“Korupsi menimbulkan ketidakadilan ekonomi, seperti
misalnya perubahan Undang-Undang Minerba dari 2009 ke 2020 di belakangnya itu
ada korupsi besar-besaran. Kemudian korupsi membuat aparat juga tidak bekerja
secara perform menurut tupoksi yang semestinya,” ulasnya.
“Ada banyak peradilan yang dilakukan di negeri ini dan
mengiris-iris rasa keadilan, karena peraturan itu akan berpihak kepada mereka
yang punya uang,” tandasnya.
Ia
menyesalkan banyaknya fakta melindungi yang jahat tetapi justru menganiaya mereka yang
tidak melakukan kesalahan apa pun.
“Jadi korupsi ini bahaya sekali, bahkan kalau
dilanjutkan korupsi itu akan mengancam kedaulatan sebuah negara, karena dengan
mudah pejabat itu disusupi oleh kepentingan asing atau bahkan dia berkolaborasi
dengan dengan kepentingan-kepentingan negara lain di dunia sebagaimana yang
terjadi di banyak negara" bongkarnya.
Lanjut disebutkan, bahaya
sekali dari perilaku korupsi yang membuat
ketidakadilan macam-macam itu makin mengangak. “Partai Ideologis pun
dari awal dengan tegas menyatakan bahaya
korupsi ini,” tegasnya.
"Misalnya BLBI, ketika
negara memberikan likuiditas bantuan kepada bank-bank, itu kan berarti negara
harus menyisihkan sekian banyak duitnya untuk mereka, yang notabe sebenarnya mereka orang-orang kaya para
bankir itu, tetapi dibantu. Yang itu membuat pasti alokasi untuk yang
lainnya akan berkurang," tegasnya.
Lebih lanjut, ia pun
menegaskan, misalnya alokasi untuk pendidikan, padahal pendidikan itu akan
mengena seberapa banyak peserta didik, begitu juga untuk kesehatan.
“Alih-alih yang miskin itu atau rakyat banyak harus
dibantu, malah duit yang segitu banyaknya untuk kepentingan orang-orang yang
sebenarnya itu sudah lebih dari cukup, hanya karena keserakahan yang mereka
lakukan,” ungkapnya.
"Terjadilah malapetaka
perbankan di masa krisis moneter, yang kemudian untuk tidak menimbulkan
kerusakan lebih jauh negara atau pemerintah turun tangan dengan memberikan
likuiditas itu untuk bantuan kredit likuidita.
Nah, jadi ini tidak adil lagi gitu." ujarnya.[] Asma Ridha