TintaSiyasi.id-- Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, manusia sering terjebak dalam kesibukan mengejar status, harta, dan pujian. Padahal, semakin banyak kita mengejar dunia, seringkali semakin resah hati kita dibuat olehnya. Islam mengajarkan kesederhanaan, ketenangan, dan keseimbangan hidup. Allah Ta‘ala menghadirkan alam semesta ini bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk dipelajari. Di balik setiap ciptaan-Nya, tersimpan pelajaran yang dalam tentang kesabaran, keikhlasan, dan kesederhanaan.
Alam Sebagai Guru Kehidupan
Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk memperhatikan dan merenungi alam. Allah berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190).
Ayat ini menegaskan bahwa langit, bumi, matahari, bulan, bintang, pohon, air, hingga angin, semuanya adalah kitab terbuka yang dapat dibaca oleh manusia. Alam menjadi madrasah kehidupan yang penuh hikmah.
Air mengajarkan kita kerendahan hati. Ia selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, memberi kehidupan pada tumbuhan dan makhluk hidup tanpa pernah menuntut balasan.
Pohon mengajarkan kesabaran dan keteguhan. Ia bertahun-tahun berdiri tegak, tetap memberi oksigen, buah, dan keteduhan, meski sering ditebang atau dilukai.
Matahari mengajarkan keikhlasan. Setiap hari ia terbit, menerangi dunia tanpa meminta upah atau pujian.
Gunung mengajarkan keteguhan iman. Ia kokoh berdiri, menjaga keseimbangan bumi (QS. An-Naba’: 6–7).
Kesederhanaan: Jalan Menuju Kebahagiaan
Nabi Muhammad Saw. adalah teladan tertinggi dalam hidup sederhana. Beliau bersabda:
“Bukanlah kekayaan itu banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Kesederhanaan bukan berarti miskin atau tidak memiliki apa-apa, melainkan hidup apa adanya, tidak berlebihan, dan menempatkan dunia hanya di tangan, bukan di hati. Orang yang sederhana akan lebih lapang dada, lebih mudah bersyukur, dan lebih mudah berbagi.
Belajar Menjadi Hamba yang Tunduk
Apabila manusia mau belajar dari alam, ia akan sadar bahwa seluruh ciptaan tunduk pada aturan Allah. Bintang-bintang tidak pernah keluar dari orbitnya, air hujan turun dengan kadar yang tepat, dan bumi berputar dengan keseimbangan yang luar biasa. Semua itu menjadi bukti kebesaran Allah, sebagaimana Firman-Nya:
“Dan segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, dengan sukarela atau terpaksa, tunduk kepada-Nya, dan kepada-Nya-lah mereka akan dikembalikan.” (QS. Ali Imran: 83).
Maka, manusia seharusnya lebih tunduk dan patuh kepada Allah, Sang Pencipta. Namun sering kali manusia justru angkuh, merasa mampu menguasai segalanya, padahal hidupnya sangat bergantung pada oksigen, air, dan makanan yang semuanya disediakan oleh alam dengan izin Allah.
Refleksi untuk Kehidupan Modern
Di era digital yang penuh persaingan ini, kita membutuhkan jeda. Jeda untuk kembali sederhana, jeda untuk menundukkan hati, jeda untuk belajar dari alam. Jangan sampai kita menjadi generasi yang pandai menguasai teknologi, tetapi kehilangan kearifan spiritual.
Bayangkan jika manusia meniru sifat air yang selalu menghidupkan, meniru pohon yang terus memberi atau meniru matahari yang tulus berbagi cahaya. Betapa damainya dunia ini.
Penutup: Jalan Pulang ke Hati yang Tenang
Kesederhanaan bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Alam mengajarkan kita bahwa segala sesuatu yang indah lahir dari keseimbangan, ketundukan, dan keikhlasan. Orang yang sederhana akan lebih mudah mencapai hati yang tenang, sebagaimana janji Allah:
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28).
Maka, mari kita tetap sederhana dan jangan berhenti belajar dari alam, sebab alam adalah cermin yang selalu mengingatkan kita akan kebesaran Sang Pencipta dan kelemahan diri kita sebagai hamba.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Pascasarjana
