TintaSiyasi.id -- Kementerian Agama resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang diharapkan lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Menag Nasaruddin Umar menyebut KBC sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional. Kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan (kemenag.go.id, 29/07/2025).
Sepintas, inisiatif ini terdengar manis dan mulia, sebab setiap manusia pasti tidak bisa menolak pendidikan yang dilandasi oleh cinta, kasih sayang, dan nilai-nilai kemanusiaan. Narasi cinta yang digaungkan Kemenag seakan-akan menjawab banyak persoalan yang tengah terjadi di dunia pendidikan kita seperti kurangnya empati pada siswa dan guru, masyarakat yang terlalu keras dalam menghadapi perbedaan, dan generasi muda terlalu gampang tersulut. Alasan-alasan inilah yang kemudian dijadikan latar belakang munculnya kurikulum berbasis cinta. Namun, jika kita telisik lebih mendalam, mampukan KBC menyelesaikan problem ini seperti yang diharapkan pada dunia pendidikan kita?
Tentu saja, narasi ini patut kita cermati lebih mendalam. Jangan sampai ini bukan sekadar program pendidikan semata, melainkan ada bagian lain dari agenda ideologis yang terselubung, yaitu deradikalisasi dalam balutan diksi spiritual. Kita tentu tidak menolak pendidikan yang penuh empati dan kasih. Namun hal ini seharusnya dilandasi dengan akidah yang benar sehingga tidak akan menyimpang. Sebab, kurikulum ini juga mengajarkan generasi Muslim untuk bersikap keras kepada saudaranya sesama Muslim dan lemah lembut kepada non-Muslim. Muslim yang hendak menerapkan Syariat Islam kaffah, akan diberi label radikal, ekstrem, dimusuhi, dan dipersekusi. Sementara untuk non-Muslim diperlakukan begitu hormat, sangat lembut dan santun, rumah ibadahnya dijaga, ikut merayakan hari raya bersama dan seterusnya. Nampak jelas bahwa kurikulum cinta ini berasas sekularisme, karena menjauhkan generasi dari aturan agama, dan menjadikan akal sebagai sumber hukum dan penentu segala sesuatu. Maka jelas, sekularisme adalah ide yang salah dan bathil. Tidak layak dijadikan asas dalam sistem pendidikan kita.
Lebih berbahaya lagi, narasi cinta ini dipadankan secara halus dengan kampanye toleransi, pluralisme, inklusivitas, dan penerimaan terhadap segala bentuk perbedaan. Alih-alih membuka ruang dialog, pendekatan ini justru membungkam sikap kritis generasi. Mereka yang tegas dalam prinsip malah akan dianggap tak punya cinta. Mereka yang jujur menyuarakan kebenaran justru dicap pembenci. Maka cinta yang dimaksud disini bukan lagi keberanian membela kebenaran, melainkan keramahan terhadap sistem yang sedang berlaku, betapa pun zalimnya sistem sekularisme yang diterapkan saat ini.
Islam sudah sangat jelas menetapkan standar kurikulum berbasis akidah Islam, bukan yang lain. Akidah adalah asas kehidupan setiap Muslim, termasuk menjadikan Akidah Islam sebagai asas pendidikan. Sebab, pendidikan merupakan bidang strategis untuk membentuk kepribadian generasi dan masa depan bangsa. Bila akidah umat kuat, maka mereka akan taat secara totalitas kepada Syariat Allah SWT.
Islam tidak memisahkan antara akal, perasaan, dan amal. Justru Islam akan mengajarkan agar kita memposisikan akal dan perasaan sesuai pertimbangan akidah. Pendidikan dalam Islam bertujuan membentuk kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah) yakni pola pikir dan pola sikap Islam. Peserta didik akan dipahamkan dengan pemahaman yang benar sesuai tuntunan Syariat dan melakukan perbuatan sesuai standar syariat. Dalam sistem Islam, cinta kepada Allah, Rasul, sesama Muslim, dan umat manusia bukan sekadar emosi, tapi konsekuensi dari pemahaman aqidah. Anak dididik untuk mengenal Rabb-nya, mencintai kebenaran, dan berani menegakkan keadilan, bahkan jika harus berbeda dengan arus. Pendidikan menanamkan pemikiran kritis berbasis wahyu Allah, bukan tunduk pada nilai global yang ditetapkan Barat.
Dengan kata lain, cinta dalam pendidikan Islam bukanlah cinta yang kompromistis. Tapi cinta yang melahirkan keberanian—membela kebenaran, menegakkan hukum Allah, dan menolak kezaliman.
Kurikulum Islam tidak butuh diksi-diksi baru untuk terlihat “relevan” atau “manusiawi.” Justru kurikulum Islam-lah yang paling manusiawi, karena ia menyentuh fitrah, mengarahkan manusia agar mengenal Rabb-nya, tunduk pada hukum-Nya, dan hidup dalam sistem yang adil.
Maka ketika negara menawarkan “kurikulum cinta” tanpa fondasi aqidah, umat Islam patut bertanya, cinta seperti apa yang akan ditanamkan dan dengan batasan apa? Tanpa jawaban yang berpijak pada syariat Allah, maka semua itu hanya akan menjadi alat politik baru berkedok pendidikan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Hilda Handayani
Aktivis Muslimah