×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Angka Kemiskinan Menurun, Benarkah Rakyat Sudah Makmur?

Senin, 04 Agustus 2025 | 23:06 WIB Last Updated 2025-08-04T16:07:05Z
TintaSiyasi.id -- Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mengklaim bahwa angka kemiskinan nasional turun. Tercatat, persentase penduduk miskin pada Maret 2025 menurun 0,10 persen terhadap September 2024, menjadi 8,47 persen. Jumlah penduduk miskin berkurang 210.000 orang pada periode yang sama, mencapai 23,85 juta orang. (BBC News, 26/7)

BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp609.160 per kapita per bulan atau setara sekitar Rp20.305 per hari. Adapun kriteria penduduk miskin di Indonesia adalah yang memiliki pengeluaran di bawah garis kemiskinan. (CNN Indonesia, 25/7)

Publik pun turut mempertanyakan realitas di balik statistik. Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, ditambah sulitnya mencari lapangan pekerjaan dengan persyaratan yang selangit serta krisis ekonomi yang dirasakan masyarakat, angka penurunan kemiskinan justru dinilai sebagai manipulasi statistik belaka.

Kapitalisme Menjadikan Angka Lebih Berharga dari Nyawa

Fakta bahwa garis kemiskinan ditetapkan di angka Rp20 ribuan per hari sejatinya merupakan bentuk pelecehan terhadap akal sehat. Mana mungkin seseorang bisa hidup layak dengan nominal sebesar itu? Tapi inilah absurditas kapitalisme. Sistem ini mengedepankan citra dan angka, bukan kesejahteraan nyata. Yang penting laporan tampak baik, meski di baliknya rakyat menjerit.

Kapitalisme menyempitkan makna kesejahteraan sekadar mampu membeli kebutuhan pokok harian seminimalis mungkin di tengah harga sembako yang kian melambung. Tidak peduli apakah seseorang hidup dengan layak, bermartabat, dan aman atau sebaliknya.

Dan ironinya, negara hanya berperan sebagai manajer angka. Bukannya menyelesaikan akar kemiskinan, negara justru sibuk menjadi juru bicara lembaga asing dan pengelola pasar bebas. Segala sumber daya dilepas ke swasta dan asing, sehingga rakyat harus membeli hak hidupnya sendiri dengan harga mahal.

Islam Tidak Membiarkan Rakyat Hidup Sekarat

Islam memandang kemiskinan sebagai masalah struktural yang wajib diselesaikan oleh negara, bukan dibebankan kepada individu. Dalam sistem Islam, negara hadir sebagai pelindung rakyat, bukan mitra dagang korporasi. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Dalam sistem Islam, negara wajib mengelola sumber daya alam sebagai milik umum yang tidak boleh dikomersialkan. Keuntungan dari pengelolaan ini dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik secara cuma-cuma. Jikapun harus berbayar, itu dapat dipastikan terjangkau oleh seluruh masyarakat.

Islam tidak menilai kemiskinan dengan standar semu seperti “batas pengeluaran harian” ala lembaga internasional—yang menyebut seseorang tidak miskin jika masih bisa hidup dengan Rp20 ribu per hari. Tolak ukur dalam Islam jauh lebih manusiawi: apakah rakyat mampu memenuhi kebutuhannya secara layak atau tidak.

Kisah Khalifah Umar bin Khattab menjadi teladan nyata: saat mengetahui ada rakyatnya kelaparan, beliau tidak sibuk “meramu data”, melainkan memanggul sendiri karung gandum untuk keluarga seorang janda. Bagi Umar, tangisan seorang anak karena lapar adalah tanggung jawab negara yang tak bisa ditunda.

Islam adalah sistem yang adil—bukan sekadar memainkan angka, tapi benar-benar hadir sebagai solusi kehidupan. Jika ingin menghapus kemiskinan secara hakiki, sudah waktunya umat mempertimbangkan sistem yang telah terbukti berjaya selama 13 abad lamanya.

Wallahu a‘lam bish-shawab...


Oleh: Irna Purnamasari
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update