TintaSiyasi.id -- Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra, mengatakan, kepemimpinan dalam Islam bukan hanya urusan pitik tetapi bagian dari ibadah.
"Kepemimpinan dalam Islam bukan hanya urusan politik, tetapi juga merupakan bagian dari ibadah dan tanggung jawab besar di hadapan Allah," ujarnya di kutip TintaSiyasi.id, Senin (1/9/2025).
Ia menjelaskan, Islam menempatkan kepemimpinan sebagai amanah yang harus dijalankan dengan penuh keadilan, kasih sayang, dan keteladanan. Salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam adalah cinta antara pemimpin dan rakyatnya. Pemimpin yang terbaik adalah mereka yang dicintai oleh rakyat, bukan karena pencitraan atau kekuasaan, tetapi karena keadilan, keteladanan, dan kasih sayang yang mereka tunjukkan.
"Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam hal memimpin. Dalam banyak riwayat, diceritakan bahwa para sahabat mencintai beliau dengan kecintaan yang luar biasa. Mereka rela berkorban jiwa dan raga demi beliau. Hal ini bukan tanpa sebab. Rasulullah ﷺ tidak hanya menjadi pemimpin formal, tetapi juga menjadi pelindung, pendidik, dan sahabat bagi umatnya," ungkapnya.
Ia mengutip hadis, "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian." (HR. Muslim, no. 1855)
"Hadis ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa cinta antara rakyat dan pemimpin adalah indikator kualitas kepemimpinan. Pemimpin yang baik bukan hanya efektif secara administratif, tetapi juga menyentuh hati rakyatnya, menghadirkan rasa aman, keadilan, dan perhatian yang tulus," terangnya.
Rasulullah sebagai pemimpin yang peduli, penuh kasih sayang, dan sangat memperhatikan kondisi umatnya. Namun, beliau juga sangat tegas ketika berhadapan dengan kezaliman dan pelanggaran prinsip.
"Contoh keteladanan beliau sebagai pemimpin terlihat jelas dalam Piagam Madinah, yang mengatur hubungan antarumat beragama dan menjadikan beliau sebagai pemimpin negara yang adil dan inklusif," terangnya.
Pada masa kepemimpinan Rasulullah ﷺ membangun sistem pemerintahan berdasarkan syura (musyawarah), hukum (syariah), dan keadilan sosial. Kepemimpinan beliau juga sangat partisipatif; beliau mendengarkan pendapat sahabat-sahabatnya dan menghargai masukan dari siapa pun.
"Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, para sahabat melanjutkan kepemimpinan dengan sistem khilafah, dan Umar bin Khathab ra. menjadi khalifah kedua setelah Abu Bakar ash-Shiddiq. Umar dikenal sebagai pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan keadilan, tetapi juga sangat peduli terhadap rakyat kecil," paparnya.
Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran di lisan dan hati Umar." (HR. Tirmidzi, no. 3682).
Selanjutnya, ia menjelaskan, keadilan adalah pilar utama dalam kepemimpinan Islam. Dalam sebuah hadis disebutkan: "Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah berada di atas mimbar dari cahaya, yaitu orang-orang yang adil dalam hukum mereka, terhadap keluarga mereka, dan apa yang mereka pimpin." (HR. Muslim, no. 1827).
"Pemimpin yang adil tidak memihak, tidak korup, dan tidak menyalahgunakan kekuasaan. Mereka mengayomi semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Keadilan ini membuahkan kepercayaan, dan dari kepercayaan itu tumbuhlah cinta rakyat terhadap pemimpinnya," ungkapnya.
Ia mencontohkan, Khalifah Umar bin Khattab, beliau dikenal sangat tegas dan adil, namun rakyat sangat mencintainya. Bahkan, ketika beliau wafat, umat Islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa keadilan dan ketegasan tidak menghalangi kecintaan rakyat, selama disertai ketulusan dan kepedulian.
"Ketika pemimpin dicintai rakyatnya, stabilitas sosial lebih mudah terwujud. Rakyat lebih patuh, partisipatif, dan bersatu. Tidak ada rasa curiga atau perlawanan terhadap pemerintah, karena rakyat merasa bahwa mereka dipimpin oleh seseorang yang memikirkan dan memperjuangkan kepentingan mereka," urainya.
Sebaliknya, ketika pemimpin dibenci rakyatnya, bahkan kebijakan yang baik pun akan ditolak. Kepercayaan yang rusak sulit untuk diperbaiki, dan bisa menjadi sumber konflik sosial yang berkepanjangan.
Selanjutnya, dalam kepemimpinan Umar dikenal dengan berbagai reformasi besar dalam pemerintahan Islam. Ia membentuk sistem administrasi pemerintahan, memperluas wilayah Islam dengan tetap menjaga prinsip keadilan terhadap non-Muslim, dan menjamin hak-hak sosial masyarakat.
"Salah satu kisah terkenal adalah ketika Umar melakukan investigasi malam hari untuk memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan. Ia pernah memikul sendiri karung gandum untuk seorang ibu yang kelaparan bersama anak-anaknya, tanpa menyuruh pengawal atau pembantunya," ungkapnya.
Kemudian, Umar juga mencetuskan sistem diwan (pencatatan administrasi), pembagian wilayah administratif, serta menetapkan gaji untuk pasukan dan pegawai negara. Ia sangat disiplin dalam pengawasan terhadap para gubernur dan pejabat daerah. Tidak ada toleransi bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam Islam, pemimpin disebut sebagai khalifah, yang berarti wakil atau pengganti Allah dalam mengelola bumi. Fungsi ini sangat mulia, tetapi juga sangat berat. Rasulullah ﷺ bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Selanjutnya, baik Rasulullah ﷺ maupun Umar bin Khathab menjalankan kepemimpinan sebagai bentuk pengabdian, bukan sebagai sarana untuk mencari kehormatan duniawi. Mereka mendahulukan maslahat umat, menolak hidup mewah, dan menjadikan keadilan sebagai fondasi dalam pengambilan kebijakan.
Ia menjelaskan bahwa sistem kepemimpinan Islam yang dicontohkan oleh keduanya berbasis pada nilai-nilai utama: pertama, tauhid (ketundukan hanya kepada Allah), kedua, syura (musyawarah), ketiga, adil (menempatkan sesuatu pada tempatnya), keempat, amanah (tanggung jawab dan kejujuran), kelima, ihsan (berbuat baik secara maksimal).
Kemudian, keteladanan Rasulullah ﷺ dan Umar bin Khathab ra. tetap relevan untuk dijadikan acuan dalam membangun kepemimpinan di era modern.
"Dunia saat ini menghadapi berbagai krisis kepemimpinan, mulai dari korupsi, ketidakadilan, hingga penyalahgunaan kekuasaan. Nilai-nilai Islam menawarkan solusi yang berakar pada moralitas, tanggung jawab sosial, dan keberpihakan kepada yang lemah," ungkapnya.
Oleh karenanya, masyarakat butuh lebih banyak pemimpin yang menjadikan kepemimpinan sebagai amanah, bukan ambisi pribadi. Pemimpin yang melayani, bukan dilayani. Pemimpin yang jujur, adil, dan berani mengambil keputusan demi kemaslahatan umat, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan Umar bin Khathab ra.
"Namun yang patut dipahami bahwa lahirnya kepemimpinan yang mulai dalam sejarah, karena dilahirkan dari sistem Islam yang disebut khilafah. Bukan lahir dari sistem jahiliah. Saat ini negeri ini menerapkan sistem demokrasi sekuler dengan sistem ekonomi kapitalisme, maka mustahil akan melahirkan pemimpin islami, sebab sistemnya saja sudah salah. Dari sumber mata air yang kotor akan keluar air yang kotor pula," paparnya.
Ia mengatakan, Rasulullah ﷺ dan Umar bin Khathab bukan hanya tokoh sejarah, tetapi representasi ideal dari kepemimpinan Islam dalam sistem negara Islam.
"Mereka menunjukkan bahwa kepemimpinan yang berhasil adalah yang bersandar pada akhlak, keadilan, dan keberpihakan kepada rakyat. Dalam konteks sistem Islam, keduanya adalah cermin pemimpin teladan yang patut diteladani oleh siapa pun yang memikul amanah kepemimpinan. Apakah Indonesia yang mayoritas muslim masih mendambakan tegaknya sistem Islam dan merindu lahirnya pemimpin terbaik," pungkasnya. [] Alfia Purwanti