Tintasiyasi.id.com -- Mantan Penasehat KPK, Dr. Abdullah Hehamahua, S.H.M.H., menyatakan bahwa Indonesia telah dilantik menjadi negara terkorup kedua di dunia di masa kepemimpinana Jokowi.
Padahal, korupsi menurut United Natioal Conventio Against Corruption (unit korupsi PBB) korupsi merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena memiliki dua indikasi.
Pertama, bersifat transnasional. Mantan Penasehat KPK itu mengungkapkan sebuah bukti dari pemberitaan Panama Papers yang pernah memuat bahwa ribuan orang Indonesia punya saham dan perusahaan di luar negeri. Bahkan hotel termewah di Singapura pemiliknya adalah orang Indonesia.
Kedua adalah pembuktian korupsi sangat sukar. Karena itulah katanya, Jokowi berani menantang klaim dirinya yang dinobatkan sebagai rezim terkorup kedua di dunia. Ia lanjut mencontohkan dengan kasus buku merah yang pernah menyeret nama Tito Karnavian yang tidak bisa diproses karena dua lembar penting buku tersebut telah dirobek.
Karena warnanya merah di situ disebutkan ada transfer dana kepada Jenderal Tito yang waktu itu adalah Kapolda Metro Jaya, diproses tidak bisa karena 2 lembar dari buku tersebut dirobek.
Tetapi orang yang menyuap Tito dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda 400 juta. Dalam Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dilampirkan buku merah. Di situ ada disebutkan nama Tito. Itu contoh tentang itu pembuktiannya sukar (tintasiyasi.id, 28/6/2025).
Korupsi dan kolusi sejatinya merupakan keniscayaan dalam sistem politik demokrasi kapitalisme sekuler yang diterapkan hari ini di mana kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai amanah untuk mengurus rakyat melainkan sebagai sarana meraih kepentingan duniawi dengan menghalalkan segala cara termasuk kolusi antara Penguasa dan pengusaha.
Adapun sebab mengapa korupsi dan kolusi terus terjadi dalam sistem demokrasi adalah sebagai berikut,
Pertama, lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Munculnya oknum penegak hukum, seperti polisi, kejaksaan, pengadilan yang tidak independen atau bisa disuap membuat pelaku korupsi tidak takut akan hukuman. Ditambah proses hukum yang bertele-tele atau dapat diintervensi oleh kekuatan politik dapat memperparah masalah.
Kedua, politik uang (Money Politics). Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam sistem demokrasi, terutama pemilu, kandidat sering membutuhkan biaya besar untuk kampanye.
Hal tersebut menciptakan insentif untuk mencari dana dari sponsor dengan imbal balik proyek, jabatan, atau kebijakan tertentu setelah terpilih atau dengan kata lain kolusi.
Ketiga, budaya patronase dan nepotisme. Patronase adalah hubungan timbal balik antara pemberi perlindungan atau patron (keuntungan) dan penerima manfaat (klien) dimana loyalitas, dukungan atau jasa tertentu dibalas dengan imbalan berupa jabatan, proyek atau fasilitas lain meskipun yang diberi kewenangan tidak kompeten.
Sehingga dampaknya akan dapat merusak tata kelola pemerintahan, menurunkan kualitas pelayanan publik dan semakin menyuburkan praktik kolusi. Pasalnya, proses rekrutmen pejabat publik berdasarkan koneksi bukan kompetensi.
Keempat, kurangnya transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintah tidak terbuka soal anggaran, kontrak, atau keputusan penting. Sedangkan masyarakat dan media tidak punya akses atau perlindungan untuk menyuarakan kecurigaan atau menyelidiki korupsi.
Kelima, partai politik yang justru tidak demokratis. Jika partai politik itu sendiri tidak transparan, dikuasai oleh elit tertentu, dan tak menjaring kader berdasarkan integritas, maka proses demokrasi menjadi formalitas belaka alias omong kosong. Yang terjadi adalah partai justru bisa menjadi mesin patronase dan korupsi.
Keenam, toleransi publik terhadap korupsi. Jika masyarakat terbiasa melihat korupsi dan tidak merasa punya kekuatan untuk melawan, maka korupsi dianggap “normal”. Hal tersebut akan menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus.
Ketujuh, media dan lembaga pengawas yang lemah. Negara butuh media bebas dan lembaga pengawas (seperti KPK) yang kuat. Namun faktanya yang terjadi justru media berusaha dibungkam, disensor, dibeli, atau diintimidasi, dan lembaga pengawas dilemahkan secara sistematis, maka ruang untuk korupsi semakin besar.
Pemberantasan korupsi dalam sistem kapitalisme demokrasi pun tampak dilakukan secara setengah hati. Karena meskipun lembaga-lembaga anti korupsi dibentuk dan berbagai regulasi dibuat, namun praktik korupsi tetap marak terjadi.
Bahkan korupsi juga melibatkan aktor-aktor politik dan ekonomi kelas atas yang kerapkali lolos dari jerat hukum atau hanya dikenai sangsi ringan yang tidak menimbulkan efek jera.
Alhasil, upaya pemberantasan korupsi lebih terlihat sebagai formalitas politik ketimbang komitmen serius untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Sebab utama dari suburnya persoalan, seperti korupsi, kolusi dan ketidakadilan adalah karena sistem kapitalisme telah menjauhkan peran agama dari kehidupan.
Aturan yang berlaku disusun berdasarkan asas manfaat dan kepentingan golongan tertentu, bukan berdasarkan nilai benar dan salah menurut syariah. Sehingga, kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak pada pemilik modal dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Oleh karena itu, selama suatu negara masih menerapkan sistem demokrasi, maka selama itulah korupsi dan kolusi sulit diberantas.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)