“Kekayaan sumber daya alam (SDA)
Indonesia yang melimpah, tetapi kontribusi terhadap penerimaan negara masih
reltif kecil, mengindikasikan adanya kesenjangan tata kelola,” ulas HILMI
kepada TintaSiyasi.ID, Kamis (28/08/2025).
“Indonesia dikenal sebagai salah satu
negara dengan cadangan SDA nonterbarukan seperti batubara, minyak bumi, gas
alam, serta mineral strategis seperti nikel dan emas, yang menempatkannya
sebagai produsen utama dunia. Selain itu, Indonesia juga memiliki SDA
terbarukan berupa hutan tropis, mangrove, dan keanekaragaman hayati laut yang
tinggi,” sebut HILMI.
HILMI menunjukkan data studi cadangan
batubara mencapai ±31,9 miliar ton, minyak bumi ±2,29 miliar barel, gas alam
±33,8 Tcf, dan nikel ±55 juta ton, menjadikannya cadangan terbesar di dunia.
“Potensi nilai bruto tahunan dari SDA
Indonesia diestimasi mencapai ±USD 287 miliar. Setelah dikurangi biaya
operasional, nilai bersihnya diperkirakan sekitar ±USD 115 miliar/tahun atau
setara Rp ±1.800 triliun. Angka ini setara dengan sekitar 65 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025,” HILMI menyebut hasil
studinya.
Namun, realitasnya, HILMI mengatakan
jika sebagian besar SDA nonterbarukan itu memiliki umur cadangan yang terbatas.
Perhitungan rasio cadangan terhadap produksi (R/P ratio) menunjukkan perkiraan
umur cadangan sebagai berikut:
- Batubara: sekitar 38,5 tahun dengan produksi
±0,83 miliar ton/tahun.
- Minyak bumi: sekitar 10,9 tahun dengan produksi
sekitar 0,210 miliar barel/tahun.
- Gas alam: sekitar 8,3 tahun dengan produksi
sekitar 4,10 Tcf/tahun.
- Nikel: sekitar 25 tahun dengan produksi ±2,2 juta
ton/tahun.
“Penting untuk dicatat bahwa
perhitungan R/P ini bersifat statis dan tidak memperhitungkan potensi penemuan
cadangan baru, perubahan harga, teknologi, atau kebijakan. Sementara itu,
pemanfaatan SDA terbarukan sering mengalami degradasi akibat eksploitasi berlebihan,”
beber HILMI.
Kesenjangan Tata Kelola dan Mitos
Publik
“Meskipun potensi nilai bersih SDA
dapat mencapai Rp 1.800 triliun/tahun, penerimaan negara aktual dari SDA hanya
berkisar Rp 500–650 triliun/tahun, yang hanya sekitar 20 persen dari APBN. Perbedaan
signifikan ini mengindikasikan adanya isu tata kelola, kontrak karya, serta
dominasi pihak swasta dan asing dalam pengelolaan SDA Indonesia,” ungkap HILMI.
HILMI juga mengkritisi sejumlah mitos
dan salah sangka yang umum di masyarakat mengenai SDA Indonesia:
- SDA tidak akan habis, padahal umur cadangan
terbatas.
- SDA otomatis membuat negara makmur, padahal ada
fenomena resource curse atau kutukan sumber daya.
- Semua hasil SDA masuk APBN, padahal negara hanya
menerima sebagian kecil.
- SDA terbarukan pasti lestari, padahal deforestasi
dan overfishing mengancam kelestariannya.
- Harga SDA stabil, padahal sangat fluktuatif.
- Cadangan selalu bisa diganti dengan eksplorasi
baru, padahal temuan besar semakin jarang.
Salah sangka ini, menurut HILMI,
muncul karena narasi politik nasionalisme, minimnya literasi publik, bias
media, serta memori kolektif kejayaan migas era 1970–1980an.
Rekomendasi Perbaikan Tata Kelola
Untuk mengatasi tantangan ini, studi
HILMI merekomendasikan beberapa langkah ke depan dalam pengelolaan SDA
Indonesia:
- Meningkatkan transparansi dan efisiensi tata
kelola dengan didukung sumber daya manusia yang kuat dalam teknologi dan
terpercaya.
- Melakukan diversifikasi ekonomi agar tidak
bergantung pada komoditas, dengan mendorong hilirisasi produk-produk
industri yang memiliki nilai tambah.
- Menerapkan kebijakan ekstraksi berkelanjutan (sustainable
extraction policy) untuk menjaga keberlanjutan SDA.
- Membangun Dana Perwalian Kekayaan Negara (Sovereign
Wealth Fund) agar manfaat SDA dapat diwariskan lintas generasi.
“Dengan langkah-langkah strategis
ini, Indonesia diharapkan dapat mengubah narasi dari sekadar "kaya
SDA" menjadi "makmur berkat SDA yang dikelola secara adil, efisien,
lestari, dan penuh keberkahan".[] Rere