“Uranium dan torium, kedua unsur itu
menyimpan peluang strategis tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
negeri secara berkelanjutan, tetapi juga sebagai fondasi kedaulatan energi nasional di masa depan,”
rilis perhimpunan tersebut kepada TintaSiyasi.ID.
Mereka menyitat data Badan Tenaga
Nuklir Nasional (BATAN), Indonesia diperkirakan memiliki cadangan uranium
sebanyak 80.000 ton. “Wilayah Kalan di Kalimantan Barat saja dilaporkan
mengandung potensi 24.000 ton uranium logam. Meskipun angka ini belum sebesar
negara produsen utama seperti Kanada, Australia, atau Kazakhstan,” bebernya.
“Jumlah tersebut cukup signifikan
untuk mendukung pengembangan reaktor nuklir skala kecil maupun besar jika
dikelola secara optimal. Uranium sendiri adalah unsur logam radioaktif yang
menjadi bahan bakar utama Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), mampu
menghasilkan listrik jauh lebih efisien dibandingkan batu bara atau gas alam.
Sebagai perbandingan, 1 gram uranium (ditambang dari sekitar 300 kg batuan)
dapat menghasilkan energi setara dengan 3 ton batu bara,” imbuh mereka.
Eksplorasi, ulas mereka, menunjukkan
bahwa Pulau Kalimantan merupakan wilayah berpotensi uranium terbesar di
Indonesia, dengan Kalan, Kalimantan Barat, menjadi pusat penelitian dan
eksplorasi sejak 1980-an.
“Di sana ditemukan endapan
uranium dalam batuan granit dan metamorf dengan kadar ekonomis antara 0,1 persen
hingga 0,3 persen. Beberapa daerah lain
seperti Papua, Sulawesi, dan Bangka Belitung juga menunjukkan anomali
radiometrik yang mengindikasikan potensi uranium, meski belum dieksplorasi
secara mendalam,” ujarnya.
Mereka mengatakan, salah satu isu
penting dalam pemanfaatan uranium adalah pengayaan (enrichment). Uranium
alami hanya mengandung sekitar 0,7 persen isotop Uranium-235 (U-235), yang
merupakan bagian reaktif, sementara sisanya adalah Uranium-238 (U-238) yang
tidak reaktif.
“Untuk dapat digunakan sebagai
bahan bakar reaktor modern, uranium harus diperkaya menjadi 3–5 persen U-235.
Proses pengayaan ini dilakukan menggunakan alat sentrifugal yang memisahkan
isotop U-235 dari U-238. Teknologi ini sangat sensitif, karena jika pengayaan
dilanjutkan hingga mencapai 90persen U-235, uranium tersebut akan tergolong
"weapons-grade" dan dapat digunakan dalam bom atom,” tandas
HILMI.
Oleh karena itu, lanjut mereka, fasilitas
pengayaan uranium selalu berada di bawah pengawasan internasional ketat,
seperti dari IAEA (Badan Energi Atom Internasional), untuk mencegah proliferasi
senjata nuklir. “Indonesia sendiri telah berkomitmen penuh pada penggunaan
energi nuklir secara damai, termasuk meratifikasi perjanjian nonproliferasi
senjata nuklir (NPT),” ujarnya.
“Dengan asumsi penggunaan reaktor
skala 1.000 megawatt (MW), kebutuhan uranium per tahun sekitar 180 ton uranium
alam. Ini berarti cadangan uranium Indonesia yang 80.000 ton secara teoritis
cukup untuk mengoperasikan satu PLTN besar (berdaya 1 GW) selama 444 tahun.
Potensi ini dapat diperpanjang jika menggunakan teknologi daur bahan bakar
nuklir tertutup,” ulas mereka.
Dengan demikian, jika Indonesia
mengembangkan PLTN modular berukuran kecil (SMR) yang hanya membutuhkan
beberapa ton uranium per tahun, kemandirian energi berbasis nuklir akan menjadi
sangat mungkin. “Pengembangan ini, bersama bauran energi terbarukan lainnya,
dapat memperkuat sistem kelistrikan nasional tanpa ketergantungan pada energi
fosil atau impor BBM,” beber HILMI.
“Selain uranium, torium juga
dianggap sangat potensial untuk energi. Torium tiga kali lebih melimpah
dibandingkan uranium dan memiliki keunggulan tidak dapat dijadikan senjata
nuklir, serta menghasilkan limbah radioaktif jauh lebih sedikit,” jelas mereka.
“Indonesia diperkirakan memiliki
potensi torium sebesar 210.000 ton, terutama tersebar di Bangka Belitung,
Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara. Torium ini ditemukan dalam mineral
monasit, produk sampingan dari penambangan timah. Jika digunakan dalam PLTN
berbasis torium (LFTR) bertipe pembiak (breeder), hanya sekitar 1 ton torium
per tahun diperlukan untuk PLTN berdaya 1 GW. Ini berarti cadangan 210.000 ton torium
Indonesia cukup untuk menghidupi satu PLTN selama 210.000 tahun,” ungkap para
intelektual tersebut.
HILMI menegaskan bahwa umat Islam
memiliki tanggung jawab historis untuk menguasai dan mengarahkan ilmu
pengetahuan demi kemaslahatan seluruh alam.
“Mengutip Imam Al-Ghazali dan
Ibnu Khaldun, HILMI menekankan bahwa kekuatan negara sangat bergantung pada
ilmu dan teknologi, dan bahwa teknologi harus dikembangkan untuk memerdekakan,
mencerdaskan, dan menyejahterakan, bukan untuk menindas,” tuturnya.
HILMI menutup rilisnya dengan
dorongan kuat, “HILMI mengajak Indonesia untuk keluar dari keraguan dan
ketakutan akan "bahaya nuklir" yang seringkali lebih bersifat politis
daripada teknis. Dengan niat yang lurus, sistem yang transparan, dan
kepemimpinan yang amanah, Indonesia didorong untuk memulai riset terpadu
nasional torium, dari hulu hingga hilir, yang juga akan melibatkan riset
uranium.”[] Rere