TintaSiyasi.id -- “Ingatlah mati, bersabarlah atas segala derita, dan bertawakallah kepada Allah dalam segala keadaan. Jika ketiga hal ini telah sempurna pada dirimu, datanglah kerajaan Allah kepadamu.”
(Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, Fathur Rabbani).
Dalam dunia yang gemerlap dan penuh kesibukan ini, manusia sering lupa bahwa hidup hanyalah persinggahan. Kita tenggelam dalam urusan dunia, ambisi, dan kegelisahan, hingga kehilangan arah hakiki perjalanan ini. Namun, para wali dan salafush-shalih senantiasa menunjukkan jalan kembali. Salah satu dari mereka adalah Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, sulthanul auliya' yang membuka rahasia hakikat kedekatan dengan Allah lewat tiga kunci, yakni dzikrul maut (ingat mati), sabar dalam derita, dan tawakal dalam segala keadaan.
1. Ingat Mati: Kunci Kesadaran dan Kejernihan Jiwa
Mengingat kematian bukan berarti bersedih tanpa harapan. Sebaliknya, ingat mati membangkitkan kesadaran tertinggi dalam hidup, bahwa dunia ini fana, bahwa setiap langkah mendekatkan kita kepada liang lahat, dan bahwa yang abadi adalah amal, bukan harta; dzikir, bukan gelar.
“Cukuplah kematian sebagai penasihat.” – Rasulullah Saw. (HR. Thabrani)
Orang yang sering mengingat mati akan:
• Memperbaiki niat dan amalnya
• Merendahkan hati dan meninggalkan keangkuhan
• Mencintai akhirat dan menjadikan dunia sebagai ladang kebaikan, bukan tempat tinggal permanen
Refleksi: Sudahkah hari ini kita hidup seolah ini hari terakhir kita?
2. Sabar atas Segala Derita: Jalan Para Kekasih Allah
Sabar bukan pasrah. Sabar adalah kekuatan jiwa yang paling tinggi, yang hanya dimiliki oleh mereka yang dekat kepada Allah. Sayyid al-Jailani mengajarkan bahwa setiap derita yang datang adalah wujud tarbiyah dari Allah. Ia ingin menaikkan maqam ruhanimu.
“Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46).
Derita dalam hidup, kegagalan, kehilangan, musibah. Semuanya bukan azab bagi yang beriman, melainkan jalan pembersihan, penguatan, dan pendewasaan jiwa.
Sabar menjadikan hati tenang dalam badai, wajah teduh dalam hujan air mata, dan iman tetap menyala di tengah kegelapan.
Refleksi: Apakah kita menerima ujian dengan keluhan atau dengan keikhlasan?
3. Tawakal kepada Allah: Menyerahkan Hati, Bukan Menggugurkan Usaha
Tawakal bukan diam. Tawakal adalah usaha sepenuh tenaga, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan penuh rida dan kepercayaan bahwa takdir-Nya adalah yang terbaik.
Tawakal adalah ketenangan spiritual tertinggi. Orang yang bertawakal:
• Tidak gelisah menghadapi masa depan
• Tidak kecewa ketika kenyataan tak sesuai harapan
• Tidak iri terhadap takdir orang lain.
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq: 3).
Sayyid al-Jailani mengajarkan bahwa tawakal adalah pintu terbukanya pertolongan dan ‘kerajaan Allah’, yakni limpahan cahaya, taufik, dan penjagaan-Nya dalam kehidupan hamba.
Refleksi: Apakah kita benar-benar percaya pada takdir Allah, atau hanya ketika takdir itu sesuai keinginan kita?
Jika Ketiganya Telah Sempurna: Datanglah Kerajaan Allah
Apa itu kerajaan Allah yang dimaksud al-Jailani?
Itulah maqam kedekatan, rasa cukup, ketenangan hati, dan kebahagiaan ruhani yang tidak bisa dibeli dunia.
Itulah ketika Allah menjadi tujuan, cinta-Nya menjadi cita-cita, dan rida-Nya menjadi cahaya langkah.
Saat itu tercapai, dunia bukan lagi penjara, tetapi ladang amal.
Musibah bukan lagi malapetaka, tetapi hadiah.
Dan hidup bukan lagi beban, tetapi ibadah.
Penutup: Bangun Jiwa, Gapai Kerajaan Allah
Wahai jiwa yang sedang lelah,
Jangan hanya mengejar mahkota dunia karena ia bisa hilang dalam sekejap.
Tapi kejarlah kerajaan Allah dalam jiwamu: ketenangan, keimanan, kedekatan dengan-Nya.
Caranya?
• Ingatlah mati: agar langkahmu lurus
• Bersabarlah atas derita: agar jiwamu kuat
• Bertawakallah kepada Allah: agar hatimu lapang
Maka engkau akan melihat, keajaiban hidup bukan datang dari luar, tapi tumbuh dari dalam
Dan saat itulah… Allah membuka pintu kerajaan-Nya untukmu
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual.
Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo