×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kemiskinan dalam Permainan Standar Ala Kapitalisme, Islam Wujudkan Kesejahteraan

Selasa, 05 Agustus 2025 | 12:22 WIB Last Updated 2025-08-05T05:22:40Z

Tintasiyasi.id.com -- Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mempublikasikan klaim bahwa angka kemiskinan nasional menurun. Pada Maret 2025, BPS mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari total populasi Indonesia. 

Bahkan, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, “angka kemiskinan ekstrem berhasil ditekan ke level 0,83%,” di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang belum mereda (CNBC Indonesia, 25 Juli 2025).

Namun, publik tidak mudah percaya. Banyak pihak mempertanyakan metodologi dan definisi kemiskinan yang digunakan. Garis kemiskinan nasional hanya dipatok sebesar Rp20.305 per hari per individu—angka yang bahkan tak cukup untuk membeli seporsi nasi padang lengkap.

Tidak heran, data ini dinilai tidak menggambarkan realita kemiskinan di lapangan. Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menilai bahwa angka tersebut terlalu rendah dan cenderung dimanipulasi agar tampak ada progres (CNN Indonesia, 25 Juli 2025).

Alih-alih mencerminkan kesejahteraan, standar ini justru memperlihatkan betapa rendahnya ekspektasi negara terhadap kualitas hidup rakyatnya. Dengan kata lain, kemiskinan “turun” hanya karena standar dikecilkan, bukan karena rakyat benar-benar hidup lebih sejahtera.

Kesenjangan Nyata di Tengah Lumbung Pangan

Ironi kemiskinan tak berhenti pada permainan angka. Di Indramayu—kabupaten yang menjadi penghasil padi dan garam terbesar di Indonesia—kemiskinan masih menjangkiti lebih dari 177 ribu penduduk atau sekitar 8,8% populasi (BeritaSatu, 9 Juli 2025).

Padahal daerah ini menyumbang kebutuhan pangan nasional. Bukankah ini bukti nyata bahwa distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi saat ini sangat timpang?

Sementara itu, di wilayah urban, pengangguran dan naiknya biaya hidup terus meningkatkan kemiskinan. Menurut BPS, pria menjadi penyumbang terbesar kenaikan jumlah pengangguran di kota. Fenomena ini menyebabkan lonjakan kemiskinan perkotaan yang signifikan (BeritaSatu, 14 Juli 2025).

Namun anehnya, angka-angka ini tidak berdampak pada statistik kemiskinan nasional versi pemerintah. Kapitalisme, dengan logika pasar bebas dan akumulasi modal, telah menjadikan angka lebih penting dari manusia. Negara justru tampak sibuk mengelola persepsi ketimbang mengatasi akar masalah.

Kapitalisme dan Ilusi Kesejahteraan

Dalam sistem kapitalisme, kemiskinan bukanlah anomali, melainkan konsekuensi struktural. Kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elit, sedangkan mayoritas rakyat hidup dari upah yang tidak sepadan dengan biaya hidup. 

Negara hanya bertindak sebagai regulator pasar dan pencetak laporan statistik, bukan pelindung kehidupan rakyat. Kritik tajam muncul dari berbagai kalangan. Ekonom INDEF Nailul Huda menyebut bahwa penurunan angka kemiskinan tidak merefleksikan perbaikan kualitas hidup.

Bahkan, PHK massal yang terjadi di berbagai sektor industri membuktikan bahwa daya serap ekonomi terhadap tenaga kerja semakin lemah (Tirto.id, 25 Juli 2025).

Ini menunjukkan bahwa akar kemiskinan bukan terletak pada bagaimana kita mendefinisikannya, tetapi pada sistem ekonomi yang digunakan—yakni kapitalisme yang mengagungkan pasar bebas, privatisasi sumber daya, dan liberalisasi kebijakan negara.

Islam dan Solusi Struktural Kesejahteraan

Berbeda dari kapitalisme, Islam memandang kemiskinan sebagai tanggung jawab struktural negara. Dalam sistem ekonomi Islam (Khilafah), negara wajib menjamin kebutuhan dasar setiap individu: pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Ini bukan jargon politik, tapi sistem yang telah dipraktikkan selama lebih dari 13 abad dalam sejarah Islam.

Solusi Islam terhadap Kemiskinan:
1. Negara sebagai Penanggung Jawab Kesejahteraan
Negara dalam Islam tidak menyerahkan layanan dasar kepada mekanisme pasar atau BUMN. Negara harus memberikan layanan publik secara langsung dan gratis, termasuk pendidikan dan kesehatan.

Negara juga menyediakan jaminan pekerjaan bagi setiap laki-laki dewasa yang mampu bekerja, bukan sekadar pelatihan teknis seperti program kapitalisme.

2. Pengelolaan Sumber Daya Alam oleh Negara

Dalam Islam, air, tambang, energi, dan hutan adalah milik umum. Negara tidak boleh menjualnya kepada swasta atau asing. Hasil pengelolaan SDA digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat. Ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang justru menyerahkan SDA kepada konglomerat dan asing demi keuntungan jangka pendek.

3. Distribusi Kekayaan Melalui Instrumen Syariah

Islam memiliki instrumen seperti zakat, kharaj, dan jizyah yang mendistribusikan kekayaan dari yang kaya kepada yang membutuhkan. Tidak ada pajak atas penghasilan pribadi atau perdagangan kecil, yang justru meringankan beban ekonomi rakyat kecil.

4. Standar Kesejahteraan Berdasarkan Kebutuhan Riil
Islam tidak menggunakan angka PPP atau garis kemiskinan artifisial, tapi melihat langsung apakah individu memiliki makanan, tempat tinggal, dan pakaian yang layak. Bila belum terpenuhi, negara wajib turun tangan hingga kebutuhan itu benar-benar tercukupi.

5. Stabilitas Ekonomi Tanpa Riba
Sistem moneter Islam mengharamkan riba dan spekulasi, dua pilar utama kapitalisme yang sering memicu krisis keuangan dan inflasi. Uang berfungsi sebagai alat tukar, bukan komoditas.

Penutup: Saatnya Berpikir Sistemik

Klaim penurunan kemiskinan dalam sistem kapitalisme tak lebih dari upaya kosmetik untuk menutupi kenyataan pahit. Standar yang dibuat sangat rendah, realitas diabaikan, dan rakyat dijadikan objek statistik semata.

Sistem Islam hadir dengan solusi menyeluruh, bukan tambal sulam. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang mulia, bukan sekadar angka. Negara dalam Islam bertindak sebagai pelayan rakyat, bukan korporasi. Dan kesejahteraan bukanlah pilihan, tapi kewajiban.

Sudah saatnya kita berhenti bergantung pada sistem yang jelas-jelas gagal memberantas kemiskinan. Kita perlu membuka mata terhadap sistem alternatif yang telah terbukti sukses selama berabad-abad—yakni sistem Islam yang adil, manusiawi, dan sejahtera.[]

Oleh: Prayudisti S.P.
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update