Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Rakyat Menggugat: Inikah Puncak Ketidakpuasan Rakyat atas Kinerja Penyelenggara Negara?

Rabu, 03 September 2025 | 11:25 WIB Last Updated 2025-09-03T04:25:33Z

Tintasiyasi.id -- "Bila cinta sudah dibuang. Jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan. Bagi mereka yang diperkuda jabatan. Ternyata kita harus ke jalan. Robohkan setan yang berdiri mengangkang." 

Berawal dari joget-joget anggota DPR di ruang sidang dan tunjangan rumah DPR naik jadi Rp 50 juta per bulan, bikin rakyat gemas. Wacana bubarkan DPR menggema. Mahasiswa dan rakyat turun ke jalan menggugat "wakilnya" yang tak becus mengemban amanah tapi bergaji fantastis. Klimaksnya, seorang pengendara ojek online dilindas mobil Brimob di tengah aksi di Jalan Penjernihan, Pejompongan, Kamis (28/8/2025). 

Amuk massa pun tak terelakkan. Demo lanjutan di berbagai kota pada Jumat (29/8/2025) hingga Ahad (31/8/2025) berujung kisruh. Di Yogyakarta, massa membakar gedung Mapolda DIY, sejumlah mobil dan motor. Di Makasar, gedung DPRD Kota Makasar dan DPRD Sulsel dibakar serta tiga orang tewas. Di Solo, gedung DPRD pun hangus dibakar. Di Surabaya, banyak pos polisi dirusak. Di Bandung, pos polisi hangus, Gedung Sate rusak, dan restoran terbakar. Di Jakarta, belasan halte Transjakarta dibakar dan rusak. Tragedi yang sama juga terjadi di beberapa kota lainnya.

Sungguh miris! Aksi demo berubah anarki. Menjadi luapan amarah. Akumulasi dari ketidakpuasan atas hak-hak yang tak dipenuhi. Kesal melihat wakil rakyat dan pejabat tak punya empati dan sense of crisis. Sementara rakyat berkubang dalam derita ekonomi; lapangan kerja sempit, harga kebutuhan pokok masih tinggi, aneka pajak rasa palak dan seabrek masalah lain. Menyaksikan kesenjangan nyata antara rakyat dan pejabat, bagaimana rakyat tak marah? Namun demikian, banyak pihak menduga ada provokator di balik tindak anarkisme demi membuat situasi lebih tak terkendali. 

Penyebab Rakyat Menggugat dalam Bentuk Unjuk Rasa yang Berujung Anarki

Unjuk rasa rakyat yang berujung anarki, seperti yang terjadi dalam rentetan peristiwa akhir Agustus 2025, merupakan akumulasi dari berbagai faktor struktural, politik, sosial, dan psikologis. Berikut beberapa faktor utama penyebab gelombang rakyat menggugat yang meluas dan berujung anarki:

Pertama, ketimpangan sosial dan ekonomi yang mencolok. 

Naiknya tunjangan DPR hingga Rp 50 juta/bulan menjadi simbol nyata ketimpangan. Saat rakyat bergulat dengan harga kebutuhan pokok, lapangan kerja terbatas, dan beban hidup tinggi, elite politik justru menampilkan kemewahan yang mencolok. Ketimpangan ini menciptakan kecemburuan sosial dan memperbesar jurang antara wakil rakyat dan rakyat itu sendiri.

Kedua, representasi politik yang gagal. 

Aksi joget-joget di ruang sidang menjadi simbol dangkalnya sensitivitas dan etika para wakil rakyat di tengah penderitaan publik. Banyak warga merasa bahwa DPR tidak lagi mewakili aspirasi rakyat, melainkan hanya mengurusi kepentingan sendiri. Rasa frustasi ini mendorong munculnya wacana pembubaran DPR, sebagai bentuk ultimatum moral dari rakyat.

Ketiga, kekerasan aparat yang melewati batas. 

Insiden pengendara ojek online yang dilindas mobil Brimob menjadi titik pemicu besar (trigger event). Kekerasan negara yang terekam secara visual dan viral di media sosial memicu gelombang kemarahan kolektif. Tragedi ini menambah luka kolektif masyarakat terhadap aparat yang dianggap tidak melindungi, tetapi justru menindas rakyat.

Keempat, akumulasi ketidakpuasan lama. 

Unjuk rasa ini bukan hanya reaksi atas kejadian satu-dua hari. Ini adalah letupan dari ketidakpuasan yang sudah lama dipendam termasuk: UU kontroversial yang disahkan tanpa partisipasi publik, orupsi yang tak kunjung diberantas, serta etidakadilan hukum.

Kelima, media sosial sebagai pendorong mobilisasi. 

Penyebaran video kekerasan, pernyataan pejabat yang memantik emosi, dan seruan aksi di media sosial mempercepat mobilisasi massa. Sentimen kolektif semakin menguat karena masyarakat merasa saling terhubung dalam satu kemarahan yang sama.

Keenam, tidak adanya respons negara yang empatik. 

Minimnya tanggapan atau permintaan maaf resmi dari DPR dan aparat membuat rakyat merasa diabaikan. Negara dianggap lebih sibuk mempertahankan citra dan kekuasaan daripada merespons jeritan rakyat.

Ketujuh, situasi ekonomi nasional yang tidak stabil. 

Jika sebelumnya sudah ada inflasi tinggi, pengangguran, atau PHK massal, maka kondisi ini menjadi bahan bakar yang mempercepat penyulutan amarah publik. Masyarakat yang sudah putus asa mudah terpicu melakukan aksi nekat, termasuk tindakan anarki.

Kedelapan, kurangnya saluran aspirasi yang efektif. 

Ketika jalur aspirasi formal seperti DPR, ormas, atau LSM tidak efektif, maka rakyat memilih jalan unjuk rasa sebagai satu-satunya bentuk ekspresi. Dan jika unjuk rasa damai terus ditekan atau tidak direspons, kekerasan menjadi jalan pintas terakhir.

Demikianlah, rakyat menggugat bukanlah semata-mata soal tunjangan atau satu kejadian tragis, tetapi merupakan hasil dari akumulasi rasa frustasi, ketidakpercayaan, dan luka sosial yang dibiarkan terlalu lama.  Ketika negara gagal merespons secara adil dan empatik, rakyat bisa mengambil alih narasi dan aksi—meski kadang dalam bentuk yang destruktif.

Penting untuk dipahami bahwa penyelenggaraan negara berbasis sistem demokrasi sekuler memang rentan penyelewengan. Jargon kedaulatan rakyat nyatanya slogan belaka bahkan utopia. Yang ada adalah dari rakyat, oleh pejabat, untuk konglomerat. Pengkhianatan terhadap umat dan derita rakyat akan terus terjadi dalam sistem yang menolak agama (Islam) untuk mengatur urusan pemerintahan. Dan semata-mata mengandalkan aturan manusia yang seringkali bersumber dari hawa nafsunya.

Dampak Gerakan Rakyat Menggugat terhadap Legitimasi Pemerintahan Negara

Gerakan rakyat menggugat yang terwujud dalam aksi demo pada akhir Agustus 2025 di berbagai kota adalah bentuk perlawanan publik terhadap institusi negara yang dianggap tidak lagi merepresentasikan kepentingan rakyat. Aksi semacam ini, terutama ketika meluas secara nasional dan berujung pada kekerasan serta kerusakan infrastruktur publik, bisa menimbulkan dampak serius terhadap legitimasi pemerintahan. Berikut beberapa dampak utamanya:

Pertama, turunnya legitimasi politik. 

a. Ketidakpercayaan terhadap DPR dan elite politik. Hal ini muncul ketika rakyat menilai wakilnya tidak memperjuangkan aspirasi mereka dan justru hidup mewah di tengah kesulitan rakyat. 

b. Efek domino pada lembaga eksekutif. Pemerintah (presiden dan kabinet) bisa ikut terkena imbas karena dianggap tidak mampu mengontrol atau mengevaluasi kinerja legislatif.

c. Krisis legitimasi konstitusional. Jika krisis berlanjut, rakyat bisa mulai mempertanyakan keabsahan sistem politik yang ada (misalnya sistem perwakilan) dan mendesak perubahan mendasar (sistemis). 

Kedua, ketidakstabilan sosial dan politik. 

a. Peningkatan polarisasi. Aksi massa yang meluas menciptakan polarisasi tajam antara pendukung dan penentang pemerintah. Ini memperparah perpecahan sosial.

b. Radikalisasi gerakan. Jika pemerintah merespons secara represif (seperti kejadian pengendara ojek online dilindas Brimob), sebagian kelompok bisa terdorong pada tindakan ekstrem.

c. Lumpuhnya fungsi negara. Lembaga-lembaga pemerintahan lokal yang dibakar/dirusak (DPRD, Mapolda, pos polisi) menandakan kehilangan kontrol dan runtuhnya otoritas negara di level daerah.

Ketiga, tekanan terhadap reformasi atau bahkan revolusi (perubahan sistemis). 

a. Tuntutan reformasi legislatif. Rakyat akan menuntut perombakan sistem rekrutmen dan pengawasan terhadap anggota DPR.

b. Dorongan amandemen atau transisi kekuasaan. Jika krisis berlangsung lama dan legitimasi pemerintah runtuh total, bisa muncul desakan transisi pemerintahan, baik melalui pemilu dini, pembentukan kabinet darurat, atau bahkan reformasi konstitusional.

c. Kemungkinan intervensi militer atau otoritarianisme baru. Dalam situasi kekacauan parah, ada risiko militer turun tangan dengan dalih menjaga ketertiban. Lebih jauh, pemerintah akan menetapkan status darurat militer. 

Keempat, dampak ekonomi dan internasional. 

a. Pelarian investor dan penurunan ekonomi.  Instabilitas sosial-politik membuat investor kehilangan kepercayaan. Ekonomi nasional bisa terjun bebas.

b. Citra buruk di mata internasional. Kerusuhan besar bisa menurunkan citra Indonesia di mata dunia sebagai negara tidak stabil.

c. Tekanan dari komunitas internasional. Negara atau lembaga internasional bisa menekan pemerintah untuk bertindak sesuai HAM dan prinsip demokrasi.

Oleh karena itu, gerakan rakyat menggugat bukan hanya soal protes jalanan, tapi sinyal serius tentang krisis legitimasi negara. Jika tidak segera direspons dengan bijak dan terbuka oleh pemerintah—melalui reformasi nyata, transparansi, dan dialog—maka bisa berkembang menjadi krisis politik nasional yang lebih dalam. Dan sekali lagi, rakyat kembali jadi korban.

Strategi Menjinakkan Gugatan Rakyat yang Anarki sehingga Kepercayaan terhadap Pemerintahan Negara Pulih Kembali

Sistem demokrasi sekuler kapitalistik yang menjauhkan agama dari pengaturan urusan rakyat bisa dikatakan gagal membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Sementara Islam dengan sistem dan aturan yang bersumber dari wahyu Ilahi lebih memungkinkan membawa manusia kembali pada fitrah hingga meraih kebahagiaan hakiki. 

Dalam konteks Islam, ketika terjadi gugatan rakyat yang sudah berubah menjadi anarki seperti saat ini, maka pendekatan tidak berbasis represi, tapi juga solutif dan moral. Islam menawarkan strategi yang bersifat menyeluruh: spiritual, sosial, dan politis.

Berikut adalah strategi Islam dalam menjinakkan gugatan rakyat yang anarki dan membangun kembali kepercayaan terhadap pemerintahan: 

Pertama, taubat nasional dan muhasabah kepemimpinan. 

Pemimpin dan pejabat publik harus melakukan muhasabah (introspeksi) dan bertaubat secara terbuka atas segala bentuk kesalahan, ketidakadilan, dan kemewahan yang ditampilkan di tengah penderitaan rakyat. Praktik ini bukan sekadar simbolik,u melainkan harus dibarengi dengan perubahan kebijakan nyata yang menunjukkan keberpihakan pada rakyat.

Kedua, keadilan sebagai pondasi utama (al-‘adl). 

Pemerintah harus menegakkan keadilan substantif, bukan hanya prosedural. Aksi kekerasan dari aparat seperti kejadian ojek online yang dilindas Brimob harus diselidiki secara terbuka, pelakunya dihukum secara adil dan transparan. Tunjangan atau hak istimewa wakil rakyat harus dievaluasi secara adil, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi rakyat.

Ketiga, amar makruf nahi mungkar secara Institusional. 

Pemerintah tidak boleh antikritik. Kritik rakyat bukan musuh, tetapi alat koreksi. Islam menganjurkan adanya forum syura (musyawarah) antara rakyat dan penguasa, di mana suara rakyat bisa didengar dengan serius.

Keempat, transparansi dan amanah publik (al-amanah). 

Pejabat publik adalah pemegang amanah, bukan pemilik kekuasaan. Semua anggaran, proyek, dan kebijakan harus terbuka untuk diawasi oleh publik dan bebas dari korupsi. Wakil rakyat yang tidak amanah harus diberhentikan atau diganti secara sah.

Kelima, mediasi ulama dan tokoh moral. 

Dalam suasana kacau, ulama dan tokoh moral bisa memainkan peran sebagai penengah antara rakyat dan pemerintah. Mereka tidak memihak, tetapi membawa pesan damai, etika, dan keadilan.

Keenam, restorasi sosial dan keadilan restoratif. 

Rakyat yang menjadi korban harus mendapatkan kompensasi, baik secara finansial maupun keadilan hukum. Bangunan atau fasilitas publik yang rusak bisa diperbaiki bersama, melibatkan rakyat secara aktif untuk membangun kembali komunitas.

Ketujuh, pendidikan politik Islam. 

Aksi rakyat yang anarki adalah cermin hilangnya pendidikan politik yang bermoral. Masyarakat perlu dididik bahwa perubahan bisa dicapai melalui cara-cara yang beradab dan berbasis nilai-nilai Islam. Pemerintah dan lembaga keagamaan bisa menginisiasi program literasi sosial dan politik Islami.

Kedelapan, turunkan ketegangan dengan adil, bukan represif. 

Kekerasan hanya akan menambah kebencian. Gunakan pendekatan persuasif dan dialogis. Bila ada kelompok yang anarki, pisahkan mereka dari massa damai, dan perlakukan dengan proporsional.

Demikianlah, Islam tidak menghendaki tindakan anarki dalam rakyat menggugat, tetapi juga tidak membiarkan kezaliman penguasa terus terjadi. Solusi dari gugatan rakyat yang anarki adalah: perbaiki moral penguasa, tegakkan keadilan, libatkan rakyat dalam keputusan, dan pulihkan luka dengan kasih dan kejujuran. 

Ketika penguasa amanah, transparan, adil, dan rendah hati, maka rakyat pun akan luluh dan perlahan kepercayaan akan tumbuh kembali. Meski demikian, penguasa yang baik itu lahir dari sistem (aturan) yang baik pula. Dan sebaik-baik sistem hidup (pemerintahan) adalah yang berasal dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Tidakkah kita ingin kembali pada fitrah pengaturan-Nya? []

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati

Opini

×
Berita Terbaru Update