Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ketika Ilmu Dimuliakan: Renungan dari Pengukuhan Guru Besar ITS Surabaya

Selasa, 19 Agustus 2025 | 20:39 WIB Last Updated 2025-08-19T13:39:47Z
Tintasiyasi.ID-- Pendahuluan: Sebuah Panggung Kehormatan Ilmu

Selamat Prof. Dr. Tutik Nurhidayati. M.Si. atas pencapaian sebagai Guru Besar ITS Surabaya. Ruang auditorium Graha ITE  itu dipenuhi wajah-wajah penuh bangga. Toga hitam dengan samir kebesaran berwarna emas menghiasi pundak para akademisi. Hari itu, di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, kita menyaksikan momen bersejarah: pengukuhan Guru Besar, gelar akademik tertinggi yang dianugerahkan kepada insan pengabdi ilmu.

Bagi yang hadir, termasuk saya, suasana ini bukan sekadar seremoni formal. Di balik tepuk tangan dan lantunan prosesi, tersimpan pelajaran hidup yang menembus batas profesi: tentang kerja keras, dedikasi, dan pengabdian tanpa pamrih.

Ilmu: Jalan yang Mengangkat Derajat

Dalam pandangan Islam, ilmu adalah kunci kemuliaan. Al-Qur’an menegaskan:

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

"Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)

Pengukuhan Guru Besar adalah salah satu bentuk nyata dari janji Allah itu di dunia. Ia adalah pengakuan resmi bahwa seseorang telah memberikan kontribusi bermakna bagi dunia akademik, penelitian, dan masyarakat.

Perjalanan Panjang Menuju Guru Besar

Menjadi Guru Besar bukanlah perjalanan singkat. Ada syarat ketat yang harus dilalui:

1. Kualifikasi Akademik – menyelesaikan pendidikan hingga tingkat doktor.

2. Karya Ilmiah – publikasi internasional bereputasi, buku ilmiah, dan penelitian inovatif.

3. Pengabdian – membimbing mahasiswa, membina peneliti muda, dan melayani masyarakat.

4. Integritas – menjaga kejujuran akademik, etika, dan tanggung jawab sosial.

Profesor Dr. BJ Habibie, tokoh teknologi dan presiden ketiga RI, pernah berkata:

"Tanpa penguasaan ilmu pengetahuan, kita akan selalu menjadi penonton, bukan pemain, dalam panggung peradaban."

Pelajaran untuk Umat dan Bangsa

Menghadiri momen ini membuat kita bertanya: sejauh mana bangsa kita menghargai ilmu?
Data UNESCO (2024) menunjukkan bahwa negara-negara dengan persentase anggaran pendidikan di atas 5% PDB rata-rata memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang tinggi. Korea Selatan, misalnya, mengalokasikan 5,1% PDB untuk pendidikan dan kini menjadi pusat inovasi teknologi dunia.

Jika Indonesia ingin mengejar kemajuan, memuliakan pendidik dan peneliti harus menjadi prioritas. Guru Besar bukan sekadar gelar; mereka adalah pilar kemajuan bangsa.

"Ketularan" yang Sebenarnya

Ucapan “semoga ketularan” bukan sekadar harapan untuk mendapat gelar yang sama, tapi doa agar kita:

Ketularan tekad: semangat belajar seumur hidup.

Ketularan integritas: menjunjung amanah ilmu.

Ketularan kebermanfaatan: menjadikan pengetahuan sebagai solusi untuk umat.

Sebagaimana kata Imam Syafi’i:

"Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat."

Maka, untuk ketularan kemuliaan itu, kita juga harus membersihkan hati, niat, dan amal.

Penutup: Ilmu Sebagai Warisan Abadi

Pengukuhan Guru Besar adalah perayaan peradaban. Ia mengingatkan kita bahwa kekayaan materi akan sirna, jabatan akan berganti, tetapi ilmu yang bermanfaat akan terus hidup.

Kita semua, apapun profesinya, bisa menjadi “guru besar” di bidang masing-masing: menguasai ilmu, berbagi manfaat, dan menjaga integritas. Karena pada akhirnya, yang akan dikenang bukanlah gelar di depan nama, tapi cahaya manfaat yang kita tinggalkan.

"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah)

Semoga kita semua benar-benar tertular semangat, ketekunan, dan keberkahan yang terpancar dari hari penuh makna itu.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Nasional Jawa Timur)

Opini

×
Berita Terbaru Update