![]() |
“Kebijakan blokir rekening pasif oleh
PPATK adalah kebijakan yang salah sasaran dan pasif,” sebut HILMI dalam rilis Intellectual Opinion nomor 011, Kamis (31/07/2025),
.
Meskipun kebijakan itu diklaim
bertujuan mencegah penyalahgunaan rekening untuk kejahatan finansial seperti
jual-beli rekening, penampungan dana judi online, hingga pencucian uang,
HILMI menyebut hal tersebut represif dan tidak proporsional.
Karakter Kejahatan Finansial yang
Berbeda
HILMI menyoroti bahwa karakter
transaksi ilegal dalam kejahatan finansial seperti penipuan, judi online,
dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) justru menggunakan rekening yang sangat
aktif dan berpola dinamis.
“Uang masuk dan langsung ditarik
tunai atau dialihkan dalam waktu singkat oleh pelaku yang kerap memanfaatkan
rekening nominee atau membeli akun bank dari pihak lain. Oleh karena
itu, menarget rekening pasif yang tidak aktif selama tiga bulan dianggap
sebagai tindakan salah sasaran secara sistemis,” nilai HILMI.
Pemblokiran Massal yang Tidak Sesuai
Prosedur Hukum
Secara hukum, PPATK memang memiliki
kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi keuangan jika ada indikasi
kuat tindak pidana pencucian uang. “Namun, Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010
mengatur bahwa penghentian harus berdasarkan analisis transaksi mencurigakan,
bersifat sementara (maksimal 20 hari kerja), dan tidak bisa dilakukan
sembarangan,” HILMI menegaskan.
Kenyataannya, kritik HILMI, blokir
massal yang terjadi saat ini justru didasarkan pada kriteria pasif selama tiga
bulan, tanpa indikator transaksi ilegal, tanpa pemberitahuan yang adil, dan
tanpa perlindungan prosedural bagi nasabah.
“Kondisi ini berpotensi membuka celah
kesewenang-wenangan administratif, di mana warga dapat kehilangan akses dananya
tanpa proses hukum yang jelas,” tegas HILMI.
Pihak yang Dirugikan dan Diuntungkan
“Kebijakan ini paling merugikan warga
biasa yang menggunakan rekening secara musiman, seperti petani, pedagang kurban,
nelayan, atau pensiunan. Selain itu, kaum rentan digital seperti lansia, buruh
migran, atau warga desa yang jarang mengakses mobile banking, serta
mahasiswa, peneliti, atau pegawai yang jarang memakai rekening lokal karena
aktivitas di luar negeri juga sangat terdampak,” beber HILMI lagi.
Sebaliknya, imbuh HILMI, pihak yang
diuntungkan adalah PPATK dan otoritas keuangan yang dapat mengklaim
keberhasilan ‘pembersihan sistem’ tanpa harus benar-benar menangkap pelaku
utama, serta bank-bank besar yang bisa merapikan basis data nasabah.
“Pelaku kejahatan digital sendiri
disebut tidak terganggu sama sekali, karena mereka sudah ahli menghindari
deteksi dan terus menciptakan rekening baru,” beber HILMI.
Data yang Menggambarkan Ketimpangan
HILMI memaparkan, data hingga Juli
2025 menunjukkan adanya ketimpangan mencolok antara rekening yang diblokir dan
rekening yang terbukti terkait kejahatan finansial:
- 31 juta rekening dormant (tidak aktif ≥5
tahun) telah dibekukan sementara, dengan saldo sekitar Rp6 triliun.
- Di antaranya, 140 ribu rekening yang lebih dari
10 tahun tidak aktif mengandung dana sekitar Rp428,6 miliar.
- Namun, untuk kasus jual-beli rekening dan
penampungan judi online, PPATK hanya membekukan sekitar 28.000
rekening hasil jual beli terkait transaksi judi online, serta sekitar
5.000 rekening aktif berisi dana judi online sebesar Rp600 miliar.
“Perbandingan ini menunjukkan bahwa
rekening yang diblokir karena tidak aktif mencapai puluhan juta, sementara yang
terbukti terkait kejahatan hanya belasan hingga puluhan ribu,” cetus HILMI.
Padahal, lanjut HILMI, total
transaksi judi online sepanjang tahun 2024 mencapai Rp359,81 triliun,
dan diperkirakan bisa mencapai Rp1.200 triliun hingga akhir 2025 jika tidak
ditangani dengan baik.
Solusi: Deteksi Cerdas, Bukan Blokir
Buta
HILMI menyarankan bahwa kebijakan
yang efektif seharusnya berbasis pada data transaksional dan perilaku rekening,
bukan status aktif/pasif.
Lanjut HILMI, jika PPATK ingin
memberantas kejahatan keuangan secara efektif, disarankan untuk:
- Menggunakan teknologi analitik real-time,
bukan pemblokiran statis berbasis bulan.
- Berfokus pada aliran dana mencurigakan, bukan
masa tidur rekening.
- Menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based),
bukan pendekatan one-size-fits-all.
“Jika pendekatan represif terus
diterapkan, negara dikhawatirkan akan kehilangan kepercayaan publik tanpa
menyentuh akar masalah sebenarnya,” saran HILMI.
Keadilan sebagai Fondasi Moral
Kenegaraan
Secara moral dan keagamaan, HILMI
juga menyoroti konsep keadilan. “Dinyatakan bahwa dalam Islam, keadilan bukan
sekadar konsep hukum, tetapi fondasi moral kenegaraan,” tutur HILMI.
“Kebijakan yang menghukum orang tanpa
bukti, tanpa proses, dan tanpa pemberitahuan dianggap sebagai bentuk kezaliman
administratif. Setiap pemegang amanah akan dimintai pertanggungjawaban atas apa
yang ia pimpin, baik oleh rakyat maupun oleh Tuhan,” sebut HILMI mengingatkan.
Membangun Sistem, Bukan Menyalahkan
Rakyat
HILMI menegaskan bahwa upaya
memerangi kejahatan finansial digital tidak ditolak, namun kebijakan yang gagal
mengenali karakter pelaku justru akan menghukum rakyat biasa.
"Jangan biarkan rakyat yang
jujur menjadi korban atas kegagalan negara membaca data dan membangun system. Negara
yang baik tidak menyalahkan rakyat atas kesalahan sistemnya, melainkan membuka
mata terhadap akar masalah, membuka data untuk diaudit, dan membuka hati untuk
mendengar rakyat,” pungkas HILMI dalam rilisnya.[] Rere