Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Indonesia Belum Merdeka Data, HILMI: Saatnya Indonesia Membangun Ekosistem Digital Sesuai Syariat

Selasa, 19 Agustus 2025 | 06:51 WIB Last Updated 2025-08-18T23:51:50Z


Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) yang menyoroti kondisi kedaulatan data Indonesia yang dinilai masih rapuh menyatakan sudah saatnya Indonesia, khususnya umat Islam, bangkit membangun ekosistem digital yang mandiri, aman, dan sesuai dengan syariat Islam serta nilai-nilai kebangsaan.

 

“Sudah saatnya Indonesia, khususnya umat Islam, bangkit membangun ekosistem digital yang mandiri, aman, dan sesuai dengan syariat Islam serta nilai-nilai kebangsaan,” tegas HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Ahad (17/08/2025).

 

HILMI menyatakan bahwa kedaulatan teknologi adalah prasyarat mutlak bagi kedaulatan data. “Di balik setiap aplikasi asing yang digunakan, terdapat rantai pasokan algoritma, enkripsi, pusat data, hingga kebijakan negara asal yang tidak bisa dikendalikan,” paparnya.

 

“Meskipun telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) Nomor 27 Tahun 2022, kondisi kedaulatan data Indonesia yang masih rapuh ini menegaskan bahwa kunci kemerdekaan data adalah kedaulatan teknologi yang mandiri,”

 

HILMI menyebut, data di era digital diibaratkan sebagai "minyak baru" dunia, namun tidak kasat mata dan mudah keluar dari yurisdiksi negara tanpa disadari pemiliknya, menciptakan tantangan kedaulatan baru yang disebut kedaulatan data.

 

“Indonesia sebagai negara dengan populasi digital keempat terbesar di dunia, menghasilkan miliaran titik data setiap hari. Namun, sebagian besar data tersebut disimpan, diolah, dan dikendalikan oleh perusahaan teknologi asing,” ulasnya dalam rilis opini terbaru No. 012, tanggal (15/08/2025), bertema Kemerdekaan Data & Kedaulatan Teknologi.

 

Ancaman Asing dan Ketergantungan Infrastruktur

 

HILMI mengatakan, kekhawatiran utama muncul dari praktik negara-negara seperti Amerika Serikat (AS). “Meskipun beberapa negara bagian seperti California memiliki CCPA (California Consumer Privacy Act), AS secara federal tidak memiliki undang-undang perlindungan data komprehensif layaknya Uni Eropa dengan GDPR-nya,” ulasnya.

 

Lebih jauh, HILMI mengungkapkan, hukum seperti Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) Section 702 bahkan mengizinkan pemerintah AS mengakses data nonwarga negara AS yang tersimpan di server milik perusahaan AS.

 

“Ini berarti data warga Indonesia yang tersimpan di layanan global seperti Google Drive, Gmail, atau Facebook, secara hukum dapat diakses tanpa persetujuan individu maupun pemerintah Indonesia,” sebut HILMI.

 

“Penyalahgunaan data pribadi oleh intelijen asing ini membawa risiko serius terhadap kedaulatan negara dan keamanan individu, termasuk pengawasan massal, manipulasi opini publik, pemerasan tokoh strategis, hingga sabotase ekonomi dan sosial. Tanpa kontrol atas aliran data, suatu negara dapat diperlemah melalui dominasi algoritma dan informasi,” imbuh HILMI.

 

HILMI mengingatkan jika kondisi tersebut bukanlah ancaman masa depan, melainkan realitas yang sudah berlangsung.

 

“Setiap kali pengguna memakai Android, mengetik di Google Docs, atau mengunggah konten ke Instagram, data sebenarnya disalurkan ke cloud yang dikuasai pihak asing, seringkali tanpa disadari dan tanpa alternatif lokal yang memadai. Persetujuan yang diberikan pada "terms & conditions" digital seringkali hanyalah formalitas legal, bukan keputusan sadar,” lugas HILMI.

 

Belajar dari Tiongkok dan Dorongan Spiritual

 

HILMI mencontohkan Tiongkok sebagai negara yang berhasil mempertahankan kedaulatan datanya dengan membangun teknologi sendiri.

 

“Tiongkok menolak tunduk pada ekosistem digital global yang didominasi Barat dan membangun alternatifnya sendiri, seperti Baidu (tandingan Google), WeChat dan Weibo (alternatif Facebook dan WhatsApp), hingga TikTok (Douyin) sebagai jawaban atas YouTube, bahkan mengembangkan sistem operasi dan perangkat kerasnya secara mandiri,” beber HILMI lagi.

 

Semua layanan itu, lanjut HILMI, berjalan di atas infrastruktur milik Tiongkok, dengan pusat data di dalam negeri, teknologi enkripsi sendiri, dan peraturan nasional yang tidak dapat diintervensi pihak luar.

 

HILMI berpendapat bahwa umat Islam seharusnya lebih termotivasi untuk membangun teknologi sendiri, karena memiliki kekuatan motivasional yang bukan hanya etis tetapi juga spiritual.

 

“Islam memandang ilmu dan kedaulatan sebagai bagian dari amanah besar manusia sebagai khalifah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an sura An-Nisa ayat 141 yang menyatakan bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin,” kutip HILMI.

 

“Ayat ini menjadi seruan untuk membebaskan umat dari dominasi dalam segala aspek, termasuk teknologi dan informasi,” tandas HILMI.

 

Strategi Menuju Kedaulatan Digital Indonesia

 

Beberapa langkah strategis yang disebut HILMI harus segera dilakukan adalah:

 

Pertama, membangun platform digital mandiri, dengan investasi negara serta dukungan dari dunia kampus dan pesantren.

 

Kedua, mewajibkan penyimpanan data strategis di dalam negeri, termasuk data biometrik, kesehatan, dan transaksi keuangan.

 

Ketiga, mendorong cloud nasional berdaulat yang bukan sekadar reseller Google atau Amazon.

 

Keempat, negosiasi perjanjian data lintas batas hanya dengan negara yang memiliki standar perlindungan setara.

 

Kelima, mendidik generasi muda muslim dan bangsa Indonesia untuk menjadi pembuat teknologi, bukan hanya konsumennya.

 

“Indonesia tidak boleh pasif dalam menghadapi "kolonialisme data" yang saat ini terjadi,” tutup HILMI.[] Rere


Opini

×
Berita Terbaru Update