Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI: Tata Kelola Royalti Hak Cipta Musik di Indonesia Berpotensi Garar

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 10:44 WIB Last Updated 2025-08-30T04:03:48Z

Tintasiyasi.ID -- Menyoroti permasalahan dalam tata kelola royalti hak cipta musik di Indonesia, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) melalui Intellectual Opinion No. 013 menyatakan bahwa sistem yang berlaku saat ini, khususnya terkait penggunaan blanket license, tidak transparan, bias dalam distribusi, dan berpotensi menimbulkan garar (ketidakpastian) menurut prinsip syariat, sehingga merugikan musisi independen.

 

“Sistem tata kelola royalti hak cipta musik di Indonesia yang berlaku saat ini, khususnya terkait penggunaan blanket license, tidak transparan, bias dalam distribusi, dan berpotensi menimbulkan garar (ketidakpastian) menurut prinsip syariat, sehingga merugikan musisi independent,” rilis HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Kamis (28/08/2025).

 

Dalam kajiannya, HILMI mendefinisikan hak cipta sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah karya diwujudkan dalam bentuk nyata, mencakup karya sastra, musik, film, perangkat lunak, hingga kuliah dan tari.

 

“Hak ini terbagi dua: pertama, hak moral, yang melekat selamanya dan mencakup hak pencipta untuk dicantumkan namanya serta menjaga integritas karya; kedua, hak ekonomi, yaitu hak eksklusif untuk memperoleh manfaat ekonomi seperti reproduksi, distribusi, penampilan, penyiaran, dan adaptasi. Pihak lain yang ingin menggunakan karya wajib mendapatkan izin resmi,” cetus HILMI.

 

Dilema Penarikan Royalti dan Kepatuhan Syariat

 

HILMI menyoroti bahwa pada ranah musik, hak cipta merupakan instrumen penting untuk melindungi karya kreatif dan memberikan manfaat komersial kepada pencipta, penyanyi, pemusik, dan produser rekaman.

 

“Namun, implementasinya menimbulkan dilema, terutama dalam penarikan royalti secara adil dari penggunaan musik di ruang publik seperti kafe atau sekolah, sekaligus menjaga kepatuhan syariat,” sebut HILMI.

 

Permasalahan utama yang diidentifikasi oleh HILMI meliputi:

  • Identifikasi lagu oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di ruang publik.
  • Distribusi royalti yang adil bagi seluruh pihak.
  • Keabsahan sistem blanket license menurut fikih syariat.
  • Kurangnya kepercayaan publik, terutama dari musisi indie yang merasa terpinggirkan.
  • Kasus khusus seperti musik klasik, murottal Qur’an, dan karya buatan AI.

 

“Perbandingan dengan praktik global dan realitas Indonesia ditemukan perbedaan signifikan antara praktik di Indonesia dan global,” ujar HILMI.

 

Lanjut dikatakan, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia menarik royalti dengan blanket license berdasarkan kapasitas kursi atau luas ruangan.

 

“Distribusi royalti dilakukan melalui sampling radio atau TV chart, bukan dari data penggunaan riil, yang menimbulkan keraguan publik terhadap transparansi LMK dan menyebabkan musisi indie sering tidak mendapat bagian meskipun karyanya diputar,” beber HILMI.

 

Berbeda dengan itu, HILMI menyebut lembaga global seperti ASCAP (AS), PRS (UK), dan JASRAC (Jepang) menggunakan teknologi audio fingerprinting (seperti aplikasi Shazam) untuk mendeteksi lagu yang diputar, sehingga distribusi berbasis data nyata.

 

“Royalti dihitung dari omzet venue, kapasitas, dan jumlah pemakaian musik. Sistem ini memiliki tingkat transparansi yang tinggi dengan laporan publik dan dashboard untuk anggota, meskipun tetap cenderung condong pada lagu-lagu popular,” sebut HILMI.

 

Perspektif Syariat dan Potensi Garar

 

“Dalam pandangan syariat, hak cipta dianggap sebagai haqq mālī (hak finansial) yang dapat dimiliki, dijual, dan diwariskan. Royalti dianalogikan dengan akad ijarah manfa‘ah (sewa manfaat karya),” ulas HILMI.

 

Namun, HILMI menekankan bahwa sistem blanket license tanpa objek yang jelas berpotensi garar (ketidakpastian).

 

“Prinsip syariat mensyaratkan bahwa akad harus jelas, manfaat terukur, dan distribusi adil. Oleh karena itu, tata kelola royalti di Indonesia saat ini bermasalah secara syariat karena sistem blanket license yang tidak transparan dan distribusi yang bias,” ungkap HILMI.

 

HILMI juga membahas kasus khusus terkait royalti:

  • Musik klasik: Komposisi seperti Beethoven dan Mozart telah menjadi public domain, namun rekaman baru dari karya tersebut tetap dilindungi hak terkait.
  • Murottal Qur’an: Teks Al-Qur'an adalah milik umum, tetapi rekaman qari dilindungi hak terkait. Untuk kegiatan keagamaan, murottal biasanya bebas royalti.
  • Karya sendiri: Otomatis menjadi milik pencipta dan dapat dinyatakan bebas royalti melalui lisensi Creative Commons (CC0) atau wakaf ilmu.
  • Karya AI: Hak cipta jatuh kepada manusia yang mengarahkan AI (yang membuat prompt). Jika diumumkan CC0, otomatis bebas royalti.

 

Usulan Tata Kelola yang Rasional dan Syar’i

 

Melihat permasalahan ini, HILMI mengusulkan beberapa solusi tata kelola yang dianggap lebih masuk akal dan syar’i:

  1. Monitoring real-time dengan teknologi audio fingerprinting.
  2. Penggunaan blockchain smart contract untuk pembagian royalti secara otomatis.
  3. Pengecualian kegiatan keagamaan atau pendidikan dari kewajiban royalti.
  4. Penerapan lisensi syariat untuk karya dakwah atau edukasi (wakaf ilmu).
  5. Implementasi long-tail system untuk menjamin musisi indie tetap mendapat porsi yang adil.

 

“Meskipun hak cipta musik sah menurut syariat dan hukum positif, tata kelola di Indonesia memerlukan reformasi mendesak untuk memastikan transparansi, keadilan distribusi, dan kepatuhan syariat bagi seluruh pemangku kepentingan, terutama musisi kecil yang sering terpinggirkan,” tandas HILMI.[] Rere

Opini

×
Berita Terbaru Update