TintaSiyasi.id -- Kasus keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menyeruak di sejumlah daerah. Ratusan siswa menjadi korban setelah mengonsumsi makanan yang semestinya menyehatkan. Di Kabupaten Lebong, Bengkulu, tercatat sebanyak 427 anak dilarikan ke rumah sakit. Kompas (30/8/2025) melaporkan bahwa Gubernur Bengkulu mengambil langkah tegas dengan menghentikan sementara program MBG di wilayah tersebut. Kasus serupa juga terjadi di Lampung Timur, di mana “puluhan santri mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan MBG” (Kompas, 29/8/2025). Tak hanya itu, di Sleman, 135 siswa SMPN 3 Berbah mengalami muntah dan pusing setelah makan siang MBG, sebagaimana diwartakan Tirto (28/8/2025).
Peristiwa ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, ratusan siswa di Sragen mengalami hal serupa. CNN Indonesia (13/8/2025) menuliskan, “hasil laboratorium menunjukkan masalah utama terletak pada sanitasi dan kebersihan lingkungan.” Kepala Badan Gizi Nasional bahkan menyatakan keprihatinannya dan menginstruksikan penghentian sementara operasi satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG) sambil menunggu evaluasi menyeluruh.
Melihat fakta-fakta tersebut, publik layak bertanya: mengapa insiden yang sama terus berulang? Bukankah program MBG sejak awal digagas sebagai solusi untuk malnutrisi dan stunting, juga sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia? Faktanya, kasus keracunan justru menimbulkan risiko besar terhadap keselamatan anak-anak sekolah, bahkan nyawa mereka.
Ketidakseriusan negara tampak jelas dalam lemahnya standar operasional serta minimnya pengawasan distribusi MBG. Jeda waktu antara proses memasak dan konsumsi yang mencapai lebih dari lima jam, sebagaimana dilaporkan Harian Jogja (28/8/2025), menjadi bukti kelalaian mendasar dalam manajemen program. Alhasil, program yang diklaim populis ini berakhir dengan penderitaan massal bagi peserta didik dan keluarganya.
Lebih jauh, MBG sejatinya bukanlah solusi struktural untuk menyelesaikan masalah gizi, terlebih stunting. Stunting merupakan problem kompleks yang terkait dengan kemiskinan, keterbatasan akses pangan bergizi, serta rendahnya kualitas layanan kesehatan. Memberikan makanan gratis sesekali, tanpa menjamin ketersediaan gizi yang layak setiap hari, hanyalah tambal sulam.
Dalam perspektif Islam, negara memiliki tanggung jawab sebagai raain (pengurus urusan rakyat). Rasulullah SAW menegaskan bahwa seorang imam adalah pemelihara rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Dengan demikian, negara wajib menjamin kebutuhan dasar masyarakat—pangan, kesehatan, pendidikan—bukan sekadar melalui program populis yang rentan korupsi dan kelalaian, melainkan lewat mekanisme menyeluruh sesuai syariat.
Sistem Khilafah menempatkan negara sebagai penjamin kesejahteraan rakyat dengan sumber pembiayaan yang kokoh: dari pengelolaan harta milik umum seperti tambang, energi, dan sumber daya alam, serta pos-pos pemasukan syar’i lainnya. Dengan fondasi ekonomi Islam yang berkeadilan, negara mampu memastikan ketersediaan gizi bagi seluruh rakyatnya, baik melalui distribusi langsung maupun pengelolaan harga pangan agar tetap terjangkau.
Selain pemenuhan kebutuhan, edukasi mengenai gizi yang benar juga dijalankan secara massif. Hal ini penting agar masyarakat memahami pola makan sehat, sanitasi, dan peran keluarga dalam pencegahan stunting. Dengan kombinasi antara jaminan kesejahteraan dan edukasi berkelanjutan, kasus gizi buruk maupun keracunan massal dapat dicegah secara sistematis.
Berulangnya keracunan MBG menunjukkan rapuhnya konsep program populis yang lebih mementingkan citra politik ketimbang keselamatan rakyat. Padahal, keselamatan nyawa manusia seharusnya menjadi prioritas mutlak. Inilah saatnya umat butuh perubahan fundamental: negara yang benar-benar mengurus rakyat dengan syariat Allah SWT. Hanya dengan khilafah, rakyat akan terbebas dari program instan yang membahayakan, dan berganti dengan jaminan kesejahteraan yang berkelanjutan serta aman bagi seluruh generasi. []
Oleh: Prayudisti S.P.
(Aktivis Muslimah)