“Sistem tata kelola royalti hak cipta
musik di Indonesia yang berlaku saat ini, khususnya terkait penggunaan blanket
license, tidak transparan, bias dalam distribusi, dan berpotensi
menimbulkan garar (ketidakpastian) menurut prinsip syariat, sehingga merugikan
musisi independent,” rilis HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Kamis
(28/08/2025).
Dalam kajiannya, HILMI mendefinisikan
hak cipta sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul otomatis berdasarkan
prinsip deklaratif setelah karya diwujudkan dalam bentuk nyata, mencakup karya
sastra, musik, film, perangkat lunak, hingga kuliah dan tari.
“Hak ini terbagi dua: pertama,
hak moral, yang melekat selamanya dan mencakup hak pencipta untuk dicantumkan
namanya serta menjaga integritas karya; kedua, hak ekonomi, yaitu hak
eksklusif untuk memperoleh manfaat ekonomi seperti reproduksi, distribusi,
penampilan, penyiaran, dan adaptasi. Pihak lain yang ingin menggunakan karya
wajib mendapatkan izin resmi,” cetus HILMI.
Dilema Penarikan Royalti dan
Kepatuhan Syariat
HILMI menyoroti bahwa pada ranah
musik, hak cipta merupakan instrumen penting untuk melindungi karya kreatif dan
memberikan manfaat komersial kepada pencipta, penyanyi, pemusik, dan produser
rekaman.
“Namun, implementasinya menimbulkan
dilema, terutama dalam penarikan royalti secara adil dari penggunaan musik di
ruang publik seperti kafe atau sekolah, sekaligus menjaga kepatuhan syariat,”
sebut HILMI.
Permasalahan utama yang
diidentifikasi oleh HILMI meliputi:
- Identifikasi lagu oleh Lembaga Manajemen Kolektif
(LMK) di ruang publik.
- Distribusi royalti yang adil bagi seluruh pihak.
- Keabsahan sistem blanket license menurut
fikih syariat.
- Kurangnya kepercayaan publik, terutama dari
musisi indie yang merasa terpinggirkan.
- Kasus khusus seperti musik klasik, murottal
Qur’an, dan karya buatan AI.
“Perbandingan dengan praktik global
dan realitas Indonesia ditemukan perbedaan signifikan antara praktik di
Indonesia dan global,” ujar HILMI.
Lanjut dikatakan, Lembaga Manajemen
Kolektif (LMK) di Indonesia menarik royalti dengan blanket license
berdasarkan kapasitas kursi atau luas ruangan.
“Distribusi royalti dilakukan melalui
sampling radio atau TV chart, bukan dari data penggunaan riil,
yang menimbulkan keraguan publik terhadap transparansi LMK dan menyebabkan
musisi indie sering tidak mendapat bagian meskipun karyanya diputar,”
beber HILMI.
Berbeda dengan itu, HILMI menyebut lembaga
global seperti ASCAP (AS), PRS (UK), dan JASRAC (Jepang) menggunakan teknologi audio
fingerprinting (seperti aplikasi Shazam) untuk mendeteksi lagu yang
diputar, sehingga distribusi berbasis data nyata.
“Royalti dihitung dari omzet venue,
kapasitas, dan jumlah pemakaian musik. Sistem ini memiliki tingkat transparansi
yang tinggi dengan laporan publik dan dashboard untuk anggota, meskipun
tetap cenderung condong pada lagu-lagu popular,” sebut HILMI.
Perspektif Syariat dan Potensi Garar
“Dalam pandangan syariat, hak cipta
dianggap sebagai haqq mālī (hak finansial) yang dapat dimiliki, dijual,
dan diwariskan. Royalti dianalogikan dengan akad ijarah manfa‘ah (sewa
manfaat karya),” ulas HILMI.
Namun, HILMI menekankan bahwa sistem blanket
license tanpa objek yang jelas berpotensi garar (ketidakpastian).
“Prinsip syariat mensyaratkan bahwa
akad harus jelas, manfaat terukur, dan distribusi adil. Oleh karena itu, tata
kelola royalti di Indonesia saat ini bermasalah secara syariat karena sistem blanket
license yang tidak transparan dan distribusi yang bias,” ungkap HILMI.
HILMI juga membahas kasus khusus
terkait royalti:
- Musik klasik: Komposisi seperti Beethoven dan
Mozart telah menjadi public domain, namun rekaman baru dari karya
tersebut tetap dilindungi hak terkait.
- Murottal Qur’an: Teks Al-Qur'an adalah
milik umum, tetapi rekaman qari dilindungi hak terkait. Untuk kegiatan
keagamaan, murottal biasanya bebas royalti.
- Karya sendiri: Otomatis menjadi milik pencipta
dan dapat dinyatakan bebas royalti melalui lisensi Creative Commons (CC0)
atau wakaf ilmu.
- Karya AI: Hak cipta jatuh kepada manusia yang
mengarahkan AI (yang membuat prompt). Jika diumumkan CC0, otomatis
bebas royalti.
Usulan Tata Kelola yang Rasional dan
Syar’i
Melihat permasalahan ini, HILMI
mengusulkan beberapa solusi tata kelola yang dianggap lebih masuk akal dan syar’i:
- Monitoring real-time dengan teknologi audio
fingerprinting.
- Penggunaan blockchain smart contract
untuk pembagian royalti secara otomatis.
- Pengecualian kegiatan keagamaan atau pendidikan
dari kewajiban royalti.
- Penerapan lisensi syariat untuk karya dakwah atau
edukasi (wakaf ilmu).
- Implementasi long-tail system untuk
menjamin musisi indie tetap mendapat porsi yang adil.
“Meskipun hak cipta musik sah menurut
syariat dan hukum positif, tata kelola di Indonesia memerlukan reformasi
mendesak untuk memastikan transparansi, keadilan distribusi, dan kepatuhan syariat
bagi seluruh pemangku kepentingan, terutama musisi kecil yang sering
terpinggirkan,” tandas HILMI.[] Rere