TintaSiyasi.id -- Aksi penjarahan yang menyasar rumah beberapa tokoh publik mulai dari pejabat Ahmad Sahroni, Menteri Sri Mulyani, hingga artis Uya Kuya dan Eko Patrio sukses mengguncang perhatian masyarakat.
Fenomena ini bukan sekadar soal kriminalitas, melainkan cermin hilangnya fungsi dasar negara dalam menjaga keamanan warganya.
Masyarakat pun bertanya,
Siapa yang bertanggung jawab?
Mengapa polisi yang seharusnya menjadi pengayom justru terkesan pasif, bahkan membiarkan?
Padahal, penjarahan jelas merupakan tindak kriminal. Dalam sistem hukum manapun, pelaku harus ditindak tegas. Namun, kenyataannya, aparat tampak gamang. Padahal, rumah pejabat dan artis adalah simbol ketertiban publik. Jika di level itu saja bisa dijarah tanpa pengamanan, bagaimana dengan rumah rakyat kecil?
Diamnya aparat menunjukkan dua hal,
Pertama, negara kehilangan wibawa hukum. Hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Kedua, polisi terjebak kepentingan politik. Kapolri dipilih Presiden, sehingga sering kali orientasinya bukan pada perlindungan rakyat, melainkan menjaga stabilitas citra penguasa. Padahal, tugas polisi bukan sekadar "penonton." Mereka adalah penegak keamanan.
Ketika ada pembiaran, artinya negara melakukan omission atau kelalaian yang sama fatalnya dengan kejahatan itu sendiri.
Siapa Bertanggung Jawab?
Dalam demokrasi, pertanggungjawaban sering kabur. Presiden menunjuk Kapolri, DPR mengesahkan, rakyat hanya bisa menonton. Ketika polisi gagal menjalankan fungsinya, jarang sekali ada akuntabilitas nyata. Kalaupun ada, sebatas mutasi jabatan atau pencitraan.
Artinya, yang paling bertanggung jawab adalah negara itu sendiri. Sebab negara melalui aparatur hukumnya telah lalai menunaikan kewajiban utama, yaitu menjaga keamanan jiwa, harta, dan kehormatan rakyat.
Allah SWT telah menegaskan bahwa pemimpin adalah penanggung jawab umat,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, ketika rumah dijarah, keamanan hilang, dan aparat diam, jelas dosa besar dipikul oleh penguasa yang lalai.
Posisi Polisi (Syurṭah) dalam Islam
Dalam Islam, keamanan bukan sekadar urusan teknis, melainkan bagian dari amanah syar'i. Polisi dalam Islam disebut syurṭah. Mereka bukan alat politik penguasa, melainkan perangkat negara yang menjalankan hukum syariah.
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, syurṭah adalah salah satu perangkat eksekutif negara (ajhizah al-daulah) yang bertugas menegakkan hukum, menjaga keamanan, serta memastikan ketertiban umum sesuai syariah. Mereka berada langsung di bawah khalifah sebagai kepala negara.
Fungsi syurṭah ada tiga,
Pertama, hirasah (penjagaan). Mereka memastikan keamanan harta, jiwa, dan kehormatan rakyat terlindungi.
Kedua, tanfidz (eksekusi). Tugasnya melaksanakan keputusan hakim (qadhi) dan instruksi khalifah.
Ketiga, hisbah (amar makruf nahi mungkar). Ikut mengawasi aktivitas di masyarakat agar tidak melanggar syariat.
Dalam negara Islam, syurṭah tidak boleh diam ketika terjadi penjarahan. Mereka wajib bertindak cepat menangkap pelaku, mengembalikan hak korban, dan menegakkan sanksi sesuai syariah.
Sejarah Membuktikan: Keamanan Hakiki dalam Khilafah
Masa Umar bin Khattab ra.
Umar dikenal sering berkeliling malam hari untuk memastikan rakyatnya aman. Beliau mendapati seorang ibu yang merebus batu agar anak-anaknya berhenti menangis karena lapar. Umar segera berlari ke baitul mal, memanggul sendiri karung gandum, lalu menyerahkannya.
Pelajaran besar bahwa keamanan bukan hanya soal polisi menangkap penjahat, tapi juga soal pemimpin memastikan rakyat tidak terzalimi oleh kelaparan. Syurṭah di masa itu bergerak dengan orientasi sama, yaitu melindungi, bukan mengintimidasi.
Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Di era beliau, keamanan begitu terjaga hingga dikisahkan serigala dan kambing bisa minum di sungai yang sama tanpa saling mengganggu. Kenapa? Karena syurṭah benar-benar menjalankan fungsi menjaga masyarakat sesuai hukum Allah, dan rakyat merasa adil. Tidak ada yang berani menjarah, karena sanksi tegas menanti dan keadilan ditegakkan.
Masa Harun ar-Rasyid
Khalifah Harun ar-Rasyid pernah berkata,
“Aku bisa melihat wanita berjalan sendirian dari Baghdad ke San’a tanpa takut kecuali kepada Allah.”
Itu bukan sekadar retorika, melainkan realitas. Tingkat keamanan di era itu membuat perjalanan ribuan kilometer terasa aman, karena syurṭah memastikan tidak ada pencuri, perampok, atau penjarah yang berkeliaran.
Kontras dengan Polisi Demokrasi Hari Ini
Kalau dibandingkan dengan kondisi Indonesia sekarang, perbedaan mencolok. Dulu, rumah rakyat kecil pun aman, bahkan wanita bisa bepergian jauh sendirian tanpa takut. Sekarang? Rumah pejabat, menteri, artis pun bisa dijarah, sementara polisi hanya menonton.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan, keamanan yang nyata hanya mungkin diwujudkan dalam sistem Islam, karena syurṭah bekerja untuk Allah, bukan untuk kepentingan politik rezim.
Solusi Islam: Keamanan Nyata
Islam menjamin keamanan warganya. Dalam sejarah khilafah, seorang wanita bisa bepergian berhari-hari tanpa takut, bahkan pasar dijaga agar harta sekecil apapun tak hilang.
Maka solusi bagi negeri ini bukan sekadar reformasi polisi, karena akar masalahnya ada pada sistem demokrasi yang menjadikan aparat sebagai alat politik, bukan pelayan rakyat.
Jalan keluarnya adalah perubahan sistemik dengan penerapan syariah kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah. Dengan begitu, fungsi polisi (syurṭah) kembali sebagaimana mestinya, yaitu sebagai pengayom, penjaga, sekaligus pelaksana hukum Allah.
Jadi, aksi penjarahan rumah pejabat dan artis yang dibiarkan aparat adalah cermin kegagalan negara dalam melindungi warganya. Polisi kehilangan fungsi, hukum kehilangan wibawa, rakyat kehilangan rasa aman.
Dalam Islam, syurṭah tidak akan membiarkan itu terjadi. Mereka berdiri sebagai penjaga hukum Allah, pelindung rakyat, dan eksekutor keadilan. Karena keamanan bukan sekadar tugas administratif, melainkan kewajiban syar’i yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis