Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) yang menyoroti kondisi kedaulatan data Indonesia yang dinilai masih rapuh menyatakan sudah saatnya Indonesia, khususnya umat Islam, bangkit membangun ekosistem digital yang mandiri, aman, dan sesuai dengan syariat Islam serta nilai-nilai kebangsaan.
“Sudah saatnya Indonesia, khususnya umat Islam, bangkit membangun ekosistem
digital yang mandiri, aman, dan sesuai dengan syariat Islam serta nilai-nilai
kebangsaan,” tegas HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Ahad (17/08/2025).
HILMI menyatakan bahwa kedaulatan teknologi adalah prasyarat mutlak bagi
kedaulatan data. “Di balik setiap aplikasi asing yang digunakan, terdapat
rantai pasokan algoritma, enkripsi, pusat data, hingga kebijakan negara asal
yang tidak bisa dikendalikan,” paparnya.
“Meskipun telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU
PDP) Nomor 27 Tahun 2022, kondisi kedaulatan data Indonesia yang masih rapuh
ini menegaskan bahwa kunci kemerdekaan data adalah kedaulatan teknologi yang
mandiri,”
HILMI menyebut, data di era digital diibaratkan sebagai "minyak
baru" dunia, namun tidak kasat mata dan mudah keluar dari yurisdiksi
negara tanpa disadari pemiliknya, menciptakan tantangan kedaulatan baru yang
disebut kedaulatan data.
“Indonesia sebagai negara dengan populasi digital keempat terbesar di
dunia, menghasilkan miliaran titik data setiap hari. Namun, sebagian besar data
tersebut disimpan, diolah, dan dikendalikan oleh perusahaan teknologi asing,”
ulasnya dalam rilis opini terbaru No. 012, tanggal
(15/08/2025), bertema Kemerdekaan Data & Kedaulatan Teknologi.
Ancaman Asing dan Ketergantungan Infrastruktur
HILMI mengatakan, kekhawatiran utama muncul dari praktik negara-negara
seperti Amerika Serikat (AS). “Meskipun beberapa negara bagian seperti
California memiliki CCPA (California Consumer Privacy Act), AS secara federal tidak memiliki
undang-undang perlindungan data komprehensif layaknya Uni Eropa dengan GDPR-nya,”
ulasnya.
Lebih jauh, HILMI mengungkapkan, hukum seperti Foreign Intelligence
Surveillance Act (FISA) Section 702 bahkan mengizinkan pemerintah AS
mengakses data nonwarga negara AS yang tersimpan di server milik perusahaan AS.
“Ini berarti data warga Indonesia yang tersimpan di layanan global
seperti Google Drive, Gmail, atau Facebook, secara hukum
dapat diakses tanpa persetujuan individu maupun pemerintah Indonesia,” sebut
HILMI.
“Penyalahgunaan data pribadi oleh intelijen asing ini membawa risiko
serius terhadap kedaulatan negara dan keamanan individu, termasuk pengawasan
massal, manipulasi opini publik, pemerasan tokoh strategis, hingga sabotase
ekonomi dan sosial. Tanpa kontrol atas aliran data, suatu negara dapat
diperlemah melalui dominasi algoritma dan informasi,” imbuh HILMI.
HILMI mengingatkan jika kondisi tersebut bukanlah ancaman masa depan,
melainkan realitas yang sudah berlangsung.
“Setiap kali pengguna memakai Android, mengetik di Google Docs,
atau mengunggah konten ke Instagram, data sebenarnya disalurkan ke cloud
yang dikuasai pihak asing, seringkali tanpa disadari dan tanpa alternatif lokal
yang memadai. Persetujuan yang diberikan pada "terms & conditions"
digital seringkali hanyalah formalitas legal, bukan keputusan sadar,” lugas
HILMI.
Belajar dari Tiongkok dan Dorongan Spiritual
HILMI mencontohkan Tiongkok sebagai negara yang berhasil mempertahankan
kedaulatan datanya dengan membangun teknologi sendiri.
“Tiongkok menolak tunduk pada ekosistem digital global yang didominasi
Barat dan membangun alternatifnya sendiri, seperti Baidu (tandingan Google),
WeChat dan Weibo (alternatif Facebook dan WhatsApp),
hingga TikTok (Douyin) sebagai jawaban atas YouTube, bahkan
mengembangkan sistem operasi dan perangkat kerasnya secara mandiri,” beber
HILMI lagi.
Semua layanan itu, lanjut HILMI, berjalan di atas infrastruktur milik
Tiongkok, dengan pusat data di dalam negeri, teknologi enkripsi sendiri, dan
peraturan nasional yang tidak dapat diintervensi pihak luar.
HILMI berpendapat bahwa umat Islam seharusnya lebih termotivasi untuk
membangun teknologi sendiri, karena memiliki kekuatan motivasional yang bukan
hanya etis tetapi juga spiritual.
“Islam memandang ilmu dan kedaulatan sebagai bagian dari amanah besar
manusia sebagai khalifah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an sura An-Nisa
ayat 141 yang menyatakan bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi
orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin,” kutip HILMI.
“Ayat ini menjadi seruan untuk membebaskan umat dari dominasi dalam
segala aspek, termasuk teknologi dan informasi,” tandas HILMI.
Strategi Menuju Kedaulatan Digital Indonesia
Beberapa langkah strategis yang disebut HILMI harus segera dilakukan
adalah:
Pertama, membangun platform digital mandiri, dengan investasi negara serta
dukungan dari dunia kampus dan pesantren.
Kedua, mewajibkan penyimpanan data strategis di dalam negeri, termasuk data
biometrik, kesehatan, dan transaksi keuangan.
Ketiga, mendorong cloud nasional berdaulat yang bukan sekadar reseller
Google atau Amazon.
Keempat, negosiasi perjanjian data lintas batas hanya dengan negara yang
memiliki standar perlindungan setara.
Kelima, mendidik generasi muda muslim dan bangsa Indonesia untuk menjadi
pembuat teknologi, bukan hanya konsumennya.
“Indonesia tidak boleh pasif dalam menghadapi "kolonialisme
data" yang saat ini terjadi,” tutup HILMI.[] Rere