TintaSiyasi.id -- Ramai di media sosial bendera One Piece, simbol bendera bergambar tengkorak bertopi jerami, berkibar di berbagai wilayah tanah air. Mulai dari puncak gunung, permukiman warga, pinggir-pinggir jalan, hingga di truk-truk yang melintas. Aksi ini semakin masif menjelang hari kemerdekaan Indonesia yang ke-80.
Fenomena tersebut memancing atensi dari berbagai kalangan, dalam dan luar negeri. Beberapa bahkan menganggap kejadian ini sebagai sebuah ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Seperti yang dikatakan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, bahwa pemasangan bendera One Piece menjelang momentum kemerdekaan RI ke-80 merupakan upaya memecah belah bangsa oleh pihak yang menginginkan kemunduran bagi tanah air (tempo.id, 5-8-2025). Sementara itu, Menteri HAM, Natalius Pigai, melarang masyarakat mengibarkan bendera anime One Piece menjelang kemerdekaan RI ke-80 karena merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum sekaligus bentuk makar apabila dikibarkan sejajar dengan bendera Merah Putih (tempo.id, 3-8-2025).
Banyaknya pengibaran bendera One Piece tentu bukan sekadar tren gaya-gayaan belaka, tetapi merupakan bentuk ekspresi diri dari semangat solidaritas melawan ketidakadilan. Ini juga merupakan protes terhadap kebijakan yang terus-menerus tidak berpihak kepada rakyat, serta penolakan terhadap sistem pemerintahan yang dianggap korup. Rakyat sepertinya sudah semakin gerah dengan berbagai macam kebijakan penguasa dan segala carut-marut yang ditimbulkan. Alih-alih diayomi, rakyat justru semakin diperas dengan peraturan demi peraturan yang dipaksakan bahkan terkesan tidak masuk akal.
Kapitalisme menciptakan kesenjangan nyata antara penguasa dan rakyat. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri di tengah krisis ekonomi dengan berbagai kebijakan yang kacau. Minimnya lapangan kerja, eksploitasi kekayaan alam yang merusak, kaya sumber daya tetapi rakyat sengsara. Sementara itu, jika ada yang bersuara mengkritisi kebijakan, disebut radikal, makar, pemberontak, ekstremis, anti-NKRI, dan sejenisnya.
Kapitalisme juga meniscayakan kebebasan pasar antarnegara tanpa campur tangan pemerintah, dengan tujuan hanya untuk keuntungan maksimal. Belum lagi persaingan usaha yang tidak sehat, sistem perbankan yang mengandalkan keuntungan berdasar riba, inovasi teknologi yang memicu konsumerisme—semua itu membuat kehidupan semakin terasa sempit. Setiap orang berlomba-lomba mencari kesenangan duniawi. Yang kuat akan mengalahkan yang lemah. Tak heran jika timbul ketidakpuasan pada rakyat sehingga muncul gelombang protes yang dilakukan dengan berbagai cara.
Lalu bagaimana Islam memandang hal ini?
Allah menganugerahkan bumi dengan segala potensi sumber daya alamnya; semua itu diciptakan untuk manusia. Di tangan kepemimpinan Islam, semua itu akan dikelola sebaik mungkin untuk kemaslahatan umat berdasar hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Negara wajib memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sehingga semua kalangan dipastikan memperoleh haknya. Bahkan hewan sekalipun tidak boleh ada yang terzalimi.
Dalam Islam, mengkritik penguasa yang zalim diperbolehkan, baik secara tertutup maupun secara terang-terangan, dan termasuk perbuatan amar ma’ruf nahi munkar. Rasulullah bersabda:
"Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang hak kepada penguasa (Sultan) atau pemimpin (Amir) yang zalim" (HR. Abu Dawud, Tirmizi, dan Ibnu Majah).
Maka, jika Islam diterapkan, akan banyak aksi yang dilakukan sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah. Namun aksi yang dilakukan bukanlah aksi simbolik dan kemarahan sesaat, tetapi perubahan yang terarah dengan pembinaan dan dakwah sehingga terwujudlah perubahan yang sistemik. Perubahan inilah yang akan mengubah masyarakat menjadi perubahan yang revolusioner dan membebaskan rakyat dari belenggu penderitaan.
Sungguh, jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, maka Allah akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi (QS. Al-A’raf: 96).
Oleh: Dwi Ummu Hassya
Aktivis Muslimah