TintaSiyasi.id -- Refleksi Ruhani tentang Hakikat Rezeki dan Ketergantungan kepada Allah
Pendahuluan: Allah, Sumber Segala Pemberian
Segala sesuatu yang hidup di langit dan di bumi mendapatkan rezekinya dari Allah. Tak ada satu pun makhluk, sekecil apa pun, melainkan telah ditetapkan bagian dan waktunya oleh Sang Pencipta.
Allah memperkenalkan diri-Nya dalam banyak ayat dengan nama Ar-Rāziq (Maha Pemberi Rezeki), dan bahkan menegaskan bahwa Dia adalah Khairur Rāziqīn, sebaik-baik pemberi rezeki.
“Dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki.”
(QS. Al-Jumu‘ah [62]: 11)
وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ
Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.”
(QS. Al-Mu’minūn [23]: 72)
Nama ini bukan sekadar pengingat bahwa Allah memberi makan dan minum, tetapi bahwa Dia satu-satunya sumber segala kebaikan, keberkahan, dan kecukupan.
1. Makna “Khairur Rāziqīn” dalam Kedalaman Makna
Secara bahasa, “Khairur Rāziqīn” berarti Yang paling baik di antara para pemberi rezeki.
Makna ini bukan berarti ada pemberi rezeki lain selain Allah, melainkan menunjukkan perbandingan dengan sebab-sebab duniawi — orang tua, majikan, atasan, pengusaha, atau siapa pun yang menjadi saluran rezeki.
Mereka hanyalah wasilah (perantara), sedangkan Allah-lah yang menjadi Musabbibul Asbāb (Penyebab segala sebab).
Dialah yang menanamkan kasih dalam hati orang untuk memberi, yang menggerakkan tangan untuk menolong, dan yang menumbuhkan keberkahan di setiap usaha hamba-Nya.
2. Rezeki: Lebih Luas dari Sekadar Harta
Dalam pandangan Al-Qur’an, rezeki tidak terbatas pada uang atau makanan. Rezeki mencakup segala nikmat dan karunia Allah, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah:
1. Rezeki Jasmani: kesehatan, makanan, tempat tinggal, keluarga.
2. Rezeki Ilmu: pemahaman, hikmah, kemampuan membedakan benar dan salah.
3. Rezeki Ruhani: ketenangan hati, keimanan, rasa syukur, dan cinta kepada Allah.
4. Rezeki Amal Shalih: kesempatan untuk berbuat baik dan menebar manfaat.
Imam Al-Ghazali berkata,
“Rezeki sejati adalah segala sesuatu yang menguatkanmu menuju Allah, bukan yang menjauhkanmu dari-Nya.”
Dengan demikian, seseorang bisa kaya secara materi, namun miskin dalam keberkahan; sebaliknya, seseorang bisa sederhana secara duniawi namun kaya dalam ketenangan dan cinta Ilahi.
3. Sumber Rezeki: Dari Langit dan dari Takwa
Allah menegaskan bahwa rezeki bukan hasil kecerdikan semata, tetapi buah dari ketakwaan dan tawakal.
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. Ath-Thalāq [65]: 2–3)
Ayat ini mengajarkan bahwa rezeki mengalir melalui jalan ketundukan, bukan sekadar kehebatan.
Takwa membuka pintu yang tertutup, dan tawakal memanggil rezeki yang tersembunyi.
Sebab itu, para salafus shalih berdoa bukan hanya agar dilapangkan rezekinya, tetapi agar diberi keberkahan dan kehalalan dalam rezeki.
4. Refleksi: Jangan Terlalu Sibuk Mengejar, Hingga Lupa Si Pemberi
Banyak manusia terperangkap dalam pusaran pencarian rezeki yang melelahkan.
Siang malam bekerja, mengejar materi, tapi lupa siapa yang sesungguhnya memberi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya roh kudus (Jibril) membisikkan ke dalam jiwaku, bahwa tidak ada satu jiwa pun yang akan mati sebelum sempurna rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencarinya.”
(HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menenangkan hati setiap mukmin: rezeki kita sudah tertulis, tidak akan tertukar dan tidak akan terlambat. Yang perlu kita lakukan hanyalah ikhtiar dengan jujur dan bersyukur, bukan cemas dan curang.
5. Tanda Rezeki yang Diberkahi
Tidak semua rezeki membawa ketenangan. Ada yang banyak tapi menimbulkan gelisah, ada yang sedikit namun menumbuhkan bahagia.
Para ulama menjelaskan, tanda rezeki yang diberkahi antara lain:
1. Menambah rasa syukur dan tawakal.
2. Tidak membuat lalai dari ibadah.
3. Bermanfaat bagi orang lain.
4. Diperoleh dengan cara halal dan hati yang tenang.
Karena itu, seorang mukmin tidak hanya berdoa: “Ya Allah, berilah aku rezeki yang banyak,”
tetapi:
“Ya Allah, berilah aku rezeki yang halal, penuh berkah, dan mendekatkan aku kepada-Mu.”
6. Allah Memberi dengan Cinta, Menahan pun dengan Hikmah
Kadang kita merasa rezeki tertunda, doa belum dijawab, atau peluang seolah tertutup.
Namun sesungguhnya, penundaan Allah bukanlah penolakan.
Bisa jadi, Allah menunda rezeki dunia agar hati kita tidak lupa pada rezeki akhirat.
Imam Ibn ‘Athaillah berkata:
“Jika Allah menahan pemberian-Nya darimu, maka ketahuilah, Ia sedang ingin memberimu dengan cara yang lebih mulia.”
Allah menakar rezeki bukan dengan ukuran dunia, tetapi dengan ukuran cinta dan keselamatan akhirat.
7. Tumbuhkan Rasa Cukup: Kunci Ketenangan Hidup
Salah satu rezeki terbesar yang sering kita lupakan adalah rasa cukup (qanā‘ah).
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bukanlah kekayaan itu karena banyak harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika hati merasa cukup dengan pemberian Allah, hidup menjadi tenang.
Bukan berarti berhenti berusaha, tetapi berhenti mengeluh dan iri.
Ketenangan hati itulah yang menjadi tanda bahwa seseorang telah merasakan rezeki dari Allah, Sang Khairur Rāziqīn.
Penutup: Hidup dalam Naungan Pemberi Rezeki Terbaik
Dalam setiap hembusan napas, setiap langkah, setiap senyum anak, setiap butir nasi — ada tanda kasih Allah, Sang Pemberi Rezeki.
Ia memberi tanpa meminta balasan, menambah tanpa menghitung, dan menahan dengan kasih yang dalam.
۞وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلّٞ فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hūd [11]: 6)
Maka, wahai jiwa yang resah,
tenangkanlah hatimu dengan keyakinan ini:
Rezekimu tidak akan diambil orang lain, dan rezeki orang lain tidak akan menjadi milikmu.
Cukupkan hatimu dengan Allah, niscaya dunia akan cukup bagimu.
Karena hanya Dia-lah —
Allah Sang Khairur Rāziqīn, sebaik-baik Pemberi Rezeki.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)