Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Korupsi Tidak Bisa Dihilangkan Sepenuhnya karena...

Selasa, 02 September 2025 | 08:20 WIB Last Updated 2025-09-02T01:20:56Z

TintaSiyasi.id -- Merespons makin maraknya korupsi di negeri ini seperti yang terbaru dilakukan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, Ketua Lembaga Bantuan Hukum LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H., mengatakan korupsi tidak bisa dihilangkan sepenuhnya karena disebabkan oleh kombinasi faktor.

"Penulis berpendapat bahwa Korupsi tidak bisa dihilangkan sepenuhnya karena disebabkan oleh kombinasi faktor manusia (keserakahan, gaya hidup konsumtif, kurangnya moralitas), faktor sistemis (sistem yang rusak, sistem money politics), dan faktor budaya (sejarah panjang korupsi, patronase, dan kebiasaan masyarakat yang toleran terhadap korupsi)," tulisnya di akun Facebook Chandra Purna Irawan, Jumat (29/8/2025).

Chandra menjelaskan, faktor-faktor ini saling terkait, menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus hanya dengan penegakan hukum atau mekanisme pengawasan saja.

Untuk menjadi pejabat saja kata Chandra terkadang harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Kontestasi demokrasi berbiaya tinggi, menyebabkan politikus dan pejabat publik melakukan korupsi untuk mengembalikan modal kampanye dan "investasi" politik mereka kepada para sponsor. 

"Korupsi juga memperkuat budaya politik uang, di mana masyarakat dan kandidat menjadi pragmatis dengan memberikan atau menerima imbalan materi saat pemilu, sehingga menguntungkan elite kaya," ungkapnya.

Ia memaparkan alasan kontestasi demokrasi berbiaya tinggi dapat memicu korupsi. Pertama, modal politik yang besar. Biaya kampanye yang sangat besar untuk menjadi kepala daerah atau pejabat publik membuat kandidat harus mencari dukungan dari para "sponsor" atau "bohir". Beragamnya modus politik uang dalam pemilu (seperti pemberian sembako, pemberian kupon belanja, token listrik) dan budaya permisif masyarakat terhadap politik uang.

Kedua, pengembalian modal. Setelah terpilih, pejabat tersebut merasa berkewajiban untuk mengembalikan "modal" yang telah mereka keluarkan dengan cara memanfaatkan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Ketiga, investasi untuk korupsi. Siklus ini menciptakan "investive corruption" atau investasi untuk korupsi, di mana para sponsor atau pihak lain yang mendanai politik berharap imbalan (timbal balik) berupa keuntungan finansial atau kebijakan tertentu setelah calon mereka terpilih. Korupsi investif adalah jenis korupsi di mana pemberian barang atau jasa dilakukan tanpa hubungan langsung dengan keuntungan yang diterima saat itu juga, melainkan mengharapkan keuntungan atau kemudahan di masa mendatang dari pihak yang diberi. Pemberian tersebut sering disebut sebagai "tanam budi" yang kelak akan menghasilkan balasan berupa fasilitas atau kelancaran urusan di kemudian hari.

"Selain itu, korupsi juga dapat melahirkan plutokrasi, di mana kekuasaan dikendalikan oleh kelompok elite kaya, bukan oleh rakyat. Plutokrasi adalah sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang kaya, di mana kekuasaan dan pengaruh politik berada di tangan segelintir elit kaya, bukan masyarakat luas," terangnya.

Istilah plutokrasi (plutocracy) bermula dari kata bahasa Yunani, plutos atau kekayaan dan kratos atau kekuasaan. Sedangkan secara konsep menurut Xenophon dalam Memorabilia, istilah itu digunakan untuk menggambarkan bahwa kekuasaan hanya dikendalikan orang-orang yang memiliki kekayaan.

"Jadi, plutokrasi merupakan prima fatie dari oligarki. Fenomena semacam ini pada abad ke- 6 dan abad ke-7 Sebeluim Masehi, pernah menjadi topik percakapan oleh para kalangan filsuf Yunani klasik seperti Socrates, Thrasymachus, dan Glaucon," ujarnya.

Kemudian, watak jahat kenegaraan plutokrasi kerap ditandai dengan adanya operasi pembungkaman publik melalui skema hukum yang seolah-olah prosedural. Kekuasaan yang dikendalikan oleh elit kaya dikenal sebagai oligarki, sebuah bentuk pemerintahan atau struktur kekuasaan di mana segelintir individu atau keluarga memiliki kontrol politik yang terpusat, seringkali berdasarkan kekayaan dan pengaruh mereka. 

"Oligarki sering dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang korup karena para elit mengutamakan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan umum," tambahnya. 

"Dalam plutokrasi, pengambilan keputusan politik sering kali dipengaruhi oleh kepentingan dan kekuasaan finansial. Kelompok-kelompok kaya (kapitalis) atau korporasi besar bisa menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar bagi diri mereka sendiri," pungkasnya.[] Alfia Purwanti

Opini

×
Berita Terbaru Update