TintaSiyasi.id -- Dalam beberapa pekan terakhir, berbagai wilayah di Indonesia ramai dengan gelombang aksi demonstrasi. Isu yang diangkat beragam, mulai dari kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat hingga keresahan akibat tekanan ekonomi yang kian berat. Unjuk rasa ini tidak hanya dihadiri kalangan mahasiswa dan pekerja, tetapi juga generasi muda, khususnya Gen Z, yang menunjukkan pola gerakan khas mereka.
Meski demikian, kekhawatiran juga bermunculan terkait meningkatnya keterlibatan anak di bawah umur dalam aksi massa. Psikolog Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi., menekankan bahwa meski demonstrasi dapat menjadi ajang pembelajaran, remaja masih sangat rawan terbawa arus provokasi karena kontrol diri mereka belum stabil. “Kemampuan mengendalikan diri pada remaja belum matang, sehingga risiko terpengaruh ajakan negatif sangat tinggi,” ujarnya kepada Inforemaja (3/9/2025).
Situasi tersebut terlihat jelas pada kasus di Semarang. Sebanyak 327 pelajar diamankan polisi setelah terjadi kericuhan dan perusakan fasilitas di Mapolda Jawa Tengah. Mereka akhirnya dipulangkan, namun diwajibkan lapor secara berkala dan menandatangani surat pernyataan tidak mengulangi perbuatan serupa (Republika, 2/9/2025).
Fenomena ini menggambarkan dua sisi wajah Gen Z dalam ruang sosial. Di satu pihak, mereka tampil kreatif dengan corak baru dalam menyuarakan aspirasi, terutama melalui media digital. Namun, di pihak lain, keterlibatan remaja yang belum matang secara emosional bisa membuka celah mereka terseret dalam konflik tanpa pemahaman menyeluruh terhadap isu yang diperjuangkan.
Jika ditelaah lebih dalam, cara pandang yang berkembang terhadap Gen Z tidak sepenuhnya netral. Kerap kali klasifikasi psikologis tentang karakter generasi ini sejalan dengan kerangka berfikir kapitalisme. Penekanan bahwa Gen Z adalah generasi “ekspresif, kreatif, dan damai” secara halus membuat mereka tetap berada pada jalur aman. Energi anak muda diarahkan ke pencarian identitas, hiburan, dan tren konsumsi, sementara kesadaran politiknya justru terkikis. Dengan demikian, sistem kapitalis diuntungkan karena potensi gejolak sosial yang lebih besar dapat ditekan.
Padahal, dari sudut pandang fitrah manusia, hal ini bertolak belakang. Sejak awal penciptaan, manusia memiliki naluri baqa—naluri mempertahankan diri dan menolak penindasan. Dorongan inilah yang membuat manusia menolak kezaliman, menuntut keadilan, dan mencari jalan perubahan. Demonstrasi, baik di jalanan maupun di ruang digital, merupakan wujud dari naluri tersebut. Ia tidak sekadar ekspresi, melainkan bagian dari dorongan alami manusia saat berhadapan dengan sistem yang menindas.
Islam memberikan arah yang jelas bagi naluri ini. Manusia diciptakan dengan fitrah berupa ghorizah (naluri) yang harus dipenuhi sesuai tuntunan wahyu, bukan sekadar lewat teori psikologi modern. Dorongan untuk melawan kezaliman hanya akan menemukan jalannya jika dipandu syariat.
Karena itu, Islam menekankan pentingnya muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar. Rasulullah menegaskan keutamaan orang yang berani menegur penguasa zalim:
“Pemimpin para syuhadā’ adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan (juga) seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintahkannya kepada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran, kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR. al-Hakim)
Sejarah mencatat, pemuda selalu menjadi garda terdepan dalam perubahan. Sejak awal dakwah Islam, sahabat-sahabat muda seperti Ali bin Abi Thalib, Mus’ab bin Umair, dan Usamah bin Zaid tampil sebagai pelopor perjuangan. Mereka tidak sekadar menyuarakan perlawanan simbolis, tetapi melakukan perubahan mendasar (taghyir) dengan menjadikan syariat sebagai pedoman hidup.
Maka, jika kapitalisme hari ini berupaya membatasi energi Gen Z agar tetap berada di jalur aman, Islam justru mengarahkan potensi pemuda untuk menjadi motor perubahan sejati. Pemuda tidak ditempatkan hanya sebagai pelengkap dalam aksi massa atau sekadar pengisi ruang kreatif, melainkan sebagai kekuatan nyata yang menegakkan kebenaran, melawan kezaliman, dan menuntun masyarakat menuju sistem yang adil berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Allahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Nabilah Rohadatul Aisy, S.Ag.
Aktivis Muslimah