Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kebijakan Blokir Rekening Pasif oleh PPATK, HILMI: Salah Sasaran dan Zalim

Jumat, 01 Agustus 2025 | 11:41 WIB Last Updated 2025-08-01T04:41:41Z
Tintasiyasi.ID -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini menerapkan kebijakan pemblokiran sementara jutaan rekening bank milik warga Indonesia yang dianggap tidak aktif selama tiga bulan dinilai Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) sebagai kebijakan yang salah sasaran dan zalim.

 

“Kebijakan blokir rekening pasif oleh PPATK adalah kebijakan yang salah sasaran dan pasif,” sebut HILMI dalam rilis Intellectual Opinion nomor 011, Kamis (31/07/2025), .

 

Meskipun kebijakan itu diklaim bertujuan mencegah penyalahgunaan rekening untuk kejahatan finansial seperti jual-beli rekening, penampungan dana judi online, hingga pencucian uang, HILMI menyebut hal tersebut represif dan tidak proporsional.

 

Karakter Kejahatan Finansial yang Berbeda

 

HILMI menyoroti bahwa karakter transaksi ilegal dalam kejahatan finansial seperti penipuan, judi online, dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) justru menggunakan rekening yang sangat aktif dan berpola dinamis.

 

“Uang masuk dan langsung ditarik tunai atau dialihkan dalam waktu singkat oleh pelaku yang kerap memanfaatkan rekening nominee atau membeli akun bank dari pihak lain. Oleh karena itu, menarget rekening pasif yang tidak aktif selama tiga bulan dianggap sebagai tindakan salah sasaran secara sistemis,” nilai HILMI.

 

Pemblokiran Massal yang Tidak Sesuai Prosedur Hukum

 

Secara hukum, PPATK memang memiliki kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi keuangan jika ada indikasi kuat tindak pidana pencucian uang. “Namun, Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 mengatur bahwa penghentian harus berdasarkan analisis transaksi mencurigakan, bersifat sementara (maksimal 20 hari kerja), dan tidak bisa dilakukan sembarangan,” HILMI menegaskan.

 

Kenyataannya, kritik HILMI, blokir massal yang terjadi saat ini justru didasarkan pada kriteria pasif selama tiga bulan, tanpa indikator transaksi ilegal, tanpa pemberitahuan yang adil, dan tanpa perlindungan prosedural bagi nasabah.

 

“Kondisi ini berpotensi membuka celah kesewenang-wenangan administratif, di mana warga dapat kehilangan akses dananya tanpa proses hukum yang jelas,” tegas HILMI.

 

Pihak yang Dirugikan dan Diuntungkan

 

“Kebijakan ini paling merugikan warga biasa yang menggunakan rekening secara musiman, seperti petani, pedagang kurban, nelayan, atau pensiunan. Selain itu, kaum rentan digital seperti lansia, buruh migran, atau warga desa yang jarang mengakses mobile banking, serta mahasiswa, peneliti, atau pegawai yang jarang memakai rekening lokal karena aktivitas di luar negeri juga sangat terdampak,” beber HILMI lagi.

 

Sebaliknya, imbuh HILMI, pihak yang diuntungkan adalah PPATK dan otoritas keuangan yang dapat mengklaim keberhasilan ‘pembersihan sistem’ tanpa harus benar-benar menangkap pelaku utama, serta bank-bank besar yang bisa merapikan basis data nasabah.

 

“Pelaku kejahatan digital sendiri disebut tidak terganggu sama sekali, karena mereka sudah ahli menghindari deteksi dan terus menciptakan rekening baru,” beber HILMI.

 

Data yang Menggambarkan Ketimpangan

 

HILMI memaparkan, data hingga Juli 2025 menunjukkan adanya ketimpangan mencolok antara rekening yang diblokir dan rekening yang terbukti terkait kejahatan finansial:

  • 31 juta rekening dormant (tidak aktif ≥5 tahun) telah dibekukan sementara, dengan saldo sekitar Rp6 triliun.
  • Di antaranya, 140 ribu rekening yang lebih dari 10 tahun tidak aktif mengandung dana sekitar Rp428,6 miliar.
  • Namun, untuk kasus jual-beli rekening dan penampungan judi online, PPATK hanya membekukan sekitar 28.000 rekening hasil jual beli terkait transaksi judi online, serta sekitar 5.000 rekening aktif berisi dana judi online sebesar Rp600 miliar.

 

“Perbandingan ini menunjukkan bahwa rekening yang diblokir karena tidak aktif mencapai puluhan juta, sementara yang terbukti terkait kejahatan hanya belasan hingga puluhan ribu,” cetus HILMI.

 

Padahal, lanjut HILMI, total transaksi judi online sepanjang tahun 2024 mencapai Rp359,81 triliun, dan diperkirakan bisa mencapai Rp1.200 triliun hingga akhir 2025 jika tidak ditangani dengan baik.

 

Solusi: Deteksi Cerdas, Bukan Blokir Buta

 

HILMI menyarankan bahwa kebijakan yang efektif seharusnya berbasis pada data transaksional dan perilaku rekening, bukan status aktif/pasif.

 

Lanjut HILMI, jika PPATK ingin memberantas kejahatan keuangan secara efektif, disarankan untuk:

  • Menggunakan teknologi analitik real-time, bukan pemblokiran statis berbasis bulan.
  • Berfokus pada aliran dana mencurigakan, bukan masa tidur rekening.
  • Menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based), bukan pendekatan one-size-fits-all.

 

“Jika pendekatan represif terus diterapkan, negara dikhawatirkan akan kehilangan kepercayaan publik tanpa menyentuh akar masalah sebenarnya,” saran HILMI.

 

Keadilan sebagai Fondasi Moral Kenegaraan

 

Secara moral dan keagamaan, HILMI juga menyoroti konsep keadilan. “Dinyatakan bahwa dalam Islam, keadilan bukan sekadar konsep hukum, tetapi fondasi moral kenegaraan,” tutur HILMI.

 

“Kebijakan yang menghukum orang tanpa bukti, tanpa proses, dan tanpa pemberitahuan dianggap sebagai bentuk kezaliman administratif. Setiap pemegang amanah akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin, baik oleh rakyat maupun oleh Tuhan,” sebut HILMI mengingatkan.

 

Membangun Sistem, Bukan Menyalahkan Rakyat

 

HILMI menegaskan bahwa upaya memerangi kejahatan finansial digital tidak ditolak, namun kebijakan yang gagal mengenali karakter pelaku justru akan menghukum rakyat biasa.

 

"Jangan biarkan rakyat yang jujur menjadi korban atas kegagalan negara membaca data dan membangun system. Negara yang baik tidak menyalahkan rakyat atas kesalahan sistemnya, melainkan membuka mata terhadap akar masalah, membuka data untuk diaudit, dan membuka hati untuk mendengar rakyat,” pungkas HILMI dalam rilisnya.[] Rere

Opini

×
Berita Terbaru Update