Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI Serukan RUU Sisdiknas Mengikat Arsitektur Kebijakan dengan Akidah Islam

Senin, 27 Oktober 2025 | 15:36 WIB Last Updated 2025-10-27T08:41:15Z

TintaSiyasi.id -- Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) merilis Intellectual Opinion No. 022 pada 20 Oktober 2025, agar Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) draf 22 Juli 2025 untuk mengikat arsitektur kebijakan dengan akidah Islam dan maqāṣid syariah melalui pembedaan tegas antara fardhu ‘ain (PFA) dan fardhu kifayah (PFK).

 

“Agar Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) draf 22 Juli 2025 untuk mengikat arsitektur kebijakan dengan akidah Islam dan maqāṣid syariah melalui pembedaan tegas antara fardhu ‘ain (PFA) dan fardhu kifayah (PFK),” seru HILMI kepada TintaSiyasi.ID ketika menyoroti krisis multidimensi dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.

 

Krisis Mutu dan Keagamaan

 

HILMI memaparkan bahwa krisis pendidikan saat ini ditandai dengan merosotnya kewibawaan guru, menurunnya mutu belajar (banyak lulusan SMA kesulitan berhitung atau menulis), gaji guru honorer yang rendah, serta kurikulum yang terus berganti tanpa arah.

 

“Selain itu, jargon "link and match" masih sebatas wacana, dengan fakta lebih dari sejuta sarjana menganggur, sementara profesi-profesi tersingkir oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI),” ulas HILMI.

 

Dari aspek Islam, HILMI mencatat bahwa hasil pendidikan nasional masih jauh dari cita-cita membentuk insan bertakwa dan berilmu.

 

“Survei menunjukkan baru 38,9 persen umat Islam di Indonesia yang rutin menunaikan salat. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang kemungkinan meraih "generasi emas" jika hampir dua pertiga dari mereka belum tunduk kepada Sang Pencipta,” ujar HILMI menyangsikan harapa Indonesia.

 

Secara regulasi, draf RUU Sisdiknas berupaya mengonsolidasi aturan yang tercerai-berai (dari Sisdiknas 2003, guru dan dosen, hingga pendidikan tinggi) sambil menjawab putusan Mahkamah Konstitusi (MK), ketimpangan mutu, dan fragmentasi tata kelola.

 

Membedakan Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah

 

HILMI mengusulkan penggunaan PFA dan PFK sebagai kompas kebijakan untuk menentukan hak, kewajiban, prioritas pendanaan, dan tata kelola mutu.

 

  1. Fardhu ‘Ain (PFA): Merupakan kompetensi minimum yang wajib dikuasai setiap individu agar dapat beribadah dengan benar, menjaga diri, bermuamalah adil, beretika terhadap alam, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab. PFA mencakup akidah/ibadah pokok, muamalah dasar, akhlak-sosio-emosional, literasi-numerasi, kesehatan dasar, civic-eco ethics, serta kemandirian ekonomi.

 

  1. Fardhu Kifayah (PFK): Ialah kompetensi profesi yang harus tersedia dalam jumlah memadai demi kemaslahatan sosial, seperti dokter, perawat, insinyur, akuntan, dan analis data. Kekurangan pada profesi strategis ini dianggap sebagai “dosa sosial” yang harus ditutup oleh kebijakan negara.

 

“PFA harus bersifat gratis, proaktif, dan universal. Matriks normatif ini sejalan dengan perluasan wajib belajar 13 tahun dalam RUU dan Putusan MK 3/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa pendidikan dasar tanpa biaya juga melekat pada satuan pendidikan masyarakat (swasta/madrasah).

 

“Untuk memastikan PFA gratis secara riil, agar PFA dikunci sebagai kewajiban fiskal dengan unit cost per peserta didik yang akuntabel, tersalur langsung ke satuan pendidikan, dan tidak diskriminatif antara negeri dan masyarakat, selama standar mutu terpenuhi,” saran HILMI.

 

Sementara itu, HILMI mengatakan bahwa PFK harus menerapkan meritokrasi yang adil, di mana pendanaan penuh dan gratis hanya diberikan bagi yang lolos seleksi sesuai proyeksi kebutuhan nasional-daerah (manpower planning) dan disertai ikatan pengabdian ke wilayah defisit.

 

“Jalur vokasi dan nonformal melalui Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) serta micro-credentials juga dianggap penting untuk mobilitas sosial PFK,” sebut HILMI.

 

Tata Kelola dan Pendanaan

 

Terkait tata kelola, HILMI menyoroti penempatan Rencana Induk Pendidikan Nasional (RIPNas) sebagai dokumen payung strategis yang ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah (PP), yang berpotensi mendelegasikan kewenangan berlebihan kepada eksekutif.

“Kewenangan "take-over" (pengambilalihan sementara pengelolaan PAUD-dasar-menengah oleh pusat bila daerah gagal memenuhi SPM) harus bersifat remedial dan temporer, serta dilengkapi dengan kriteria terukur, durasi maksimum, exit plan wajib, dan pelaporan triwulanan terbuka,” ujar HILMI menekankan.

 

Dalam hal pendanaan, HILMI menandai problem klasik bahwa alokasi 20 persen anggaran belum terealisasi secara adil dan optimal. “HILMI mengusulkan agar 20 persen anggaran menjadi bermakna dengan formula yang operasional (minimal 60–70 persen porsi belanja langsung ke satuan pendidikan),” usul HILMI.

 

“Dana Abadi Pendidikan (DAP) didorong sebagai instrumen, tetapi perlu regulasi yang eksplisit mengatur eksistensi, prioritas, prinsip pengelolaan, dan akuntabilitasnya di level undang-undang,” ulas HILMI.

 

Selain itu, HILMI mengimbuhkan bahwa menegaskan bahwa ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf) bukan pengganti kewajiban APBN/APBD, melainkan penguat nilai tambah, yang dapat difokuskan untuk mengurangi out-of-pocket keluarga miskin (PFA) dan mendukung PFK prioritas.

 

Data dan Lembaga Asing

 

HILMI juga menekankan pentingnya norma perlindungan data yang eksplisit pada RUU, mengingat pemerintah pusat akan mengelola data pendidikan secara terintegrasi nasional.

 

“Konsep “amanah data” harus setara dengan “amanah anggaran,”, di mana legislasi wajib mencantumkan pagar-pagar keamanan data di tingkat undang-undang, seperti privacy-by-design, audit trail, dan kewajiban notifikasi insiden,” beber HILMI.

 

“Mengenai lembaga/negara asing, RUU membuka koridor dengan syarat izin pusat, prinsip nirlaba, dan dukungan kepentingan nasional. Namun, “membuka pintu" harus diikuti dengan house rules yang kuat, termasuk daftar badan akreditasi internasional yang diakui, due diligence tenaga pendidik, dan standar perlindungan mahasiswa, agar kehadiran mereka menambah nilai dan tidak mendistorsi pasar pendidikan tinggi atau mengancam kedaulatan,” pungkasnya.[] Rere

Opini

×
Berita Terbaru Update