×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kurikulum Cinta ala Kemenag: Deradikalisasi Sejak Dini, Sekularisasi dalam Nama Cinta?

Selasa, 05 Agustus 2025 | 12:13 WIB Last Updated 2025-08-05T05:13:30Z

Tintasiyasi.id.com -- Kementerian Agama (Kemenag) RI kembali meluncurkan program monumental bernama Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) pada Juli 2025. Diresmikan langsung oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar, kurikulum ini disebut sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih “humanis, inklusif, dan spiritual.” (Republika, 25 Juli 2025).

KBC diklaim sebagai jawaban terhadap meningkatnya intoleransi, degradasi moral, hingga krisis kemanusiaan dan lingkungan.
Namun, di balik narasi manis itu, muncul pertanyaan besar: 

Benarkah KBC lahir untuk kebaikan pendidikan umat Islam? Ataukah ini hanyalah kelanjutan dari proyek deradikalisasi dan sekularisasi yang dibungkus jargon cinta?

Pendidikan dalam Bayang-Bayang Agenda Deradikalisasi

Sejak awal 2000-an, dunia pendidikan di Indonesia menjadi target utama proyek deradikalisasi yang digaungkan oleh negara dan lembaga internasional. Dalam dokumen UNESCO berjudul "Preventing Violent Extremism through Education (PVE-E)" (2017), pendidikan secara eksplisit dijadikan alat untuk menekan apa yang mereka sebut sebagai “ekstremisme keagamaan.”

UNESCO mendorong negara-negara anggota untuk memasukkan nilai-nilai seperti pluralisme, toleransi, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia ke dalam kurikulum sejak usia dini. Indonesia, sebagai anggota aktif, menjadikan panduan ini sebagai basis pengembangan kurikulum deradikalisasi melalui LIPI, BNPT, hingga Kemenag. 

Kurikulum Berbasis Cinta adalah bentuk konkret dari implementasi agenda tersebut. Narasi-narasi “melawan intoleransi” yang dibawa KBC tidak netral. Ia mengandung definisi sepihak: siapa saja yang menginginkan penerapan syariat Islam kaffah otomatis dicurigai sebagai radikal. Ustaz-ustaz yang menyeru dakwah politik Islam dibungkam. Majelis ilmu dibubarkan.

Sementara perayaan agama lain difasilitasi negara, rumah ibadah non-Muslim dijaga aparat, dan toleransi sepihak digaungkan ke seluruh penjuru negeri.

Standar Ganda dalam Mendidik Generasi Muslim

Cinta yang ditanamkan KBC ternyata bersifat selektif: keras kepada saudara Muslim yang ingin menjalankan Islam kaffah, lembut terhadap pemeluk agama lain. Hal ini sangat berbahaya, terutama karena ia diterapkan sejak tingkat pendidikan dasar, saat anak-anak belum matang dalam memahami batas antara toleransi dan kompromi akidah.

Kemenag menyebut nilai-nilai utama KBC antara lain: welas asih, anti-kekerasan, empati, dan penguatan spiritualitas lintas iman. Tapi tidak ada penekanan pada tauhid, syariat, atau loyalitas kepada Islam (al-wala’ wal bara’). Padahal inilah fondasi pendidikan Islam sesungguhnya.

Sekularisme Disusupkan Melalui Kurikulum

Masalah mendasar dari KBC adalah asas yang digunakannya: sekularisme. Kurikulum ini tidak menjadikan akidah Islam sebagai pondasi, melainkan nilai-nilai “universal” buatan manusia. Dalam penjelasan resmi Kemenag, disebutkan bahwa KBC bertujuan membangun “spiritualitas yang transenden dan inklusif.” Ini bahasa lain dari relativisme agama.

Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, dan menjadikan akal sebagai hakim tertinggi dalam menilai baik dan buruk. Maka, pendidikan yang berasas sekularisme akan membentuk generasi yang: Pertama, Ragu terhadap ajaran agamanya sendiri.
Kedua, Takut menyuarakan Islam secara politik. Ketiga, Alergi terhadap syariat Islam.

Ini persis yang diperingatkan oleh UNESCO dalam laporan “Global Education Monitoring Report 2021” yang menyoroti bahwa “pendidikan hari ini harus lebih fokus pada ‘global citizenship’ dan nilai-nilai dunia tanpa mengedepankan eksklusivitas agama.” (UNESCO GEM Report 2021).

Pendidikan dalam Islam: Berbasis Akidah, Bukan Toleransi Semu
Islam menetapkan bahwa pendidikan adalah proses penanaman akidah Islam yang akan menjadi fondasi berpikir dan bertindak manusia.

Tujuan pendidikan bukan sekadar menciptakan manusia baik, tapi membentuk pribadi Muslim yang taat total kepada syariat Allah.
Dalam sistem Islam:

Pertama, Kurikulum wajib berbasis akidah Islam. Semua pelajaran—baik sains, seni, maupun sosial—disampaikan dalam bingkai pandangan hidup Islam.

Kedua, Negara wajib menjaga akidah umat melalui sistem pendidikan. Pendidikan bukan alat negara untuk mengontrol umat, melainkan sarana pembentukan peradaban Islam.

Ketiga, Akidah kuat melahirkan ketundukan syar’i. Muslim yang dididik dengan benar tidak akan ekstrem atau menyimpang, tapi justru menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin) dalam makna sebenarnya.

Solusi Islam: Kurikulum Islam yang Kaffah

Untuk menjawab problem intoleransi, kekerasan, dan degradasi moral, Islam tidak butuh kurikulum cinta ala Kemenag. Islam justru mewajibkan negara membuat sistem pendidikan yang:

1. Berbasis akidah Islam, bukan pluralisme agama.
2. Mengajarkan syariat Islam, bukan hanya moralitas umum.
3. Membangun karakter Muslim tangguh, bukan generasi bimbang identitas.
4. Mengajarkan cinta sejati, yaitu cinta kepada Allah, Rasul-Nya, Islam, dan kaum Muslimin.

Dengan kurikulum seperti ini, anak-anak Muslim akan tumbuh menjadi generasi pemimpin, bukan sekadar warga negara yang patuh pada nilai-nilai sekular global.

Penutup: Cinta Sejati adalah Cinta Kepada Islam

“Cinta” adalah kata indah yang mudah dijual dalam wacana publik. Namun, jika cinta dijadikan dalih untuk melemahkan ajaran Islam, menjauhkan generasi dari syariat, dan menyusupkan ide-ide sekular, maka kurikulum itu bukan solusi, melainkan ancaman.

Kurikulum Cinta versi Kemenag tampak indah dalam tampilan, namun menyimpan bahaya besar dalam substansi. Ia menjadi alat kolonialisasi pemikiran gaya baru: melemahkan Islam dari dalam.

Maka, sudah saatnya umat Islam bangkit dan menyerukan: Kami butuh kurikulum Islam, bukan kurikulum cinta sekular. Dan semua itu hanya terwujud jika negara mengambil syariat Islam sebagai satu-satunya sumber peraturan kehidupan.[]

Oleh: Prayudisti S.P.
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update