TintaSiyasi.id -- Warga Pati menyala! Sebelumnya, beredar video Bupati Pati Sudewo, menantang massa agar mendemo kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) sebesar 250 persen yang ia tetapkan. Ia mengaku tidak gentar meski pendemo berjumlah 5.000 bahkan 50 ribu orang. Tantangan ini dijawab. Seratus ribu warga mengepung Sudewo pada Rabu (13/8/2025). Mereka menuntut Sudewo mundur dari jabatan bupati. Demo diwarnai tindakan anarkis; pendopo rusak, mobil dibakar, 34 orang terluka, 11 ditangkap.
Ternyata tak hanya Sudewo yang bertindak zalim dengan menaikkan besaran PBB. Di Cirebon, Paguyuban Pelangi Cirebon mengklaim kenaikan PBB-P2 paling kecil 150% hingga 1.000%. Berdasarkan pengakuan anggotanya, Darma Suryapratana, PBB-P2 yang mesti ia bayar pada 2024 mencapai Rp65 juta. Jumlahnya membengkak 1.000% dari 2023 yaitu Rp6,2 juta.
Sementara di Jombang, beberapa warga terkejut karena tagihan pajak yang mereka terima pada 2024 mencapai 700 % hingga 1.200 %. Kabupaten Semarang ikut menjadi sorotan karena warganya terkejut dengan kenaikan PBB-P2 hingga 400%. Adapun kelompok mahasiswa di Kabupaten Bone berdemo menolak kenaikan PBB-P2, Kamis (14/08). Mereka menemukan ada warga yang bayar 200%-300% (bbc.com, 15/8/2025).
Kabar di atas tentu sangat mengejutkan. Terlebih di tengah derita rakyat yang berkepanjangan. Pengangguran kian banyak, daya beli masyarakat menurun, persaingan usaha kian ketat. Justru pajak makin mencekik. Wajar bila publik memandang pajak sebagai palak yang dilegalkan. Negara memungut harta rakyat secara paksa atas nama undang-undang dan berdalih demi peningkatan kesejahteraan bersama. Nyatanya?
Kenaikan Pajak di Tengah Derita Rakyat: Kezaliman Penguasa Kapitalis Sekuler
Terkait kenaikan PBB-P2 yang terkesan serentak di beberapa daerah, sejumlah pakar meyakini karena dana transfer ke daerah (TKD) dipangkas pemerintah pusat. Sehingga pemerintah daerah (Pemda) harus cari akal mencari pendapatan baru. Herman Suparman, direktur eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai, cara termudah bagi Pemda untuk mencari pendapatan dengan menaikkan pajak.
Tahun ini, pemerintah melakukan efisiensi anggaran, salah satunya memangkas TKD sebesar Rp50,29 triliun. Banyak anggaran dipangkas demi program yang disebut "berdampak langsung pada masyarakat" seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, hingga perbaikan sektor kesehatan.
Sementara Pengamat ekonomi, Yanuar Rizky, menilai kisruh kenaikan PBB-P2 di sejumlah daerah telah "mengonfirmasi bahwa ekonomi sedang tidak baik-baik saja". Ia memandang, di balik alasan efisiensi anggaran MBG dan lain-lain, sebenarnya pemerintah juga punya utang jatuh tempo yang mesti dibayar oleh pemerintah periode 2025-2027 yang mencapai Rp2.827 triliun (bbc.com, 15/8/2025).
Dari realitas ini, nampak bahwa dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Pajak dianggap membantu negara mencapai kestabilan ekonominya karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Cara gampang mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak adalah dengan menjadikan pajak sebagai solusi menyelamatkan keuangan negara.
Dalam sistem kapitalisme, pajak pun menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Wajar jika negara gigih mendorong rakyat membayar pajak, bahkan mengopinikan bahwa warga negara yang baik adalah yang taat pajak.
Negara penganut sistem kapitalisme memang menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan kas negaranya. Kebutuhan pokok rakyat pun dikenai pajak—yang seharusnya dijamin oleh negara—malah “dipalak” oleh negara.
Pajak memang sudah menjadi andalan utama pemasukan negara yang menganut kapitalisme. Padahal sesungguhnya, negeri kita ini kaya akan sumber daya alam (SDA) yang jika dikelola dengan baik akan dapat digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Ini karena SDA terkategori kepemilikan umum.
Masalahnya, negeri ini telah salah dalam mengelola SDA yang justru diserahkan kepada asing. Alih-alih memberi kemudahan bagi rakyatnya, yang terjadi justru rakyat yang hidupnya sudah kembang kempis, dipaksa merogoh saku lebih dalam. Bisa dikatakan, pajak merupakan bentuk kezaliman yang nyata dari penguasa atas rakyatnya.
Padahal Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (QS Asy-Syura: 42).
Dalam hadis, “Barangsiapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum Muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak akan memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya pada hari kiamat” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Dampak Kenaikan Pajak di Tengah Penderitaan Rakyat
Kenaikan pajak di tengah penderitaan rakyat seperti saat ini (ekonomi sedang lesu dan inflasi tinggi), dapat memberikan dampak buruk yang cukup serius terhadap kesejahteraan hidup masyarakat. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi:
Pertama, penurunan daya beli. Ketika pajak naik, harga barang dan jasa bisa ikut naik (misalnya melalui PPN). Akibatnya, masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah akan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok karena pendapatan riil mereka menurun.
Kedua, meningkatnya kemiskinan. Realitasnya, kelompok masyarakat miskin akan lebih terdampak karena proporsi pengeluaran mereka untuk kebutuhan dasar sangat tinggi. Akibatnya, kenaikan pajak bisa mendorong lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan atau memperburuk kondisi mereka yang sudah miskin.
Ketiga, tingginya tekanan psikologis dan sosial. Beban pajak yang naik di tengah situasi sulit bisa menimbulkan kecemasan, frustrasi, bahkan konflik sosial. Dampak lanjutannya adalah ketimpangan antara kelompok yang mampu membayar pajak dan yang tidak bisa menjadi sumber ketegangan sosial.
Keempat, melemahnya usaha kecil dan menengah (UMKM). UMKM akan terdampak jika pajak dinaikkan secara menyeluruh (misalnya pajak penghasilan atau PPN), pelaku UMKM bisa kesulitan beroperasi. Efek dominonya antara lain: penurunan aktivitas UMKM akan menyebabkan PHK, menurunnya pendapatan daerah, hingga stagnasi ekonomi lokal.
Kelima, penurunan kepercayaan pada pemerintah. Krisis kepercayaan terjadi bila masyarakat merasa bahwa pajak dinaikkan tanpa transparansi, akuntabilitas, atau tanpa ada perbaikan pelayanan publik. Risiko politiknya, ini bisa memicu ketidakstabilan politik, protes sosial, atau resistensi terhadap kewajiban pajak itu sendiri.
Keenam, ketimpangan ekonomi melebar. Jika pajak lebih menekan kelompok bawah (misalnya PPN dibandingkan pajak kekayaan), maka jurang antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Secara jangka panjang, ketimpangan ini bisa menurunkan produktivitas nasional dan memperburuk kualitas sumber daya manusia.
Dengan demikian, menaikkan pajak di tengah penderitaan rakyat adalah bentuk kezaliman. Kebijakan fiskal yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial ekonomi bisa memperparah penderitaan rakyat, melemahkan ekonomi, dan menurunkan kesejahteraan hidup secara keseluruhan.
Strategi Pengenaan Pajak oleh Negara sehingga Tidak Berkesan Palak kepada Rakyat
Terkait kisruh kenaikan besaran pajak di beberapa daerah akhir-akhir ini, kita bisa belajar dari ajaran Islam bagaimana kebijakan ini dijalankan. Dalam Islam pun dikenal semacam pungutan (dharibah). Namun penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitulmal untuk membiayainya (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129, 135).
Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari seluruh rakyat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme, misalnya pajak bumi dan bangunan, kendaraan, bahkan makanan. Nabi SAW dahulu mengatur urusan rakyat dan beliau tidak memungut pajak atas seluruh rakyatnya. Ketika beliau SAW mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau melarangnya. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai (maks).” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).
Dharibah hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. Ketika problem kekosongan kas negara sudah teratasi, pungutan pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pungutan dalam Islam tidak dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme.
Dharibah dalam Islam diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan syariat. Dalam khilafah, tidak ada penetapan pajak tidak langsung, PPN, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual beli, dan berbagai jenis pajak lainnya. Pajak bukanlah sumber tetap dan utama pendapatan negara, bahkan dapat dikatakan merupakan alternatif terakhir ketika kondisi keuangan negara sedang genting.
Adapun sumber pendapatan utama negara menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke baitulmal ada sembilan bagian, yaitu fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, serta harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Setidaknya ada tiga ketetapan syariat terkait pungutan pada rakyat.
Pertama, kondisi yang diperkenankan mengambil dharibah.
Dharibah dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat insidental. Ia hanya dipungut saat kas negara kosong. Manakala problem kekosongan kas negara sudah teratasi, pajak pun harus dihentikan.
Kedua, pihak yang termasuk wajib pajak.
Ketika kas baitulmal kosong untuk memenuhi pengeluaran yang wajib bagi negara dan umat, pemerintah berhak memungut pajak terhadap warganya dengan syarat ia seorang warga negara Muslim. Artinya, tidak diwajibkan bagi warga negara non-Muslim. Ia juga harus dari kalangan orang yang kaya atau mampu sehingga tidak boleh dikenakan pada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi sekarang.
Dengan demikian, pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman. Bahkan pajak akan dipandang sebagai bentuk kontribusi warga negara yang berkelebihan harta atas urusan umat yang berimplikasi pahala dan kebaikan.
Ketiga, pembiayaan yang bersumber dari pajak.
Dalam Islam, pemerintah tidak begitu saja diperbolehkan memungut pajak terhadap rakyatnya yang Muslim. Ini karena bisa saja harta kaum Muslim (sebagai rakyat) tersebut boleh dan wajib diambil, makruh, atau bahkan haram diambil oleh pemerintah.
Oleh karenanya, harus ada alasan syar’i yang melandasi pemungutan pajak, yaitu untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan kepada dua pihak sekaligus, yaitu negara dan umat, yakni jika di baitulmal kosong.
Dengan demikian, sangat nyata perbedaan antara konsep pajaknya sistem kapitalisme dengan dharibah dalam sistem Islam. Salah satu di antaranya, dalam sistem kapitalisme, pajak dibebankan kepada seluruh rakyat sehingga berpotensi terjadi kezaliman terhadap rakyat. Sedangkan dalam sistem Islam, meski beban dharibah menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi hanya diambil dari yang kaya.
Sudah seharusnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan dari Rasulullah SAW tentang pemimpin yang memberatkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut nasibnya kelak di akhirat yang abadi.
Rasulullah SAW. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya” (HR Muslim dan Ahmad).
Pustaka
Pengaturan Pajak dalam Perspektif Islam, Ummu Nashir N.S., muslimahnews.net, 29/12/2024
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)