantikan Kesadaran

Dalam sistem kapitalis, pejabat lebih reaktif terhadap tekanan opini publik ketimbang dorongan moral. Saat masyarakat bersuara keras, barulah muncul tindakan simbolik seperti “siap mengembalikan mobil dinas.” Tindakan ini bisa jadi lebih karena ketakutan kehilangan dukungan politik, bukan kesadaran akan tanggung jawab moral.

Begitulah karakter sistem kapitalis, pemimpin terjebak dalam politik pencitraan. Mereka berupaya tampak merakyat, namun tidak menyentuh akar persoalan. Paradigma kepemimpinan  masih berorientasi materi, bukan pelayanan.

Solusi Islam: Kepemimpinan Amanah dan Bertakwa

Islam memiliki pandangan berbeda. Kekuasaan dalam Islam adalah amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
 “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Dawud)

Fungsi utama pemerintahan dalam Islam adalah memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi. Terutama  kebutuhan terkait kepentingan  publik berupa pendidikan, kesehatan, keamanan, dan infrastruktur. Dalam Islam, jabatan bukan sarana kemewahan, tetapi sarana pelayanan umat.

Teladan besar tampak pada Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang menjual fasilitas mewah istananya dan menyerahkan hasilnya ke kas negara. Ia hidup sederhana karena takut hartanya menjadi beban di akhirat. Begitu pula Sayyidina Umar bin Khattab ra, yang hanya mengambil nafkah secukupnya dari baitul mal, bukan untuk memperkaya diri.

Islam tidak menolak fasilitas negara seperti kendaraan dinas, asalkan digunakan semata untuk melayani rakyat. Pemimpin yang memiliki syakhshiyyah Islamiyyah (kepribadian Islami) tidak akan memanfaatkan fasilitas publik untuk gengsi. Ia takut menyalahgunakan satu dirham harta umat karena tahu setiap kebijakan akan dihisab.

Dalam sistem Islam, ukuran kehormatan bukanlah kekayaan, melainkan ketakwaan. Pemimpin tidak merasa lebih tinggi dari rakyat, dan kekuasaan dipandang sebagai amanah, bukan kesempatan. Jurang antara pejabat dan rakyat pun menjadi tipis karena keduanya sama-sama tunduk pada hukum Allah.

Penutup: Saatnya Sistem Islam Menggantikan Kapitalisme

Diperlukan sistem yang menumbuhkan pemimpin berkepribadian Islam. Sistem itu adalah sistem Islam, yang menempatkan penguasa sebagai pelayan umat, bukan penguasa yang dilayani. Harta publik dikelola amanah, pengawasan dilakukan ketat, dan setiap kebijakan diarahkan untuk kemaslahatan rakyat.

Dengan penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, budaya hedonisme dan politik pencitraan dapat dihindari. Pemimpin akan sadar bahwa jabatan bukan kehormatan duniawi, melainkan amanah berat yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.


Oleh: Ai Qurotul Ain
Pengamat Kebijakan

Opini

×
Berita Terbaru Update