“Agar Rancangan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) draf 22 Juli 2025 untuk mengikat arsitektur
kebijakan dengan akidah Islam dan maqāṣid syariah melalui pembedaan
tegas antara fardhu ‘ain (PFA) dan fardhu kifayah (PFK),” seru
HILMI kepada TintaSiyasi.ID ketika menyoroti krisis multidimensi dalam sistem pendidikan nasional
Indonesia.
Krisis Mutu dan Keagamaan
HILMI memaparkan bahwa krisis
pendidikan saat ini ditandai dengan merosotnya kewibawaan guru, menurunnya mutu
belajar (banyak lulusan SMA kesulitan berhitung atau menulis), gaji guru
honorer yang rendah, serta kurikulum yang terus berganti tanpa arah.
“Selain itu, jargon "link and
match" masih sebatas wacana, dengan fakta lebih dari sejuta sarjana
menganggur, sementara profesi-profesi tersingkir oleh otomatisasi dan
kecerdasan buatan (AI),” ulas HILMI.
Dari aspek Islam, HILMI mencatat
bahwa hasil pendidikan nasional masih jauh dari cita-cita membentuk insan
bertakwa dan berilmu.
“Survei menunjukkan baru 38,9 persen
umat Islam di Indonesia yang rutin menunaikan salat. Hal ini memunculkan
pertanyaan tentang kemungkinan meraih "generasi emas" jika hampir dua
pertiga dari mereka belum tunduk kepada Sang Pencipta,” ujar HILMI menyangsikan
harapa Indonesia.
Secara regulasi, draf RUU Sisdiknas
berupaya mengonsolidasi aturan yang tercerai-berai (dari Sisdiknas 2003, guru
dan dosen, hingga pendidikan tinggi) sambil menjawab putusan Mahkamah
Konstitusi (MK), ketimpangan mutu, dan fragmentasi tata kelola.
Membedakan Fardhu ‘Ain dan Fardhu
Kifayah
HILMI mengusulkan penggunaan PFA dan
PFK sebagai kompas kebijakan untuk menentukan hak, kewajiban, prioritas
pendanaan, dan tata kelola mutu.
- Fardhu ‘Ain (PFA): Merupakan
kompetensi minimum yang wajib dikuasai setiap individu agar dapat
beribadah dengan benar, menjaga diri, bermuamalah adil, beretika terhadap
alam, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab. PFA mencakup
akidah/ibadah pokok, muamalah dasar, akhlak-sosio-emosional,
literasi-numerasi, kesehatan dasar, civic-eco ethics, serta
kemandirian ekonomi.
- Fardhu Kifayah (PFK): Ialah kompetensi
profesi yang harus tersedia dalam jumlah memadai demi kemaslahatan sosial,
seperti dokter, perawat, insinyur, akuntan, dan analis data. Kekurangan
pada profesi strategis ini dianggap sebagai “dosa sosial” yang harus
ditutup oleh kebijakan negara.
“PFA harus bersifat gratis, proaktif,
dan universal. Matriks normatif ini sejalan dengan perluasan wajib belajar 13
tahun dalam RUU dan Putusan MK 3/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa pendidikan
dasar tanpa biaya juga melekat pada satuan pendidikan masyarakat
(swasta/madrasah).
“Untuk memastikan PFA gratis secara
riil, agar PFA dikunci sebagai kewajiban fiskal dengan unit cost per
peserta didik yang akuntabel, tersalur langsung ke satuan pendidikan, dan tidak
diskriminatif antara negeri dan masyarakat, selama standar mutu terpenuhi,” saran
HILMI.
Sementara itu, HILMI mengatakan bahwa
PFK harus menerapkan meritokrasi yang adil, di mana pendanaan penuh dan gratis
hanya diberikan bagi yang lolos seleksi sesuai proyeksi kebutuhan
nasional-daerah (manpower planning) dan disertai ikatan pengabdian ke
wilayah defisit.
“Jalur vokasi dan nonformal melalui
Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) serta micro-credentials juga
dianggap penting untuk mobilitas sosial PFK,” sebut HILMI.
Tata Kelola dan Pendanaan
Terkait tata kelola, HILMI menyoroti
penempatan Rencana Induk Pendidikan Nasional (RIPNas) sebagai dokumen payung
strategis yang ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah (PP), yang berpotensi
mendelegasikan kewenangan berlebihan kepada eksekutif.
“Kewenangan "take-over" (pengambilalihan sementara pengelolaan
PAUD-dasar-menengah oleh pusat bila daerah gagal memenuhi SPM) harus bersifat
remedial dan temporer, serta dilengkapi dengan kriteria terukur, durasi
maksimum, exit plan wajib, dan pelaporan triwulanan terbuka,” ujar HILMI
menekankan.
Dalam hal pendanaan, HILMI menandai
problem klasik bahwa alokasi 20 persen anggaran belum terealisasi secara adil
dan optimal. “HILMI mengusulkan agar 20 persen anggaran menjadi bermakna dengan
formula yang operasional (minimal 60–70 persen porsi belanja langsung ke satuan
pendidikan),” usul HILMI.
“Dana Abadi Pendidikan (DAP) didorong
sebagai instrumen, tetapi perlu regulasi yang eksplisit mengatur eksistensi,
prioritas, prinsip pengelolaan, dan akuntabilitasnya di level undang-undang,”
ulas HILMI.
Selain itu, HILMI mengimbuhkan bahwa menegaskan
bahwa ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf) bukan pengganti kewajiban
APBN/APBD, melainkan penguat nilai tambah, yang dapat difokuskan untuk
mengurangi out-of-pocket keluarga miskin (PFA) dan mendukung PFK
prioritas.
Data dan Lembaga Asing
HILMI juga menekankan pentingnya
norma perlindungan data yang eksplisit pada RUU, mengingat pemerintah pusat
akan mengelola data pendidikan secara terintegrasi nasional.
“Konsep “amanah data” harus setara
dengan “amanah anggaran,”, di mana legislasi wajib mencantumkan pagar-pagar
keamanan data di tingkat undang-undang, seperti privacy-by-design, audit
trail, dan kewajiban notifikasi insiden,” beber HILMI.
“Mengenai lembaga/negara asing, RUU
membuka koridor dengan syarat izin pusat, prinsip nirlaba, dan dukungan
kepentingan nasional. Namun, “membuka pintu" harus diikuti dengan house
rules yang kuat, termasuk daftar badan akreditasi internasional yang
diakui, due diligence tenaga pendidik, dan standar perlindungan
mahasiswa, agar kehadiran mereka menambah nilai dan tidak mendistorsi pasar
pendidikan tinggi atau mengancam kedaulatan,” pungkasnya.[] Rere
