TintaSiyasi.id -- Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra mengatakan, pajak kapitalistik bertentangan dengan kepemilikan dalam Islam.
"Pajak kapitalistik bertentangan dengan kepemilikan dalam Islam. Kapitalisme mengenakan pajak terhadap segala bentuk kekayaan dan transaksi, termasuk yang sudah dibersihkan (misalnya zakat sudah dibayar)," ungkapnya dikutip TintaSiyasi.id, Jumat (8/8/2025).
Sementara itu, ia melanjutkan, Islam mengatur tiga bentuk kepemilikan. Pertama, kepemilikan individu yakni harta pribadi yang dilindungi dari pungutan semena-mena. Kedua, kepemilikan umum yakni milik bersama, seperti air, listrik, bahan tambang (tidak boleh diprivatisasi). Ketiga, kepemilikan negara, yakni pengelola amanah, bukan pemilik harta.
Kemudian, ia menekankan, Islam melarang negara mengambil harta dari individu kecuali dengan dalil yang sah dari syariah. Ini menjadikan pemungutan pajak yang bersifat "wajib dan terus-menerus" seperti dalam kapitalisme sebagai tidak syar’i jika tanpa alasan syar’i.
Selanjutnya, ia menjelaskan, pajak dalam kapitalisme memperkuat sistem riba dan monopoli. Pajak sering dipakai untuk membayar utang negara berbasis bunga (riba) kepada lembaga internasional.
"Islam melarang riba secara tegas karena merusak keseimbangan ekonomi dan menciptakan ketimpangan struktural. Negara kapitalisme juga sering membebani rakyat dengan pajak sambil memberi insentif pajak ke korporasi besar, ini bertentangan dengan prinsip keadilan distribusi dalam Islam," jelasnya.
Ia melanjutkan, dalam pendistribusian pajak kapitalisme tidak tepat sasaran. Dalam Islam, zakat punya tujuan jelas (8 asnaf) dan tidak boleh digunakan untuk membiayai anggaran umum seperti gaji pegawai negeri. Kapitalisme, sebaliknya, memperlakukan pajak sebagai “dompet besar negara” yang bisa digunakan untuk apapun, termasuk subsidi elite, proyek mercusuar, bahkan bailout bank besar.
Sementara itu, dalam pandangan Islam, pajak kapitalistik bersifat eksploitatif. Dalam sistem kapitalisme, pajak sering digunakan sebagai alat untuk menutup defisit anggaran, bukan sebagai mekanisme distribusi keadilan. Islam mengecam kebijakan pajak yang memberatkan rakyat, khususnya dari kalangan miskin dan rentan.
Sementara itu, berbeda sekali dalam Islam. "Tidak ada pajak tetap dalam Islam, inilah kelebihan Islam dibandingkan sistem kapitalisme atau komunisme. Islam tidak menetapkan pajak dalam arti sistematis seperti kapitalisme, yang dikenakan terhadap seluruh individu atau pendapatan secara umum," ujarnya.
Sebaliknya, ia mengungkapkan, Islam menetapkan instrumen-instrumen fiskal khusus. Pertama, zakat yang wajib, proporsional, dan hanya untuk Muslim. Kedua, kharaj, jizyah yang dikenakan dalam konteks kepemilikan tanah dan non-Muslim dalam negara Islam. Ketiga, usyur, ghanimah, fai’ yang bentuk pemasukan dari perdagangan dan sumber daya negara.
"Islam hanya memperbolehkan “pajak” tambahan (disebut dharibah) dalam keadaan darurat, misalnya perang atau bencana besar, dan harus memenuhi syarat: pertama, hanya dikenakan kepada yang mampu. Kedua, bersifat sementara. Ketiga, tidak boleh melebihi kebutuhan. Keempat, tidak menjadi sumber pendapatan utama negara," paparnya.
Ia mengutip pernyataan Ibn Khaldun, negara sebagai fasilitator, bukan pemalak. Negara Islam seharusnya mendukung rakyat dalam berusaha, bukan menjadi beban dengan pajak berlebihan. Negara wajib memberikan jaminan keamanan, infrastruktur, dan keadilan, agar ekonomi bisa tumbuh secara alami.
"Bagi Ibn Khaldun, tingginya pajak adalah tanda kegagalan administratif dan lemahnya ekonomi negara. Islam, melalui instrumen seperti zakat dan prinsip keadilan sosial, menawarkan pendekatan alternatif yang lebih stabil dan berorientasi pada kesejahteraan umat. Solusi Islam bukan hanya menurunkan pajak, tetapi mengubah cara negara melihat dan melayani rakyatnya," pungkasnya.[] Alfia Purwanti