Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Dejavu Tragedi Mei 1998

Sabtu, 06 September 2025 | 07:04 WIB Last Updated 2025-09-06T00:04:12Z

TintaSiyasi.id -- Hura-hara yang terjadi di Indonesia antara penguasa, elit politik, militer, dan warga sipil puncaknya terjadi pada bulan Agustus 2025 dan suhu politik semakin memanas. Berbagai aksi unjuk rasa terjadi di sejumlah wilayah di tanah air. Ketegangan dalam unjuk rasa semakin meningkat pada hari Jumat (29/8/2025).

Demo yang dimulai dengan tuntutan dari para pekerja ini kemudian meluas setelah seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, meninggal dunia akibat tertabrak kendaraan taktis Brimob pada tanggal 28 Agustus 2025. Insiden tersebut menunjukkan momen ketika korban jatuh, sementara kendaraan Baracuda terus bergerak maju tanpa berhenti (cbncindonesia.com, 30/08/2025).

Tuntutan demo saat ini adalah: menolak realisasi tunjangan tambahan anggota DPR, mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset, revisi UU Pemilu, Transparansi gaji anggota DPR, batalkan kebijakan tunjangan rumah anggota DPR, menuntut reformasi institusi Polri yang menyimpang dari tugas pokok dan wewenang, tolak upah murah dan hapus outsourcing, naikkan Upah Minimum, Menaikkan Pendapatan Tak Kena Pajak (PTPK), hapus pajak atas THR dan pesangon, pembatasan karyawan kontrak, Stop PHK, pembatasan tenaga kerja asing (cbncindonesia.com, 30/08/2025).

Hal ini menimbulkan respon yang kuat dari publik yang memicu demonstrasi di berbagai lokasi. Penjarahan di kediaman beberapa pejabat negara berlangsung secara berturut-turut antara 30 dan 31 Agustus pagi. 

Di saat yang sama, pertempuran antara anggota masyarakat dan penegak hukum terus berlangsung, termasuk insiden yang menyebabkan kematian, setidaknya enam jiwa telah melayang akibat serangkaian demonstrasi di sejumlah kota (Tribunnews.com, 01/09/2025). 

Dengan semua rentetan kejadian saat ini, kita seperti dejavu peristiwa pada Mei 1998 pemerintahan Orde Baru. Berbagai insiden seperti aksi perampokan dan kerusuhan, peristiwa Trisakti, invasi gedung DPR/MPR, serta pengunduran diri Presiden Soeharto, pemimpin kedua Republik Indonesia, merupakan bagian dari catatan sejarah yang menandai akhir periode Orde Baru. 

Dari tanggal 4 hingga 8 Mei 1998, pemerintah mengambil langkah untuk menaikkan harga minyak sebesar 70 persen dan biaya listrik hingga 300 persen. Di sisi lain, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin merajalela. Kejadian ini menyebabkan kemarahan di kalangan rakyat Indonesia, yang kemudian mulai menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak dan mendesak pemerintah agar melakukan perubahan.

Peristiwa ini memberikan dampak berat dalam sejarah. Walaupun sudah lebih dari dua dekade berlalu, berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti orang hilang, pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan masih belum mendapatkan penyelesaian yang jelas.

Krisis ekonomi, kerumitan politik, dan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah telah memicu serangkaian demonstrasi dan aksi protes di berbagai daerah di Indonesia. 

Kekerasan yang dilakukan oleh pihak berwenang saat ini menimbulkan pertanyaan penting, apakah pemerintah ada untuk melindungi warganya atau hanya untuk menjaga kepentingan kelompok tertentu melalui cara yang menindas?

Demonstrasi semestinya menjadi sarana resmi untuk menyuarakan keinginan rakyat, bukan arena untuk bentrokan fisik. Setiap tembakan gas air mata hanyalah suatu pengingat bahwa kekuasaan yang sah harus diperiksa melalui standar moral dan keadilan.

Apabila suara rakyat ditekan, yang tersisa hanyalah amarah yang terpendam dan kemungkinan terjadinya konflik yang lebih besar di masa mendatang.

Tindakan penindasan pihak berwenang justru meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Keamanan seharusnya dimaknai sebagai sebuah bentuk perlindungan, bukan sebagai ancaman. Ketika pihak berwenang berperan sebagai alat penindasan, masyarakat akan semakin sulit untuk mempercayai institusi pemerintah, dan benih-benih perlawanan akan tumbuh subur di jalanan.

Aksi unjuk rasa kali ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi bersikap diam. Mereka telah bersuara dan menuntut keadilan. Dari perspektif DPR dan pemerintah, gelombang protes ini merupakan sinyal yang sangat jelas. Peningkatan gaji dan tunjangan yang signifikan di tengah beban hidup sulit masyarakat mengurangi kepercayaan masyarakat.

Tanggapan yang hanya sebatas pernyataan atau janji tanpa langkah nyata hanya akan memperburuk kesenjangan ketidakadilan. Akhirnya, negara tidak dapat terus menghindar dari fakta ketidakpuasan masyarakat merupakan hasil dari kebijakan yang tidak seimbang, tumpang tindih tidak berpihak pada rakyat dan pihak berwenang yang kurang memiliki rasa peduli. 

Sistem sekuler yang digunakan saat ini, membuat pemimpin semakin abai kepada rakyat tidak menjalankan tugasnya untuk meriayah rakyat dan menyejahterakannya. Hanya dengan sistem Islam, rakyat akan terjaga dari ketidakadilan, kesengsaraan dan membawa kemaslahatan bagi umat.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Maya
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update